3. PESONA GADIS XIRXIS

36 2 0
                                    

Setelah Serangan Kalayiq

Adalah sebuah hujan yang deras, suara rintik terdengar begitu kasar membentur atap. Dapat kudengar pula lantang guruh, mengusikku sampai jauh ke alam paling dalam. Mataku terbuka. Buram sejenak membawaku ke pias cahaya lilin yang menebar di langit-langit. Kepalaku pening. Berat bagai segala isinya berkumpul memadat. Sebelah mataku memejam lagi menahan sakitnya. Napasku kering, lidahku getir dan tenggorokanku bagai kemarau panjang tak berkesudahan. Rasa nyeri bergelayut pula di sekujur badan. Namun ngilu menyeruak begitu kuat di pangkal dada. Kemudian aku mengembara dalam kebingungan. Tak mengerti apa yang terjadi.

Kudapati badan banyak sekali dililit perban, tergeletak diapit selimut coklat muda dan kasur usang. Kain kasa menempeli pipi, kening dan pelipis. Aku menggulirkan kepala perlahan ke kanan dan kiri berharap ada segelas air putih untuk diteguk. Ah, di pojok ruangan seorang anak tengah duduk dalam diam, membaca ensiklopedia tebal tanaman obat. Buku itu miring sebab dihadapkannya isi tulisan ke arah lilin yang apinya mungil menari-nari. Di sebelah lilin itu bunga dahlia dalam vas kaca, manis bersanding dengan sebuah poci air.

"Aaahir..."Air. Tanganku mencoba menggapai meski tak sampai. Anak itu melenguh kaget lalu mencondongkan kepalanya, menerawang mukaku yang lemas. Petir menyambar, melewati jendela kilat cahayanya sekejap menyilaukan. Segera anak itu taruh ensiklopedianya di meja lalu beranjak dari kursi kayunya.

"Bibi Ethe!...Bibi Ethe!" Teriaknya memberontak deras suara hujan. Sambil berlari ke satu-satunya pintu yang ada. Membukanya tak begitu lebar, memasukkan kepalanya ke dalam lalu bilang.

"Bibi Ethe, Nir sudah siuman..." Beberapa saat kemudian ia membuka pintu itu lebar. Ibu menghambur dari sana. Dalam remang, wajahnya tampak merah. Tangan kirinya menutup mulut.

"A-Apa yang kau rasakan, nak?" Ulasnya sambil mengusap kening dan pipiku. Kurengkuhkan tenaga menunjuk poci air di atas meja. Ibu mengerti. Ia menghampirinya, menuangkan air ke sebuah gelas. Dan kudapati saat ia kembali untuk menyuguhiku air itu, aku lihat jelas matanya telah begitu saja menjatuhkan tetes-tetes tangis. Tangan kananya memegang gelas. Tangan kirinya ia pakai menutupi isak di mulut.

"Bi...Bisakah kau duduk?" Tanya Ibu sambil duduk di sisi kasur. Nada bicaranya terganggu isak tangis. Aku bergulir, mencoba mengangkat badan dan sekonyong-konyong lunglai. Otot-ototku limbung, nyeri dan lemas tak punya tenaga. Marco, anak pembaca ensiklopedia lekas membopongku beringsut. Aku menggeser bokong dan membiarkan punggungku bertumpu pada dinding. Terasa dingin sebelum Marco menyelipkan bantal di antara aku dan dinding itu. Ibu menyodorkan gelas, aku menyeruput air perlahan. Baru terasa bibirku perih, tenggorokanku sulit menelan.

"Hanya tiga malam dan ini malamnya yang ke empat!" Ungkap sebuah suara asing tiba-tiba. Suara yang jarang kudengar mengalun di rumah kami.

"Sudah kubilang Ethe, kau tak perlu khawatir. Putramu ini sekuat ayahnya..." Tambahnya dengan tenang. Perlahan langkah kaki terdengar mendekat, dari balik bayang-bayang kemudian muncul lelaki kurus tinggi, mengenakan tongkat meski langkahnya tak ada pincang. Bajunya tampak asing, tak seperti yang dikenakan orang kebanyakan. Warnanya merah dengan renda putih di kerahnya yang tinggi. Lengannya panjang. Bahannya tampak lembut sekali dikenakan. Di lingkar lehernya ada kain putih yang melilit dan dijejalkan tentu tak sembarangan. Celananya biru pudar. Alas kakinya sepatu bot kulit tinggi berwarna coklat tua. Pria itu kemudian berdiri di samping Ibu lalu bilang "Orang Kashf memang selalu mengagumkan." Senyum mengembang di wajahnya yang paruh baya. Keriput berkumpul di sekitar mata, menyebar sampai ke kening dan pipinya yang kurus dan tirus. Rambutnya abu. Hitam sejatinya, namun ada putih yang dominan. Wajahnya pun sangat bersih, tak ada barang sehelai pun rambut yang menempel di rahangnya yang terpahat kokoh. Kombinasi itu menjelma paras klasik yang gahar namun eksentrik di saat yang sama. Dan satu hal yang paling aku ingat, tubuhnya menebar aroma serupa kacang manis yang kentara dan menyengat. Siapa pria flamboyan ini?

OrzulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang