Bab 32

723 43 3
                                    

"Kak, rumah udah mulai rame. Papa suruh Ivo nelpon kakak, katanya cepet kesini" ujar Ivo dalam telpon. Di ujung sana, Hafizh tengah membereskan mejanya terburu-buru, sedangkan ponselnya ia apit antara kepala dan bahunya.

"iya tunggu Vo, kakak bentar lagi pulang. Kak Haidar dimana?" tanya Hafizh.

"Kak Haidar tadi abis ngobrol sama Papa langsung pergi lagi, kayaknya balik ke rumah sakit Kak" jawab Ivo. Hafizh hanya bergumam, lalu segera meminta adiknya tersebut untuk menutup ponsel karena ia akan segera berangkat.

Akibat panggilan mendadak siang tadi, ia harus buru-buru ke kampus karena ada rapat mendadak. Meskipun tak ingin, Hafizh harus menghadiri rapat tersebut. Dan ketika ia baru saja selesai menghadiri rapat, Ivo menelponnya untuk segera pulang.

Ia belum tidur beberapa hari terakhir ini, karena sibuk memeriksa tugas dan mengentri nilai mahasiswa-mahasiswinya. Ditambah dengan kondisi Rafa, Hafizh semakin tidak punya waktu istirahat. Kepalanya rasanya pening, ia ingin meminum secangkir kopi tubruk buatan Pak Mimin, penjaga kantin kampus. Namun kini ia tak punya waktu untuk itu.

Ruangannya yang berada di lantai 4 memaksanya untuk menggunakan lift. Saat berjalan menuju lift, ia melirik ke layar penunjuk lantai yang mati. Hafizh mendesah, kenapa liftnya mati di saat yang tidak tepat? Sambil mengutuk dalam hati, ia akhirnya terpaksa memilih menuruni tangga. Meski masih terbilang muda, tubuh Hafizh tidaklah bugar seperti dahulu. Menuruni puluhan tangga ini sudah membuat lututnya kesakitan.

Ia berjalan menuju tempat parkir. Tangan kirinya tengah menjinjing tas berisi berkas-berkas sedangkan tangan kanannya mengambil kunci mobil dari dalam saku celananya. Namun benda kecil itu tak juga ia temukan dari dalam saku celananya.

"Pak!" seru seorang gadis dari belakangnya. Saat Hafizh menoleh, gadis itu tengah berlari ke arahnya. Rambutnya yang diikat mengayun pelan, ranselnya melompat-lompat di atas punggungnya saat gadis itu berlari. Entah kenapa, Hafizh tertegun melihat gadis itu. Detik rasanya berjalan jauh lebih lambat di matanya.

"Pak Hafizh, ini tadi jatoh di tangga" ujar gadis tersebut sambil menyodorkan sebuah benda kecil yang tak lain adalah kunci mobilnya. Hafizh tak bergeming, ia menatap gadis itu lama.

"Pak?" gadis tersebut memiringkan kepalanya, membiarkan rambutnya mengayun ke samping. Tangannya yang memegang kunci tersebut melambai-lambai di hadapan Hafizh. Entah kenapa, dengan melihat ayunan rambutnya sudah membuat jantung Hafizh berdegup kencang.

"eh iya, makasih ya" ucap Hafizh setelah tersadar bahwa ia sudah kehilangan beberapa detik disini, atau mungkin beberapa menit. Ia segera mengambil kunci tersebut dari tangan sang gadis.

"oh ya Pak, kemarin kan Bapak menawarkan posisi research assistant ke mahasiswa kelas Bapak, saya boleh mendaftar tidak? kebetulan saya butuh kesempatan ini buat CV saya" ujar gadis tersebut.

"oh ya, tentu. Kamu besok ke TU aja terus bilang sama ibu TU kamu mau daftar jadi asisten saya. Kebetulan belum ada yang daftar. Kalo gitu saya pergi dulu ya" Hafizh menjawab cepat lalu segera masuk ke mobilnya. Gadis itu segera pergi begitu melihat Hafizh masuk ke dalam mobil.

Hafizh melempar tasnya ke jok belakang lalu segera memasukkan kunci ke lubang kunci. Setelah memutar kunci tersebut, mesin mobil mulai menyala. Radio pun mulai berbunyi. Kedua tangannya kini menggenggam stir mobil.

Ah sial, siapa nama gadis tadi?

-

Haidar kini tengah menaiki lift menuju lantai 4. Ia terus memandangi layar yang menunjukkan angka di dalam lift. Hatinya berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Rafa. Iya, bagaimanapun Rafa harus tau. Mereka berdua harus menjalani kenyataan ini bersama.

Married with Mr. Detective 2 : Mr. Detective'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang