24. Oh.. Fariz

22.5K 1.7K 129
                                    

Kini, Ashel duduk di depan meja rias menatap pantulan wajah yang sudah dibalut make up.  Dia menemukan aura kebahagiaan terpancar di wajah itu, wajah yang sedang kasmaran namun juga sedikit menyemburat ketegangan.

Dua minggu yang lalu, Fariz melamar Ashel.  Menyatakan keinginannya menikahi Ashel di hadapan Bu Dhe, Pak Dhe dan Ghayda, kakak laki-laki Ashel yang dianggap sebagai wali.

Tiara dan Naifa masuk ke kamar perias.  Wajah mereka terlihat berbinar menatap Ashel yang tampak sangat cantik mengenakan kebaya putih dan jilbab warna senada.

Naifa berdiri di sisi kanan Ashel merengkuh pundak sahabatnya itu, dia menatap wajah penuh cinta di dalam cermin.  Tiara menggelayuti lengan kiri Ashel dan jari telunjuknya menunjuk wajah Ashel di dalam cermin.

“Hiaaa... Ketauan muka kasmaran!” ledek Tiara kemudian cekikikan.

“Hus, jangan berisik!  Anak kecil sok tahu kasmaran,” celetuk Ashel.

“Shel, setelah ijab qobul nanti, kamu udah nggak sendiri lagi, ada Fariz yang akan menjadi suamimu.  Aku seneng banget, Shel.”  Naifa menumpahkan kebahagiaannya dengan memeluk Ashel berkali-kali. 

Disaat begini, sekarang malah Ashel yang bingung, bagaimana caranya Naifa terlihat sangat bahagia dengan kebahagiaan orang lain?  Padahal dari dalam diri Naifa sendiri, kebahagiaan itu tidak dia dapatkan. 

Tiara menarik tangan Ashel hingga tubuh Ashel bangkit dan berdiri.  Tiara juga menarik tangan Naifa.  Mereka membentuk lingkaran dengan kedua tangan saling berpegangan satu sama lain.  Tiara menarik tangan kiri Ashel dan tangan kanan Naifa hingga tarikan itu membuat ketiganya berputar di poros yang sama.

Suara tawa ketiganya membuat keheningan kamar berubah riuh.  Suatu saat nanti, tawa dan gerakan berputar itu akan dirindukan.  Suatu saat nanti, Ashel pasti akan mengenang hari itu menjadi hari bersejarah yang mengharukan.  Dimana orang-orang yang sangat perduli padanya, memberi motivasi dan dukungan dengan cara sederhana, namun nilainya sangat berpengaruh.

Ashel digandeng oleh Naifa menuju mobil yang menjemput.  Tak lain mobil milik Reihan, yang supirnya juga Reihan.  Sama halnya Ashel yang menjadi salah satu pengantar saat Reihan menikah, Reihan juga menjadi salah satu orang yang turut andil dalam pernikahan Ashel. 

Seminggu terakhir, Reihan sibuk membantu mempersiapkan apa saja yang Ashel butuhkan untuk persiapan pernikahan.  Bukan Reihan jika tidak perhatian pada Ashel, sahabat masa kecil yang sampai kini tetap menjadi sahabat.  Ditengah kesibukannya bekerja karena sudah habis masa cuti menikah, serta kesibukannya sebagai pengantin baru, Reihan tidak mau melewatkan kesempatan untuk bisa menyaksikan pernikahan Ashel.  Ayesha tidak ikut suaminya karena katanya sibuk di kantor.

Sesampainya di masjid, Ashel terkesiap menatap karpet merah yang menutup pelataran masjid. 

Pintu mobil dibuka saat mobil sudah berhenti tepat di depan masjid.  Reihan keluar terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Ashel yang terlihat kesulitan saat menapakkan kakinya yang dibalut heel tinggi.  Ashel dibantu Naifa berjalan menapaki teras masjid. 

Tidak banyak yang mengantar, hanya Tiara, Ghayda dan istrinya, sertaPak Dhe dan Bu Dhe-nya Ashel turut mengiringi dari belakang.  Serta beberapa orang tetangga.

Tiba-tiba Ashel merasakan jantungnya berdebar, kakinya gemetar, dia gugup.  Jangan sampai kakinya tergelincir akibat menapaki lantai ditengah rasa gemetar yang mendera.  Akan lucu jadinya jika dia kejungkang.  Ya, kakinya terasa sangat lemas saat menapaki lantai.

Naifa terus memegangi tangan Ashel.  Beruntung Ashel memiliki Naifa yang selalu menguatkannya disaat gugup begitu.  Ashel melihat kebahagiaan yang tergambar jelas melalui senyum haru di wajah sahabatnya itu.

“Bismillah,” bisik Naifa saat merasakan telapak tangan Ashel yang sedingin salju.

Ashel gugup, ya Allah.  Bukan hanya karena hari ini dia akan duduk bersisian dengan Fariz yang membuatnya segugup itu, namun juga karena dia sadar sepenuhnya bahwa sebentar lagi dia akan menjalani kehidupan baru bersama lelaki yang sangat dia cintai.  Hatinya berbunga-bunga dan gugup karena akan bertemu dengan calon suami yang beberapa menit lagi akan halal baginya untuk disentuh.

Manik mata Ashel sekilas menyapu para tamu yang duduk di atas karpet masjid.  Terdengar beberapa orang mengucap hamdalah melihat kedatangan Ashel yang kini sudah duduk disandingkan di sisi Fariz, membuat Ashel mengulum senyum bahagia.

Ashel sungguh masih tidak percaya, jika Allah benar-benar akan menyandingkan dirinya pada peristiwa sakral dengan lelaki yang sangat dia cintai sejak dulu.

Ashel melirik Fariz yang duduk disisinya tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya.  Saat matanya menangkap wajah pria tampan itu, rasanya hatinya dingin dan debaran kian menggila.  Fariz terlihat begitu tenang, tidak ada sedikitpun kegugupan yang terlihat di wajahnya. 

Dan inilah yang sejak tadi ditunggu-tunggu, Fariz menjabat tangan Ghayda yang duduk berhadapan.

“Bismillahirohmanirrohim.”  Ghayda memulai dengan suara mengguntur di depan mikrophone.

Setelah itu, ijab qobul berlangsung dengan lancar tanpa suatu pun kendala.

Menakjubkan, Fariz sangat tenang saat mengucapkan qobul-nya tanpa sedikitpun nervouse.

Salut!  Gumam Ashel.

Ucapan hamdallah menggema usai Fariz melafazkan qobul dengan benar.  Disusul dengan doa yang diaminkan oleh para hadirin.

Setelah itu, iring-iringan mobil mengantar mempelai wanita dan pria ke rumah Fariz.  Ashel dan Fariz sudah diperbolehkan duduk bersampingan di mobil milik Fariz.  Supir di depan sesekali melirik ke belakang dan mendapati dua wajah yang ekspresinya sulit dia mengerti.  Fariz tampak tenang tanpa ekspresi, Ashel terlihat gugup dan cemas.

Ashel meremas-remas ujung kebayanya.  Duduk bersisian dengan lelaki yang telah sah menjadi suaminya membuatnya jadi salah tingkah dan bingung.

Deg!

Untung saja jantung Ashel masih kuat hingga organ yang menjadi pusat vital itu tidak meloncat keluar saat keadaan membuatnya terkejut.  Fariz menyentuh tangannya.  Srrrrr...  Darah dalam tubuh Ashel rasanya berdesir merasakan kehangatan sentuhan tangan Fariz.

Fariz pasti mengetahui kalau Ashel sedang gugup tingkat tinggi, tangannya tentu merasakan begitu dingin telapak tangan yang dia sentuh.

“Jangan nervouse!” titah Fariz bernada otoriter.

Ashel mengangkat wajah dan menoleh ke wajah di sisinya.  Ya ampun, ekspresi Fariz yang tadinya datar, kini berubah seram.  Tatapannya horor. 

“Bapak ngasih tau kok mesti pasang muka horor gitu, sih?” Ashel menarik tangannya dan terlepas dari pegangan Fariz.  Pura-pura kesal. 

“Jangan lagi panggil saya Bapak, nggak lucu kalau kedengaran orang.  Istri sendiri panggil suami dengan sebutan Bapak.”

Supir di depan yang memang usianya sudah empat puluh tahun itu mengulum senyum melirik tingkah laku pengantin baru yang dia bawa.

“Jadi panggil apa?” tanya Ashel begitu polos.

“Mas.”

Ashel mengangguk.  Namun kemudian dahinya mengernyit dan bertanya, “Kalau di kantor saya mesti panggil Mas juga?”

“Tetap panggil Mas.  Kecuali ketika diadakan rapat.  Itupun kalau kamu ikut rapat.  Mana mungkin anak magang ikut rapat.”

Ashel mengangguk lagi.  Pasti akan terasa canggung saat pertama kali Ashel memanggil Fariz dengan sebutan Mas di depan teman-teman kantornya.

“Saya...”

“Jangan pakai saya, kedengaran formal banget, kayak ngomong sama rekan bisnis,” potong Fariz masih dengan nada otoriter.

“Jadi?”

“Aku – kamu.”

Ashel mendesah, banyak sekali aturan hidup Fariz.  Baru beberapa menit jadi istri aturannya sudah segitu, bagaimana jika setahun?  Ashel mengulum senyum.

Bersambung

Spam komen dong, biar cepet next

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang