Kami kembali menyusuri hutan dengan kecanggungan. Dia tak membuka suara, akupun enggan untuk sekedar bertanya. Mungkin sudah satu jam kami berjalan dalam diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
Aku mengusap bulir keringat di pelipisku. Pepohonan yang kami lewati ini cukup tinggi dan rindang. Meski sinar matahari tak benar-benar menyentuh kulit, tetap saja aku merasa kepanasan karena lama berjalan. Langkahku melambat hingga jarak antara aku dengan Bagas semakin menjauh. Aku membungkuk dan memegang kedua lutut sambil mengatur napasku dengan mata tertutup. Kuhirup atmosfer tengah hutan yang sebenarnya cukup menyenangkan, jika saja kondisiku tidak separah ini.
Terdengar suara gemerisik. Ku sangka Bagas menghampiriku. Namun, saat aku membuka mata dan berdiri tegak, Bagas masih berjalan menjauhiku. Aku terperanjat ketika bunyi gemerisik itu datang lagi. Aku melihat sekitarku. Perlahan dua ekor monyet mendekatiku. Aku melangkah mundur. Suara monyet lain datang dari arah yang berbeda. Mereka turun dari pohon dan mulai mendekat dari sisi kananku.
"Gas!" teriakku.
Langkah Bagas terhenti dan tubuhnya berbalik menghadap ke arahku. Pria itu terlihat heran. Sepertinya dia tidak melihat monyet-monyet di sekitarku. Dia menautkan kedua alisnya lalu terkejut saat mengikuti tanganku yang menunjuk ke arah hewan-hewan itu. Dia bergegas menghampiriku.
Sementara aku semakin panik ketika melihat Bagas datang dan beberapa monyet lain berjalan di belakangnya. Aku menunjuk arah belakang Bagas dan dia ikut menoleh ke belakang. "Kenapa banyak monyet di sini?" tanyaku setelah tubuh kami bersebelahan.
"Ini habitat mereka," jawab Bagas. Pria itu memerhatikan sekitar kami dan mengawasi beberapa monyet lain yang turun dari atas pohon.
Kami berjalan mundur ketika mereka datang satu demi satu. Mereka seperti melihat makhluk lain sebagai pengganggu. Kami semakin waspada kalau-kalau mereka menyerang.
"Kamu ngapain!?" tegurku ketika Bagas membuka ranselnya.
Bagas tak menjawab. Dia mengambil buah jambu air dan berjalan mendekati sekumpulan monyet di hadapan kami.
"Gas, kamu mau ngasih mereka makanan kita?" Aku menahan lengan kekarnya.
Bagas menatapku. "Makanan yang kamu tolak mentah-mentah." Dia mengatakannya dengan nada dingin.
Apa Bagas marah denganku? "Gas, jangan!" cegahku ketika pria itu terus melangkah dan melempar buah jambu air dari ranselnya.
Monyet-monyet itu saling berebut dan memakannya. Namun, mereka yang tidak kebagian malah mendekati Bagas seakan meminta jatahnya. Bagas kembali melangkah mundur hingga kami kembali berjalan bersisian.
"Liat apa yang kamu lakukan!" geramku. "Itu monyet, Gas, bukan anjing. Kamu pikir dengan memberi mereka makanan, mereka akan menurut dan menjilati kaki kamu?" Kami berdua melangkah mundur meski monyet-monyet itu terus maju ke arah kami.
"Monyet itu hewan yang serakah. Mereka enggak cukup diberi sekali, selalu akan minta lagi." Aku menoleh ke arah Bagas. "Sekarang mereka mengincar ransel kamu. Mereka menyangka ada makanan lagi di sana. Jangan sembarangan memberi makan pada hewan, Gas. Masa kayak gitu aja enggak ngerti, sih? Ya Tuhan, apa yang mereka ajarin ke kamu di angkatan? Baris-berbaris? Suruh aja itu monyet-monyet baris!" Aku tak peduli jika kata-kataku membuatnya tersinggung. Saat ini aku kesal sekali dengan tingkahnya yang sok tahu.
Bagas menoleh ke arahku. Benar saja, dia terlihat marah. "Pastinya kami tidak diajarkan mengasuh monyet," sindirnya.
Aku semakin emosi mendengar lontaran kalimat Bagas. "Itu pengetahuan umum, Gas. Enggak perlu babysitting monyet, buat ngerti karakter MONYET!" Kata terakhir aku tekankan agar dia tahu aku benar-benar marah.
Bagas hendak membalas, tetapi urung karena kami terkejut ada satu monyet yang tiba-tiba melompat ke kaki kanan Bagas. Dia mengumpat dan menghentakkan kaki kanannya hingga monyet itu terpental. Namun, monyet lain justru ikut menyerang Bagas seakan tak terima salah satu dari mereka disakiti.
Aku menjerit dan melangkah mundur menjauhi Bagas yang sibuk menghalau mereka yang mulai menaiki tubuh Bagas. Jeritanku semakin menjadi ketika kurasakan sesuatu jatuh di tengkukku. Kudengar suara monyet yang kedua tangannya mencengkeram erat rambutku. "Gas, tolong!" jeritku. Aku berusaha keras menyingkirkan monyet di belakang kepalaku dengan memukulnya. Aku merasakan monyet lainnya menyerang kaki kiriku. "Bagas!" Aku terus berteriak dan monyet lain sudah mencakar lengan kiriku.
Tak beda denganku, Bagas juga sedang bersusah payah menyingkirkan beberapa hewan liar yang menyerangnya. Kuliahat ada dua monyet berbadan lebih besar yang mencengkeram erat ransel Bagas. Dia berusaha berjalan ke arahku seraya menyingkirkan monyet yang mencoba untuk melompat ke tubuhnya.
Sementara aku menjatuhkan diri agar monyet di punggung dan tengkuk tertimpa tubuhku. Kudengar suara kesakitan mereka. Aku terus menggelepar di tanah agar mereka menjauhiku. Mungkin mereka yang merasakan kesakitan karena pukulanku memilih mundur. Namun, teman-temannya kembali datang dan mencakar tubuh atasku. Aku kembali berteriak karena rasa perih yang kudera.
"Lempar ransel kamu, Gas!" perintahku pada Bagas yang tak jua menepis jarak di antara kami. Monyet liar itu dengan beringas melukai kulitnya. Aku sempat melihat lengan kanan Bagas digigit hingga berdarah. "Demi Tuhan, lempar saja ranselnya!" jeritku.
Bagas menurut. Dia melepas ransel membuat perhatian monyet-monyet itu teralihkan. Bagas segera menyingkirkan hewan yang masih berteriak di telingaku dengan pukulannya. Dia membantuku berdiri.
"Ayo!" Dia menyeret tanganku untuk berlari mengikutinya.
Aku sempat menoleh dan melihat sekumpulan hewan serakah itu berebut membuka ransel Bagas. Beberapa mengejar kami, tetapi nampaknya masih kalah cepat dengan kami. Aku masih mendengar jeritan marah dari hewan-hewan itu meski kami telah jauh berlari.
Kini perih tak terkira kembali merayapi tubuhku. Kepalaku pening dan tak sengaja tanganku terlepas dari gengaman Bagas. Yang kurasakan kemudian tubuhku terjatuh ke arah kanan. Mulutku terkatup, teriakan rasanya tak dapat kulontarkan ketika tubuhku terus terperosok dan berguling ke tanah yang lebih landai. Semak belukar dan ranting-ranting tajam menggores kulit tubuhku. Bebatuan tak ayal turut berpacu menyakitiku. Mataku setengah tertutup karena tak tahan dengan semua dera kesakitan yang kurasa.
"Maudy ... Maudy!"
Aku mendengar teriakan Bagas dari atas sana. Tubuhku berhenti berguling ketika menabrak pohon. Dengan sisa tenaga kurengkuh ranting yang melambai. Aku menangis karena berpikir akan mati setelah ini. Tak lama aku mendengar suara orang menepis belukar. Saat suaranya berhenti, aku kembali panik. "Bagas," rengekku. Tanganku sudah bergetar tak tahan berpegang pada ranting.
Satu sibakan semak di hadapanku dan kuliat pria dengan wajah ketakutan di sana. Dia mendekatku. "Dy," panggil Bagas.
Aku kembali menjerit karena peganganku terlepas. Tubuhku kembali berguling dan bebatuan tajam kembali melukis luka di setiap inchi tubuhku. Satu benturan di bagian belakang kepala membekukan ragaku. Pendengaranku semakin menuli. Telingaku berdenging dan aku menutup mata karena tak sadarkan diri.
****
NEXT PART PRIVAT
9 Peb 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AventuraMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...