Babak Ketiga : Buah Hati IV

24 2 0
                                    

Massa telah memadati hutan belakang Rumah Sakit Dr. Anwar. Berkerumun di balik pita pembatas yang dijaga polisi di semua sisi. Jepretan kamera serta kilatan lampu flash tak mengganggu kinerja pihak berwenang untuk mencari bukti di lokasi.

Hanya saja, kondisi tersebut sama sekali tak ideal bagi instansi yang dikhususkan untuk menyembuhkan diri. Riuh ramai orang-orang yang datang karena penasaran mengganggu operasional rumah sakit tersebut. Beberapa petugas sudah berusaha mengingatkan agar lebih tenang, tapi penonton lebih sibuk memenuhi rasa penasaran mereka sendiri saja.

Dari kejauhan, tiga agen Dunyapala Kota Medang mengamati situasi tersebut.

"K-Kita tidak mendekat ke sana?" Angkasa heran dengan posisi mereka yang berjauhan dengan tempat kejadian.

Sena yang ditanya hanya bisa bengong saja, tak tahu harus berkata apa.

"Nggak perlu. Aku bisa mencari jejak energi gaib dengan menggunakan Gagak Besi. Kalian juga bisa mendeteksi keberadaan Diyu dengan Astra kalian dari kejauhan kan?"

Jawaban Rani sudah cukup jelas untuk memuaskan pertanyaan pemuda bertubuh kecil itu.

"Druka, kamu dapat apa?"

Suara serak dari kepala harimau hitam di ujung tongkat Sena langsung menjawab Rani. "Tidak ada... Aku sama sekali tidak mencium bau Diyu di sekitar sini..."

"Nggak ada sama sekali?"

"...Iya."

Kening gadis itu mengerut. Matanya melirik batu hitam menyala kemerahan di tengah gelang perak yang melingkar pada tangan kanannya.

"Bagaimana dengan kalian?" tanya gadis berambut pendek itu pada Angkasa dan Astranya

"Saya juga tak mencium bau Diyu sama sekali di tempat ini." Kepala ular di ujung tongkat hijau metalik Angkasa menjawab pertanyaan Rani.

Mendengar ucapan Napasha. Rani kembali termenung sambil memandangi batu hitam di gelangnya yang berpendar kemerahan.

"Aneh..." gumamnya sendiri.

"Kenapa Ran?" Sena penasaran melihat sikap rekannya itu.

"Senjata Astra kalian berdua bilang kalau nggak ada jejak Diyu di tempat ini, tapi Gagak Besiku mendeteksi sisa energi gaib dari korban-korban itu."

"Mungkin ini memang bukan perbuatan Diyu. Bilangin kita cuma buang-buang waktu aja di sini..."

"Terus menurutmu siapa yang menggunakan energi gaibnya di tempat ini? Siapa yang tega membunuh anak-anak kecil itu? Lalu untuk apa dia melakukannya?"

Dicecar pertanyaan beruntun seperti itu, Sena hanya bisa menjawab sekenanya. "Ya nggak tau Ran. Kok kamu malah tanya sama aku? Tugasku kan cuma mencari dan menghancurkan Diyu..."

"Makanya kalau nggak tau itu diem, jangan kebanyakan komentar."

Setelah perkataan sinis itu, Rani kembali memutar otaknya.

Kedua rekannya tak ada yang berbicara. Lebih tepatnya tak ada yang tahu apa yang mereka harus perbuat selanjutnya. Cukup lama ketiganya berdiam diri tanpa suara. Mengamati orang-orang yang berlalu-lalang di hutan belakang rumah sakit.

"Kalau begitu lebih baik sekarang kita ketemu Kak Mita dulu." celetuk Rani tiba-tiba.

"Hah? Ke Kak Mita? Ngapain?"

"Cari informasi..."

"Duh! Aku harus ikut juga? Gak boleh nunggu di mobil aja? Aku males ketemu orang itu..."

Sambil kemudian mengetikkan sesuatu pada layar telepon genggamnya, gadis itu berkata pada Sena. "Sudah, ikut aja. Ini aku mau janjian ketemu sama Kak Mita di kantin. Kamu pagi ini belum makan kan? Biar aku yang bayarin."

Sena mengelus perutnya yang keroncongan. Sejak pagi perutnya memang belum terisi. Akhirnya demi mengisi perutnya, Sena mengalah. "Ya udah lah. Aku ikut..."

Rani beralih pada Angkasa. "Kamu juga ikut kan?"

Angkasa mengangukkan kepalanya dengan canggung.

Bersama dengan Angkasa dan Sena, Rani melangkah menuju gedung utama Rumah Sakit. Meninggalkan taman belakang yang masih ramai dikerubungi massa, wartawan, dan juga polisi.

***

DUNYAPALA : GAGAK, HARIMAU, DAN NAGAWhere stories live. Discover now