27. Kikuk

18.3K 1.6K 125
                                    

"Shel, kamu langsung turun ke bawah setelah ini, ya! Kutunggu di meja makan," seru Fariz yang mendekati pintu kamar mandi.

"I iya..." jawab Ashel.

Fariz keluar kamar. Menuruni anak tangga dan menuju ruang makan. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan kedua orang tuanya yang sudah duluan menyantap hidangan.

Fariz tidak menyentuh apapun. Dia menatap Sabiya yang mengenakan seragam SMA tampak menikmati sarapan sambil main ponsel.

"Kamu kok nggak makan, Riz?" tanya Fatma menatap putra sulungnya yang hanya diam. "Oooh... Nungguin Ashel?" Fatma tersenyum.

Fariz mengangguk. Ia menarik kursi di sebelahnya saat Ashel muncul. Lalu menepuk kursi yang baru ditarik tersebut saat matanya bertukar pandang dengan Ashel.

Segera Ashel duduk di kursi tersebut, senang sekali Fariz memperlakukannya demikian.

Fariz mengambil sepotong sandwich dan diletakkan ke piringnya. Kemudian dia mengambil sepotong lagi dan diletakkan di piring lainnya yang langsung dia arahkan piring tersebut ke hadapan Ashel.

Sabiya menatap tingkah Fariz dengan tatapan tajam dan ekspresi tidak senang.

Ashel melirik Fariz yang mulai memotong makanannya dengan pisau dan menusuk potongan tersebut dengan garpu. Ashel masih memperhatikan suaminya mengunyah ketika akhirnya Fariz menoleh menyenggol lengannya.

"Ayo, makan!" ucap Fariz yang melihat Ashel hanya diam saja dan justru memperhatikannya makan.

Fariz meletakkan pisau dan garpunya lalu memotong sandwich milik Ashel dan menusuk potongannya dengan garpu.

"Apa mau disuapin juga?" tanya Fariz membuat sejurus pandangan mengarah pada Ashel dan Fariz.

Spontan Ashel mengedarkan pandangan dan melihat Papa dan Mama mertuanya tersenyum, sementara Sabiya memasang ekspresi masam.

"Iya, aku makan." Ashel segera menyambar garpu dari tangan Fariz dan menyantap makanannya. Dia tadi memperhatikan Fariz karena kagum, suaminya itu memperlakukannya dengan manja.

"Ini tanda-tanda malam pertama lancar, kan?" Fatma melnontarkan pertanyaan yang membuat Ashel langsung keselek. Untung saja ia cepat bergerak reflek meneguk air minum. "Nggak ada masalah malam tadi, kan?" Fatma seperti tidak perduli dengan keseleknya Ashel barusan.

Ashel melirik Fariz yang malah asik makan dan terlihat cuek dengan pertanyaan Fatma. Apa Fariz tidak tahu kalau Ashel sedang meminta bantuan untuk menjawab?

"Mama, ada anak kecil, nggak boleh ngomong di depan Sabiya," tukas Fariz dengan tatapan ke piring, tanpa memandang Sabiya yang jutek. Adiknya itu kemudian berpamitan setelah mencium punggung tangan Fatma dan Azril. Tak lupa ia meminta uang saku. Ia tidak terima saat hanya diberi lima puluh ribu, terpaksa Azril menambah selembar lagi.

Sepeninggalan Sabiya, Ashel mempercepat makannya. Sudah tidak ada anak kecil lagi di antara mereka, maksudnya anak dibawah umur delapan belas tahun, ngeri juga kalau Mama Fatma melanjutkan obrolan yang tadi. Ashel bawaannya canggung dan malu.

Gara-gara terburu-buru, Ashel tersedak lagi. Dia cepat-cepat menyambar gelas dan menguknya dengan lahap.

"Gimana, sih? Dari tadi keselek mulu?" Fariz menoleh kepada Ashel.

"Seret," jawab Ashel sekenanya lalu meletakkan gelas ke asalnya.

"Hati-hati, dong. Kalau keselek terus, entar jakunnya gede. Mau jakunnya jadi gede?"

"Cewek mana punya jakun."

Ashel melihat Azril menyudahi sarapan, makanannya duluan habis.

"Kalian lanjutkan sarapannya. Ashel, bersabarlah sebentar untuk bisa pindah rumah. Fariz belum punya rumah sendiri soalnya. Pelan-pelan nanti dipikirkan itu. Oke, Papa kerja dulu." Lelaki tengah baya berkemeja hitam itu berlalu pergi.

Ashel bersorak dalam hati. Tentu saja ia berharap bisa secepatnya pindah dari rumah itu. Bukan karena tidak suka tinggal serumah dengan mertua, tapi pendidikan dan tumbuh kembang rumah tangga yang mandiri pasti akan jauh lebih baik. Ashel juga tidak perlu merasa canggung lagi bukan? Semoga secepatnya ia dan Fariz akan pindah rumah, membuka lembaran baru, rumah baru, dan bulan madu. Wkwk... Kok, jadi kesitu pikirannya?

"Fariz, kamu mau kemana, kok pakai baju rapi begitu? Bukannya kamu lagi cuti?" Fatma baru saja menyadari penampilan sulungnya.

"Penampilan rapi bukan berarti harus kerja kantor juga kan, Mam?"

"Lah, nggak biasanya kamu pakai baju begitu kalau lagi di rumah. Jadi kamu mau kemana? Ini kan hari kalian berdua, masak sih kamu udah mau pergi aja."

"Ada urusan, Ma."

"Oh... Mama tau, kamu mau ajak Ashel jalan-jalan, ya?" tebak Fatma dengan ekspresi sumringah. "Ya sudah, Mama nggak mau ikut campur kalau sudah urusan begitu. Pergilah kalian."

Ashel melirik Fariz dan Fatma silih berganti. Yang satu main asal nebak, yang satu kebingungan. Ashel ingin tertawa sendiri jadinya.

"Aku ada urusan kerja, Ma. Bukan mau ajak Ashel jalan-jalan."

"Loh, katanya cuti, kok ngurusin kerjaan?" protes Fatma.

"Kerjaan yang ini nggak bisa ditunda. Bukan urusan kantor, kok."

"Jadi berapa lama kamu cuti?"

"Seminggu."

"Seminggu aja? Ini hari spesial loh, masak kamu Cuma ambil cuti seminggu saja? Apa salahnya dua minggu? Jadi kan kalian bisa bulan madu ke mana gitu kalau mau."

"Mama, plis. Ini bukan saatnya." Fariz kemudian melirik Ashel bertepatan saat Ashel juga tengah meliriknya. "Ingat, meski cuti, bukan berarti kamu terbebas dari tugas," bisiknya di dekat telinga Ashel berharap Fatma tidak mendengar suaranya.

"Tugas apa?" Ashel balas berbisik seraya menaikkan alis.

"Negosiasi tanah sama Pak Roby. Okey?" Fariz menarik kedua sudut bibirnya sembari menatap intens istrinya.

Entah kenapa kepala Ashel mengangguk patuh. Apa karena sekarang Fariz sudah menjadi suaminya makanya dia jadi sepatuh itu? Atau gerakan anggukan tadi hanyalah sebuah tindakan refleks?

"Ma, aku pergi dulu. Titip Ashel bentar ya, Ma." Fariz mengusap pucuk kepala Ashel dan melenggang pergi.

"Loh, Ashel nggak kamu ajak?" seru Fatma.

"Biar istirahat di rumah aja. Nanti dia kecapekan," jawab Fariz sambil berjalan menuju ke luar.


Bersambung

Spam komen yow, biar semangat ngetik nih

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang