"Morniiiiing"
Gue bersorak heboh bak Tarzan dari ujung anak tangga teratas. Menyapa dua wanita cantik beda usia di lantai bawah yang tampak asik dengan aktifitas masing-masing. Dengan langkah seringan kapas, gue turun menghampiri mereka di ruang makan.
"Morning cantik" gue kecup pipi Uni Ivy sekilas, lalu beralih ke arah dapur.
Di dapur Mama tampak tengah menuangkan air hangat ke dalam tiga gelas di atas meja bergantian.
Gue hampiri emak-emak berdaster itu, berdiri tegap di sampingnya. Mengangkat satu tangan dan meletakkannya di pelipis. "Selamat pagi Ndan" sapa gue tegas dengan nada suara cukup tinggi.
"Astagfirullah. Ya Allah. Onde mande" seru Mama kaget. Tangannya terangkat menyentuh dada, sementara teko air hangat yang digunakan untuk menyedu susu cokelat dan teh terhempas ke meja.
Mama menoleh ke samping, menatap gue horor. Tentunya cuma gue balas dengan cengiran tanpa dosa.
"Anak ini!" tangan Mama mencari-cari sesuatu, sebuah rotan kecil senjata andalan Mama untuk menghukum gue jika bandel sejak kecil "Sebelum Mamanya mati jantungan belum puas dia!"
"Ampun bundo" gue melarikan diri ke ruang makan tak lupa membawa kabur susu cokelat di meja.
"Heran, perasaan waktu hamil itu anak ngga ngidam tembolok ayam. Kenapa pas sudah brojol suaranya berisik macam tarzan" Dumel Mama.
"Kayaknya Mama ngidamnya toa masjid deh Ma" jawab gue sewaktu masih berdiri di partisi penghubung antara dapur dan ruang makan. Lalu lanjut kabur ke ruang makan.
Tiga minggu berlalu, sejak makan malam keluarga dengan Pak Nugra dan Bude Aida. Pak Nugra ngga keliatan lagi batang hidungnya. Cuma Bude Aida yang beberapa kali datang mendiskusikan perkara pernikahan dengan Mama. Semenjak makan malam itu Mama tinggal disini, sementara Papa balik ke Padang dan bakal datang lagi waktu hari H pernikahan. Maklum pns kecamatan ngga bisa libur kelamaan. Terancam potong gaji lebih parah diberhentikan.
Uni Ivy sendiri sudah balik dari Palembang setelah tiga hari selesai acara makan malam. Pernikahannya dijadwalkan seminggu lagi. Semua persiapan sudah rampung dilakukan. Gedung sudah mulai di dekor, undangan sudah di sebar. Catering sudah di pesan dan segala tetek bengek yang menyangkut acara pernikahan sudah diselesaikan. Pakaian pengantinpun sudah jadi. Tinggal kedua mempelai melakukan fitting. Doakan saja semoga mereka tidak lupa untuk itu, mengingat keduanya terlalu sibuk pada pekerjaan masing-masing.Untuk event ini, Pak Nugra dan Uni Ivy sepakat menyerahkan semua urusan persiapan pernikahan ke WO yang tentunya dalam pengawasan Mama dan Bude Aida. Untungnya Mama dan Bude Aida calon besan yang akrab dan memiliki satu selera. Melihat dua keluarga dengan background kebudayaan dan suku yang berbeda. Keduanya sepakat mengusung tema modern wedding untuk menghindari konflik nantinya
"Ada apa sih dek pagi-pagi sudah heboh?" tanya Uni Ivy waktu gue baru sampe dari dapur.
"Biasa, nyonya besar sensi ngga dapat jatah sebulan dari Papa" jawab gue asal bunyi. "Ada roti nih" gue comot roti di piring Uni Ivy dan melahapnya cepat.
"Ngga sopan ah Dek. Itu Mama loh" tegur Uni.
"Kamu mau kemana Dek?" Uni Ivy seperti biasa. Ngga pernah komentar tiap kali makanannya gue curi.
"Hah" gue menatap Uni bingung. Jujur tadi gue asik menikmati roti, ngga kedengaran waktu Uni ngomong.
"Kamu mau kemana?" Uni mengulang pertanyaannya "Tumben senin pagi gini udah rapi, biasanya masih bergelung di selimut" matanya meneliti penampilan gue.
Gue emang udah rapi. Tapi rapi versi gue mah sederhana. Kaos oblong, jeans robek, sama sepatu kets aja udah rapi versi gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)
Ficción GeneralNikah? Sama dosen pembimbing skripsi sendiri? Apa jadinya? Untung atau malah bunting eh buntung? Hanya kisah tentang mahasiswa semester akhir yang tengah diburu deadline menulis skripsi. Terpaksa menikah dengan dosen pembimbing skripsinya sendir...