Renan duduk bersandar di sisi ranjang tempat tidurnya ditemani sepi dan suara lolongan hatinya yang kosong. Berat, begitu berat hidup yang harus dia lewati sampai dia tiba di titik ini. Banyak hal yang telah hilang dalam hidupnya dan banyak yang harus berusaha dia relakan dan ikhlaskan. Dia sudah mencoba bangkit, namun di satu titik rasanya dia jatuh kembali.
Ana terpejam di kamar sepinya, namun dia tak tertidur. Bayangan potongan-potongan nostalgia berayun-ayun ke sana kemari dalam pikirannya. Dia juga teringat ucapan bibinya yang tadi baru saja dia dengar.
"Temui Renan. Kamu mau hidupmu begini terus? Bibi tahu kamu mengalah demi menjaga perasaan Renan. Tapi, apa harus selalu seperti itu? Keraslah sedikit pada adikmu. Kamu takut adikmu menderita kalau kamu coba mendekati dan menemuinya, tapi apa kamu pikir dengan berdiam diri seperti ini dia juga tidak menderita?" ucap Bi Rinta dengan suara yang dalam dan tegas.
"Renan perlu support dari keluarga, walau dia benci keluarga sekalipun. Setidaknya kamu lah satu-satunya yang bisa mencoba mengetuk hatinya yang keras. Dia benci kamu kenapa? Bibi tidak habis pikir kenapa dia membencimu? Bukankah kamu yang selalu ada untuknya, bukankah kamu banyak berkorban demi dia. Dia cuma termakan perasaannya yang kalut. Temui adikmu, Ana. Semarah apapun dia padamu nanti, atau semarah apapun kamu padanya nanti itu lebih baik dibanding terus bersembunyi dari masalah."
"Masalah itu diselesaikan Ana, bukan diratapi."
Ana diam, tapi hatinya berteriak keras. Dia bukannya tak melakukan apa-apa, sudah tak terhitung rasanya dia mengajak adiknya bicara baik-baik, mencoba menyelesaikan masalah yang menguasai pikiran adiknya, namun selalu gagal. Ana hanya takut, takut kalau Renan akan seperti dulu lagi. Melihatnya bisa menjalani kehidupan seperti biasa, bahkan sudah mau keluar dari rumah saja sudah membuatnya bersyukur, dan apakah ada kata lain yang lebih membahagiakan selain rasa syukur? Saat dia tahu adiknya sudah bisa tersenyum walau tidak untuknya. Ana memilih diam bukan tanpa alasan, dia hanya tak mau batin adiknya terganggu oleh kehadiran dan keikutcampurannya akan masalanya.
Sementara itu, suasana kamar Renan masih gelap karena lampu tak dinyalakan. Dia masih duduk bersandar, meratapi keheningan hatinya yang sesak oleh banyak hal. Pikirannya pun rasanya berputar-putar tak kunjung berhenti. Dia punya seribu rasa sesal dan bersalah. Dia sudah mencoba untuk bangkit, namun ternyata dia hanya melarikan diri dari masalah. Dan kini, saat dia tak bisa melarikan diri lebih jauh lagi, dia kembali jatuh. Jatuh ke dalam jurang yang dia gali sendiri.
Pagi, dengan aroma, suasana, dan cahaya khasnya.
Evel mendengar pintu sebelah yang dibuka. Dia bergegas melangkahkan kakinya dan membuka pintu depan. Dilihatnya Renan sudah melangkah melewati kamarnya. Evel memandang Renan yang menjauh dengan pedih. Renan benar-benar seperti dirinya yang dulu, yang sendu dan muram. Evel menyesal setengah mati telah membuat Renan seperti itu.
Evel menutup pintu dengan rembesan airmata di dalam relung hatinya.
"Aku harus bagaimana?" batin Evel menyesal.
Sebuah rumah dengan terik matahari di atasnya menyambut Renan. Lelaki bertubuh tinggi tegap itu berdiri di depan sebuah pagar yang sudah cukup berkarat karena tertelan usia. Rumah yang begitu dia kenal. Rumah yang terlihat sendu dari luar padahal dulu di dalam sana banyak kata dan canda yang saling tertukar dengan manis. Renan lalu menarik pagar dan masuk ke pekarangan yang sedikit gersang. Rumah ini rasanya telah berkarat seperti hatinya.
Ana sedang sibuk di dapur dan mendengar suara ketukan di pintu. Dia lalu membersihkan tangannya yang penuh busa sabun cuci piring.
"Tunggu!" seru Ana sambil melangkahkan kakinya menuju ke pintu depan. Ana menarik tirai jendela di samping pintu dan melirik ke luar untuk mencari tahu siapa tamunya sebelum membukakan pintu, tapi sayang tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Late To Regret [Completed]
RomanceRasa sesal adalah rasa yang paling sia-sia. Masih bisakah mendapatkan rasa 'bahagia' yang pernah dibuang demi sebuah penyesalan? Ketika seorang gadis yang tak pernah mau peduli dengan sekitarnya tiba-tiba mendapat ungkapan suka dari seorang lelaki y...