Sebuah foto terpajang manis di layar ponsel Evel. Evel memandanginya dengan tatapan dalam. Hatinya diisi oleh rasa bimbang. Selama ini dia tak mungkin membohongi hatinya bahwa dia menyukai Renan. Tapi, seandainya Renan tidak mirip dengan Kean, apakah dia juga akan menyukainya? Selama ini dia merasa Kean yang hilang telah kembali ke dalam hidupnya karena sosok Renan. Wajahnya yang serupa kadang membuat rasa rindunya pada sosok Kean tertutupi. Namun, dia tak mengerti apakah dia benar-benar menyukainya karena dia adalah Renan atau dia menyukainya karena ada bayang-bayang orang yang tergambar di layar ponselnya ini.
Evel menegakkan kepalanya yang tadi tertunduk menatap layar ponsel. Kini, dia memandang ke depan, ke dinding kamar kost-nya yang ditempeli sticky notes warna warni kenangan hari-hari kuliahnya. Evel merasa, mungkin ini sudah yang terbaik baginya. Renan sudah menjauh darinya dan memang seharusnya begini daripada dia harus tenggelam dalam ilusinya yang kacau. Dia mungkin memang menyukai Renan karena sosoknya yang mirip Kean, mulai dari wajahnya, senyumannya, tawanya dan kadang kata-katanya pikirnya. Dan itu bagaikan pisau bermata dua yang menancap di hatinya. Dia merasa bahagia karena masih bisa merasakan Kean, namun dia sadar itu adalah kebahagiaan yang menyedihkan.
Evel memegangi ponselnya dan mencari kontak Renan. Dia rela jika harus berpisah dengannya, toh dia bukan siapa-siapanya orang itu. Tapi, saling menjauh dengan cara yang buruk terlebih lagi dia lah yang memulai semua masalah ini membuat Evel merasa menyesal dan tak enak. Jika dia harus menjauh pun, harusnya dengan cara yang baik. Dia tak mau Renan mengenangnya sebagai gadis yang membuatnya kesal. Evel tak mau, semua canda dan tawa, dan segala hal yang dia lewati bersama Renan tiba-tiba berakhir dengan salam perpisahan yang jelek.
Ingin rasanya Evel menekan tombol ponselnya. Mengirim beberapa bait kalimat untuk Renan, tapi apa? Dia merasa tak penting saat Renan berkata bahwa dia bukan siapa-siapa. Dia merasa tak ada artinya jika dia mengirim pesan. Dan jika dia ingin meminta maaf pun tak baik rasanya jika lewat layar ponsel.
Evel diam. Dia tak menangis walau rasanya ada sakit yang menyengat hatinya, terlebih jika teringat banyak hari menyenangkan yang dia lewati bersama Renan. Dia merasa sudah pernah merasakan yang jauh lebih sakit daripada semua ini. Kehilangan Kean merupakan hantaman terberat yang pernah dia alami, jadi semua rasa sakit ini tak berarti apa-apa dan tak kan menuntun air matanya untuk jatuh kembali.
***
Sebuah ruangan gelap menemani rasa sendu Renan. Dia lalu membuka matanya. Baru saja dia bertengkar hebat dengan kakaknya dan kini dia duduk sendiri di kamarnya. Bersandar di ranjang, membiarkan gelap menenggelamkannya.
"Kamu boleh salahkan Kakak sampai mati karena Kakak gak memberitahumu keadaan dan penyakit Ibu. Tapi, jangan salahkan dirimu sendiri dengan pikiran bodohmu itu. Siapa yang tahu Ayah meninggal karena kecelakaan atau sengaja menabrakkan mobilnya? Siapa yang tahu? Walaupun jika seandainya benar sekalipun, apakah pantas kamu hidup seperti ini?"
"Kamu tahu, tanpa transplantasi kamu gak bakal hidup, tapi alasan kamu bisa hidup bukan cuma karena hal itu. Itu cuma salah satu yang membuatmu bisa bertahan hidup. Bukan masalah Ayah mendonorkan organnya untukmu atau apa, tapi masalah umur. Kamu hidup bukan dipaksa untuk hidup. Tapi, karena Tuhan masih memberimu umur panjang. Harusnya kamu bersyukur."
"Apa kamu lupa dengan perjuangan hidupmu? Pantaskah kamu berkata kamu lebih baik mati setelah melewati semua itu? Kakak tahu penderitaanmu. Kakak tahu kamu jauh lebih menderita dibanding Kakak. Kakak pikir kita bisa saling menguatkan, saling meringankan beban masing-masing, tapi ternyata kita malah seperti ini."
Renan diam dengan ribuan kata kalut dalam pikirannya. Dia memang kesal dengan Ana di satu titik. Namun, jika dia harus mengingat-ingat lagi, dia hanya punya Ana di dunia ini yang mau mengerti dirinya sampai seperti ini. Dia tahu Kakaknya banyak berkorban untuknya, dia benci jika harus membencinya walau di satu sisi dia merasa kesal padanya. Antara rasa sayang dan rasa benci, Renan pun akhirnya berpijak di tengah-tengahnya dengan cara menjauhi Ana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Late To Regret [Completed]
RomanceRasa sesal adalah rasa yang paling sia-sia. Masih bisakah mendapatkan rasa 'bahagia' yang pernah dibuang demi sebuah penyesalan? Ketika seorang gadis yang tak pernah mau peduli dengan sekitarnya tiba-tiba mendapat ungkapan suka dari seorang lelaki y...