Bab 40 - Yang Terakhir (END)

2.7K 167 52
                                    

Malam semakin pekat, tapi mata Evel masih terbuka lebar, bola matanya dipenuhi pantulan rasa lega. Rasanya sungguh tak mau terlelap karena masih ingin merasakan perasaan bahagia yang semakin lama semakin bertambah banyak. Seandainya saja 'rasa' bisa diabadikan seperti potret, ingin rasanya Evel menyimpannya, agar sampai kapan pun perasaan bahagia yang bagai keajaiban ini masih kuat terasa dalam ingatannya.

Kini, rahasia Renan dan Evel pun hampir memudar sepenuhnya. Evel sudah tahu masa lalu Renan yang pahit. Evel tahu bahwa Renan harus meminum obat seumur hidupnya, dia punya banyak pantangan makan, dan dia juga mungkin akan cukup sering keluar masuk rumah sakit. Renan juga punya banyak luka bekas operasi di beberapa bagian tubuhnya yang tak pernah terlihat Evel. Namun, Evel tak peduli. Baginya, Renan sudah terlalu sempurna untuknya. Ke mana lagi dia bisa mencari seseorang yang bisa mencintainya seperti Renan --- atau Kean lebih tepatnya. Tahu bahwa orang itu masih ada di dunianya saja sudah merupakan hadiah yang seperti keajaiban baginya. Tak mungkin dia melepaskannya. Apalagi untuk alasan konyol yaitu karena kekurangan orang itu.

Sebait senyuman haru tergambar di wajah Evel. Bola matanya yang jernih dihias butiran air mata dan rona merah. Renan menyuruhnya untuk tak menangis, tapi air mata gadis itu malah menggenang semakin banyak dan hampir berjatuhan.

"Aku cerita bukan berarti pengen bikin suasana jadi menyedihkan atau apa. Maaf ya, kamu malah jadi nangis," kata Renan sambil menghapus air mata yang meluncur pelan di pipi Evel.

"Udah," kata Evel saat air matanya mulai mengering. Renan lalu berhenti menyapu pipi basahnya.

"Aku sebenernya males inget masa itu, tapi aku cuma mau jujur, dan kamu mau tahu apa rahasiaku, kan? Maaf ya, Vel. Aku harusnya kasih tahu semua itu sebelum aku ngelamar kamu. Kalau aja habis ini kamu kebe-"

Ucapan Renan terhenti saat gadis yang duduk di sampingnya tiba-tiba menyentuh pipi kanannya dengan bibir penuhnya yang manis.

"Aku cinta kamu apa adanya, kok," ucap Evel kemudian dengan wajah merona dan hati yang tenteram. "Tadi kan kamu bilang kita mau bikin undangan dengan nama Kean dan Evel, masa kamu mikir aku mau batalin cuma gara-gara masalah itu," jelasnya sambil tersenyum pada Renan di sisinya. Senyuman yang tak pernah Renan sangka akan diberikan seorang 'Evel' padanya.

Renan diam dengan senyuman tipis dan bola matanya terlihat sedikit memerah karena basah. Tak pernah sekali pun dia terpikirkan bahwa gadis yang akan menerimanya apa adanya adalah gadis yang ada di sisinya ini.

"Jangan nangis dong," ledek Evel saat melihat Renan, padahal jujur saja dia juga terharu, ingin sekali rasanya selalu mendekap orang di sisinya ini dengan erat.

"Aku gak nangis," protes Renan dengan mata basahnya yang mulai mengering dan tak jadi mengeluarkan air mata, tapi rasa haru sekarang membanjiri hatinya. Dia tersenyum singkat lalu menoleh dan menatap Evel di sampingnya. "Sekarang berani ya, cium-cium sembarangan. Gimana nanti kalau sudah jadi su-" Ucapan Renan terhenti karena Evel membungkam mulutnya.

"Kamu gak berhenti kerja aja? Kan capek jadi AD --- Art Director ---." Evel menatap Renan dengan sedikit rona cemas.

"Gak juga sih, kalau aku seneng. Kadang memang berat sih, tapi aku seneng ketemu banyak orang dan kerja sama banyak orang. Lagian kerjaan apa coba yang gak bikin capek?"

"Ada kok, pekerjaan yang gak bikin capek. Nanti deh kita cari," balas Evel.

"Kamu konyol banget, Vel," kata Renan.

"Kenapa?"

"Biasanya tuh cowok harus punya pekerjaan kalau mau nikah. Ini, mau nikah malah disuruh berhenti kerja," kata Renan.

"Setahuku kerja jadi AD kan capek, bisa pulang larut malam, kerja di bawah tekanan. Kamu kan gak boleh capek. Ini aja kamu masuk rumah sakit karena apa? Salah satunya karena kecapekan, kan? Kalau kamu bilang kamu seneng jadi gak masalah. Terus, kenapa gak pilih basket aja?"

Too Late To Regret [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang