Delia menyesap secangkir matchanya yang sudah tersisa beberapa tetes. Sudah lama ia menunggu kehadiran Vanya-teman seperkuliahan untuk menyelesaikan proyek PKM (program kreativitas mahasiswa) yang ber-dateline 5 hari lagi. Tapi tanda-tanda kehadiran cewek itu sama sekali nihil. Yang ada hanya Delia yang kini duduk di bangku terpojok kafe Pelangi-menyendiri-di tengah keramaian. Kalau seandainya Vanya datang akan ia maki habis-habisan. Bagaimana tidak? Penyelesaian proyek PKM hampir 70% Delia yang menuntaskan. Bisa dibilang cewek itu cuma numpang nama di cover proposal PKM untuk kepentingan pribadi.
Itu permasalahan pertama. Sudah cukup membuat kepala Delia berkunang-kunang. Ia menghela napas berat. Cewek itu merasa sudah 3 jam waktu yang ia habiskan di kafe ini hanya untuk menunggu Vanya. Si cewek manja yang sama sekali tidak mau susah! Delia menengok jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 5 sore.
Sialan ah Vanya! Mending aku pulang aja dari tadi. Pikir Delia gusar dan setengah pasrah.
Ponselnya berdering. Mungkin mama menyuruhnya untuk segera kembali ke rumah. Mengingat cuaca sore ini sepertinya akan turun hujan lebat.
Layar ponselnya mengedipkan sebuah pesan singkat baru dari Aldin.
Demi apapun, ini juga sebuah permasalahan. Permasalahan kedua! Dia dan juga Aldin terlibat hubungan yang entah akan kemana arahnya sejauh ini. Yang bisa Delia ingat, sudah hampir sebulan hingga saat ini mereka sangat dekat. Hanya saja tanpa status.
Delia mendengus kemudian membaca pesan singkat itu.
Delia? Ada dimana sekarang?
Masih di kafe nungguin Vanya. Knp?
Mau hujan. Buruan pulang gih. Belum makan jg pasti ya?
Sudah beberapa kali Aldin memberikan perhatian pada cewek itu. Pada suatu waktu Aldin malah membuatnya melambung dengan berbagai kalimat manisnya dan juga perhatian khususnya. Ah satu catatan lagi, mereka sudah saling mengenal 4 minggu ini melalui jejaring sosial. Dengan kurang lebih 3 kali pertemuan. Aldin sukses membuat Delia merasa nyaman dan menginginkan hubungan yang mungkin lebih dari sekedar teman.
Del? Kok gak dibales?
Sori Al. Tadi masih bayar minuman di kasir.
Bujuk Delia. Kemudian ia beranjak dari kursi dan segera membayar secangkir matchanya.
Sebuah pesan singkat baru dari Aldin.
Oke. Buruan pulang nanti keburu hujan loh. Jaga kesehatan ya Del, dan take care di jalan =)
Delia senang. Senang sekaligus bimbang juga dengan perhatian yang diberikan oleh Aldin. Ia sama sekali tidak ingin menaruh hati kepada orang yang salah. Apalagi jika nanti akan terlalu menyakiti hatinya seperti yang sudah-sudah. Terlepas dari itu, Delia mengendarai motornya menjauhi kafe dan membelah kemacetan ibu kota. Pun melepas kepenatan nya untuk hari ini.
***"Sudah selesai Del proyeknya?" Ucapan Mama menyambut Delia yang baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu.
"Belom ma. Vanya engga dateng. Tadi dihubungi juga susah." Delia mulai menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, di sebelah Mama.
"Kok begitu ya? Yaudah enggak papa. Kamu sudah makan?"
"Belom juga ma. Pikir Delia tadi makannya nungguin Vanya. Eh dia malah ga dateng. Kesel deh." Tukas Delia gusar sambil menyandarkan kepalanya di pinggiran sofa.
"Itu Mama udah masak tumis cumi-cumi tadi. Makan gih sana."
"Ah beneran ma? Moodboster banget deh mama." Delia mengecup cepat pipi Mama sebelum ia benar-benar ngeloyor menuju dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In a Cup of Matcha
Teen Fiction"Dingin atau hangat matcha itu aku tetap menyukainya"