Tiga Puluh : Air Mata

3K 92 4
                                    

Hari yang menegangkan bagi ku karena ibu ku tahu kalau aku sudah berbohong tentang kejadian kemarin. Aku pulang meninggalkan rendi di rumah sakit.
Aku di perjalanan tidak henti-hentinya memikirkan ibuku dan apa yang di lakukan ibu ketika tahu apa yang sudah aku lakukan. Selang beberapa jam akhirnya aku sampai rumah dengan perasaan takut. Aku masuk dan ibu ku sudah menunggu ku di ruang tamu.
“Assalamualaikum bu?”
“Waalaikum salam, kamu duduk dulu”. ibu menyuruhku duduk ketika aku mau pergi ke kamar.
“Emm... iya bu”. Ibu menatapku dengan wajah serius.
“Nda, ibu tahu kamu bohonh, sekarang katakan dengan jujur, kamu kemana aja kemarin?”
“Emmm... maafin nda bu, nda tidak bermaksud membohongi ibu”. Ibu langsung menjawabku. “langsung aja jawab pertanyaan ibu, kamu sejak kemarin kemana?!”. Rasanya takut, tangan ku gemetar aku pun menjawab dengan jujur.
“Em... aku di rumah sakit bu, rendi kecelakaan?”.  Ibu langsung kaget ketika aku menjawabnya.
“Astaga.... Rendi pemina PMR mu itu nda?, tapi kenapa kok kamu sampai nginep di rumah sakit?”
“Karena itu semua salah Nda bu, aku menakut-nakuti rendi dan rendi lari kejalan raya untuk mengambil mobilnya yang terparkir, dia tidak lihat arah, dari arah kirinya ada mobil, untungnya mobilnya lumayan pelan. Rendi langsung di larikan kerumah sakit”. Aku pun mengeluarkan air mata.
“sekarang keadaannya gimana ?, orang tuanya bilang apa?”.
“Orang tuanya masih belum tahu, kemungkinan besok sudah boleh pulang”.
“Orang tuanya dimana nda?”.
“Orang tuanya di luar kota, jadi aku harus merawatnya bu, sebagai tanda maaf ku”.
“Ya ampun nda, ini sebagai pelajaran buat kamu, untung orang tuanya tidak di sini kalau sampai di sini mungkin orang tuanya tidak terima, ya udah kamu ibu izinin kamu buat merawat pembinamu, kamu diem jangan nangis terus”. Ibu memelukku dengan hangat.
***
Keesokan hari....
Aku pun kembali ke rumah sakit untuk mengantar rendi pulang kerumah. Rendi seperti orang sehat biasa walaupun banyak plester di tangan dan keningnya, dia tetap bisa bercanda.
“Nda, kamu seperti bibik aja, haha”. Rendi menertawakanku ketika aku memackinng barang untuk di bawa pulang.
“No.... aku bukan pembantu, ingat!!! Aku disini karena aku merasa bersalah aja”.
“Owh... gitu, oke apa mau aku bilangin ke ortu ku?”
“Ehhh... jangan-jangan, iya deh terserah kamu ngomong apa”.
“ow... iya nda, kamu kan lagi nunggu masuk ospek kan, jadi kan masih libur, jadi kamu harus merawatku mulai pagi sampai sore”.
“Kokk gitu, emang aku baby sister apa!!”.
“Emang kamu ga kasian sama aku, aku kan di rumah sendiri Cuma sama pak tarjo (sopir), mungkin besok ato lusa bibik baru balik”.
“Emmmm.... ya udah, tapi jangan macam-macam”. Aku memperingatkan rendi dengan muka judes.
“ihh... PD amat, aku juga males sebenatnya, ketemu kamu terus”. Rendi memasang muka juteknya, tapi tetap tersenyum kepadaku.
***
Rendi pun sudah menghubungi pak tarjo, dan kita bertiga ke rumah rendi. Di perjalanan rendi seperti anak kecil dan merengek terus kepadaku.
“Nda minum”. Aku pun dengan sabar memberinya minum.
“Nda aku mau ngemil”. Sambil membuka mulut isyarat minta di suapin, karena tanganya masih belum pulih betul. Dengan sabar pula aku menyuapinya.
“Kamu manja banget sih ren, ingat kamu itu Dokter bukan bayi”.
“Emang ada yang salah, ini semua kan salah kamu”. Aku diam dan merasa bersalah, wajah ku berubah menjadi sedih dan hambir meneteskan air mata. Rendi pun melihatku dan langsung menarik ucapanya.
“Nda, maaf deh tadi kan Cuma bercanda, jangan di ambil hati dong, coba sini mana senyumnya, wajah mu jelek kalo kayak gitu.
Aku melihat rendi dan tertawa sendiri ketika rendi bilang seperti itu.
“Gitu dong tersenyum, akhirnya matahari cerah lagi”.
“Emang aku matahari apa?!”. Aku pun kesal.
“Kamu bukan matahari tapi kamu si manja”.
“dari pada kamu dokter super lebay, weekkkk”
Pak tarjo pun melihat dari kaca depan dan tertawa sendiri ketika melihat aku dan rendi kadang bertengkar kadang akur.
“Mas rendi sama mbak Nda ini kok seperti kucing sama anjing aja to”. Pak tarjo dengan logat jawanya.
“Maklumin aja pak, nda itu emang gitu orangnya, dikit-dikit baper, dikit-dikit marah, senyum, tertawa, emang aneh pak”.
“Bukan saya pak yang aneh, tapi nih orang yang lebay”. kataku sambil menunjuk kepala rendi.
“Udah-udah mas rendi sama mbak nda, ntar jodoh loh”.
“Jodoh dari mananya pak, kayak gini kok dibilang jodoh”. Kata ku sambil melihat rendi.
“Kalau di jawa itu ada pepatah begini mbak nda, “Tresno jalaran songko kulino”, kalau di bahasa Indonesiakan “Cinta itu berawal dari kebiasaan”. Kayak mbak nda ini, kebiasaan bertengkar, kebiasaan besama dan kebiasaan tertawa bareng lama-kelamaan jadi cinta”.
“Haduh pak tarjo ini bisa aja, seperti paranormal aja”. Rendi pun menjawab, dan menepuk pundak pak tarjo. Aku hanya tertawa mendengar penjelasan dari pak tarjo.
***
Akupun sampai di rumahnya rendi, rumah yang besar, bersih dan taman tertata rapi, tapi kehangatan tidak terasa di sini, sepi dan hening.
“Mbak nda silahkan masuk”. Pak tarjo mempersilahkan masuk.
Akupun langsung duduk di dekat rendi di ruang tamu.
“Ren rumah mu sepi banget sih”.
“Iya soalnya kan papa juga di luar kota tiga bulan sekali baru pulang, kalau mama kemarin ada kerjaan dua minggu di luar kota, tapi mungkin besok bibik pulang”.
“Ya udah deh ren, aku masakin ya mana dapurnya, pasti kamu laper kan?”.
“tuh kamu lurus aja, di belakang dapurnya, kamu tahu aja kalau aku lagi laper”.
Aku pun lamgsung kebelakang dan masakin rendi nasi goreng, dengan bahan yang sudah tersedia tidak lebih dari setengah jam akhirnya masakan ku sudah makan.
Akhirnya kita bertiga makan di meja makan bersama pak tarjo sekalian, sebelum aku makan, aku harus menyuapi rendi sampai selesai.
“Ren ini makan, biar aku suapin”. Rendi pun menikmatinya.
“Kamu ternyata pinter masak juga ya nda”.
“Iya lah, siapa tau aju jadi chef”. Aku tertawa dan rendi pun tertawa.
“Nda kamu makan juga jangan nyuapin doang”.
“Iya, nih aku makan”. Akupun menyendoknya dan memakannya, entah apa yang membuat renditerseyum ketika aku makan di hadapanya.
“Kamu tidak pernah lihat orang makan ya ren, kok senyum-senyum ngelihat aku makan.
“aku suka aja ngelihat kamu makan dan menikmatinya, lucu juga”.
“eheemm...ehemmm, tuh kan bener mas ren kata pak tarjo tadi”. Pak tarjo pun mengingatkan pepatah itu lagi.
“Pak tarjo apaan sih, emang rendi itu aneh orang makan aja di lihat”.
“Itu pasti ada rasa mbak nda”. Sambil meninggalkan aku dan rendi makan
“Pak tarjo ini ada-ada aja”. Kata rendi sambil tertawa.
Akupun melanjutkan makan berdua dan makan sepiring berdua. Tapi rendi terkadang diam dan hening, karena dia teringat kejadian kemarin.
Tak lama kemuadian pak tarjo menghampiri kita berdua.
“Mas rendi ada tamu di luar, mungkin temenya mas rendi”.
“Ya udah suruh masuk aja pak”.
Terlihat dari pintu, seorang cewek rambut terurai dan memakai jas dokter yang sama seperti kepunyaan rendi.
“Ren, kamu gapapa kan, katanya ada yang usilin kamu ya sampek kamu seperti ini”. cewek itu begitu perhatian sama rendi, seperti orang yang sudah kenal dekat. Aku agak menjauh.
“aku gapapa kok sa, nih kenalin ini Nda, dia udah tanggung jawab kok”.
“Oww.... ini yang nyelakain kamu ya ren, eh... kamu emang sudah gila apa, coba lihat ulah kamu, rendi jadi seperti ini”. cewek itu marah-marah di depan ku dengan bahasa yang kasar, aku merasa malu, sakit hati dan merasa bersalah, karena aku tidak bisa membendung air mata ku aku langsung lari kelaur dan pergi. Entah kemana aku harus pergi, yang penting aku bisa menjauh dari hadapan mereka
“Elsa kamu itu ngomong apaan sih. Nda... kamu mau kemana”. Rendi mencoba menyusulku tapi elsa manahan rendi.
“Kamu mau kemana sih ren, kamu itu baru keluar dari rumah sakit, biarin dia pergi, karena dia sudah membuat kamu seperti ini”.
“Stopp... ya sa, ini semua bukan salah Nda, mendingan kamu pulang”. rendi langsung masuk kamar dan meninggalkan elsa.
***
Akupun dengan terpaksa lari ke halte untuk menunggu bus, rasa capek setelah berlari, tidak kuhiraukan. Air mata pun tumpah seketika, rasa sakit ketika di hina dan rasa bersalah semakin besar. Aku tak henti-hentinya menagis. Aku hanya duduk dan di temani air mata yang terus mengalir di halte bus
Ponsel ku terus berdering, aku berfikiran mungkin rendi juga ingin menghinaku. Aku hanya diam tanpa mengangkat telfonya.

&&&&
Maaf ya telat update, soalnya lagi praktek magang.
Selamat membaca. 😊😊😊

Me Vs DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang