Jogja, memang sungguh indah
Romansa yang tak berujung
Hingga membuatku pergi, lari dari kehidupan
Aku menampar diri, atas rasa penyesalan yang panjang
Mengapa ada pertemuan yang tak pernah ku harapkan?
"Dan aku memang harus cukup tahu, apa yang baru saja kau katakan kepadaku," Kataku kepadanya. Tatapannya hanya sebatas rasa bersalah. Iya, ia tak pernah bisa merasakan apa yang aku rasakan. Disetiap kali aku berkata, hanya ada orang lain dalam pikirannya.
"Aku tahu, aku telah membuatmu hancur, maafkan aku." Katanya kepadaku. Hingga siang menjelang, aku masih tak percaya atas semua ini.
Aku yang terlampau tolol, memberikan sepercik cahaya kepadanya. Memberikan sedikit harapan yang sirna kepadanya. Aku yang terlalu tolol, tak mungkin menyuruhnya untuk merasakan apa yang aku rasakan. Bergantung pada sebuah daun yang kering, yang setiap saat gugur, jatuh ke tanah.
"Ada orang lain yang aku harapkan, ketika aku bersamamu. Aku tahu aku salah, kau bukan saja pelarianku. Sungguh, ada rasa untuk memilikimu, namun telah berlalu. Kini, aku hanya mau mengharapkan apa yang sedang aku harapkan, dan aku seperti ini hanya berharap kepada mu, bahwa aku. Aku tak sanggup untuk memperdulikan orang lain, dan aku selalu mengharapkan itu terjadi juga pada diriku. Aku yang hanya mengharapkan namun tak memintanya untuk melakukan itu. Maafkan aku, aku tahu aku salah." Katanya kembali menjelaskan kepadaku. Aku tertegun, bagaimana bisa aku menjalin sebuah hubungan yang memang kini telah usang dengan dasar yang dimana ia mengharapkan orang lain, bukan mengharapkanku?
"Disaat kita menjalin hubungan yang dulu, aku merasa menjadi diriku yang lain. Bukan diriku sendiri. Aku telah berbohong kepadamu, aku tidak cukup baik untukmu. Kau, kau orang yang baik." Lanjutnya. Kini, ucapan yang sama di orang yang berbeda. Aku sudah terlalu bosan mendengarkan omong kosong ini. Sebuah kata yang klise, membosankan diriku.
"Terima kasih." Kataku kepadanya.
"Untuk apa?"
"Iya, terima kasih atas segalanya. Kini aku tahu dan kini aku sadar. Aku tolol. Dua kali, untuk kali keduanya aku mengalami hal yang sama. Tolol."
"Bukan kamu, aku yang salah. Aku juga yang tolol, betapa bodohnya aku memberlakukan kamu dulu. Menyepelekan kamu sejak awal."
"Iya, iya kamu yang salah. Sudah, sampai disini saja kita untuk saling mengenal. Anggap saja, kita tak pernah berjumpa. Anggap saja, kita tak pernah saling mencinta. Anggap saja kita tak pernah saling merasakan apa yang pernah kita lewati. Anggap saja, semua yang berlalu hanya sebuah kisah kecil tak berujung. Terima kasih."
"Kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan kepadaku? Bukan karena emosi belaka?"
"Pernahkah aku main-main dengan ucapanku kepadamu?"
Dia hanya diam.
Semuanya telah usai. Apa yang pernah terjadi, kini sudah menjadi angin lalu. Rasa kecewa ini takkan mungkin dengan mudahnya hilang begitu saja. Aku yang terlampau tolol dan bodoh, mungkin takkan ada kemungkinan untuk bisa merasakan, betapa indahnya cinta.
Di seberang jalan, aku duduk. Keramaian Malioboro tak memberikan aku arti lebih dari apa itu cinta. Hingga akhirnya, cahaya temaram dan titik jalan 0 km Jogja menjadi saksi atas kebisuanku. Rasa yang dulu aku tumbuhkan untuk seseorang, rasa yang dulu aku biarkan menjalar diseluruh tubuh, membuatku remuk. Aku hanya bisa terdiam, merasakan, raga yang tak terluka sedikitpun. Tidak ada goresan luka. Bahkan darah yang mengalirpun tak ada, namun, aku sedang kesakitan. Rasa sakit ini takkan cukup lama membuatku sembuh. Cukup menyesakkan dada. Aku yang terlampau tolol dan hanya kata-kata itu yang aku ucapkan dalam benakku. Mengapa kita menanam kalau ujungnya kita harus mencabut sampai akarnya? Untuk apa kita membuat taman kalau ujungnya hanya untuk dihancurkan kembali? Apakah rasa cinta berasaskan kepedihan yang paling mendalam? Apakah semua ini memiliki arti yang lebih terhadapku? Omong kosong apa lagi ini?
Aku menyalakan sepeda motorku dan mulai ku pacu dirinya. Melewati setiap jalanan Jogja yang mulai sepi ini. Kekosongan yang tak berarti, aku tak cukup mengerti, mengapa ia sebegitu teganya melakukan ini kepadaku. Apakah aku pernah berbuat salah kepadanya? Apakah dia memang salah? Apakah aku terlalu gila? Lalu, apakah aku mencintai seseorang bukan karena siap, melainkan hanya merasa kesepian?
Mata terus memandang jalanan, pikiran terus menguntai kata-kata haru. Aku harus pergi, mulai saat ini aku harus beranjak pergi. Dari semua kehidupanku, dari semua permasalahan yang pernah hinggap, namun, apakah aku harus melakukan itu? Mencampakkan diri terhadap keramaian? Membuatku bahagia atas kebodohan yang baru saja aku lakukan?
Di depan tugu, aku memandang. Putih, sungguh suci. Menawan. Iya, tugu Jogja itu putih, siap selalu di warnai oleh apapun. Hitam, merah, biru, kuning, jingga ataupun yang lainnya. Namun, apakah hati dan cinta yang putih serta tulus dan suci ini, siap diwarnai oleh kekecewaan dan kesedihan yang mendalam?
Aku duduk di bunderan UGM, dengan kertas dan sebuah pulpen. Merangkai mimpi dan kata-kata yang indah. Untuk puisi kesakitanku, hingga bintang di langit tak tampak indah kembali. Langit yang gelap berubah menjadi biru. Adzan Subuh terdengar dimana-mana, dan aku masih belum bisa beranjak dari tempat ini. Angin pagi yang berhembus kencang. Menusuk dingin dalam diriku.
Pagi menjelang dan puisi romantis telah usang. Aku berdiri, melihat foto seseorang wanita yang pernah hinggap dalam diriku. Selama itu, aku masih menyimpan rasa. Hingga akhirnya, aku tak sanggup menahan apa yang aku rasakan selama ini. Aku tolol, aku yang salah dan bergumam pada bayang-bayang masa lalu.
"Maafkan aku, kamulah sejatinya pelarian dari hidupku atas cinta tak terbalaskan ini."
Yogyakarta, 10 November 2016
Kisah yang takkan pernah bisa berakhir
YOU ARE READING
Putih
Short StoryPandangannya kini telah berubah. Iya, akulah penyebabnya. Bibir manisnya kini telah hilang. Pelangi di matanya kini telah lenyap mentah-mentah. Aku melihat; hilangnya keceriaan dirinya di hadapanku. Dia adalah; Nadya ku