"The Ones Who Walk Away From Omelas".

1.1K 56 5
                                    


#####Hipi Riding#####

      Dengan sebuah dentingan dari bel yang berbunyi. Para burung wallet membumbung ke langit, Festival Musim Panas telah datang ke kota Omelas, terang dan menjulang di sisi laut.
       Tali temali dari perahu-perahu yang berlabuh serta bendera-bendera yang berkilauan. Di jalan-jalan di antara rumah-rumah beratap merah dan dinding bercat, di antara taman-taman berlumut tua dan di bawah deretan pepohonan.
     Melewati taman-taman besar dan gedung-gedung umum, hiruk pikuk yang bergerak. Beberapa dari mereka bersikap sopan: para orang tua dengan mantel panjang kaku berwarna ungu muda dan abu-abu, para penjaga kuburan, wanita-wanita yang anggun nan ceria menggendong bayi-bayi mereka, mengobrol seraya mereka berjalan.
      Di jalan lain musik berdentum lebih cepat, dengan gong dan tamborin yang berkilauan, dan orang-orang yang sedang menari ria, arak-arakan itu berupa tari-tarian.
      Anak-anak menyelinap ke sana ke mari, suara mereka nyaring terdengar layaknya penerbangan silang burung walet di antara suara musik dan nyanyian. Seluruh arak-arakan berpusat ke sisi utara kota, tempat di sebuah lembah air raksasa yang disebut Green’ Fields.
      Dimana para anak laki-laki dan perempuan, bertelanjang di udara yang cerah, dengan kaki-kaki dan mata kaki dan lengan-lengan panjang yang luwes berlumuran lumpur, melatih kuda-kuda pemberontak mereka sebelum pertandingan. Kuda-kuda tersebut sama sekali tidak mengenakan perlengkapan apa pun selain tali kekang. Surai mereka dihiasi hiasan pita berwarna perak, emas, dan hijau. Hewan-hewan itu mengembangkempiskan cuping hidung mereka dan menderapkan langkah dan menyombongkan diri kepada satu sama lain; mereka sangat bersemangat, kuda-kuda tersebut menjadi satu-satunya binatang yang mengadopsi upacara-upacara kami seakan itu adalah upacara mereka.
      Jauh ke arah utara dan barat, gunung-gunung menjulang mengelilingi Omelas di teluknya. Udara pagi begitu cerah hingga salju yang bertengger di atas Eighteen Peak meleleh karena api putih keemasan dari kejauhan udara yang dipenuhi oleh sinar mentari, di bawah biru tuanya langit. Angin berembus cukup kencang untuk membuat spanduk yang menandai jalur pertandingan terus terhempas dan berkibar. Dalam kesunyian lembah hijau yang luas seseorang dapat mendengar musik berembus melewati jalan-jalan kota, terdengar dekat namun juga jauh dan seakan-akan sedang mendekat, udara dipenuhi keceriaan manis yang samar.
      Yang dari waktu ke waktu bergetar dan berkumpul bersama dan pecah ke dalam kegembiraan besar dari lonceng-lonceng yang berdentang.

Menyenangkan! Bagaimana cara seseorang menceritakan mengenai kesenangan? Bagaimana mendeskripsikan masyarakat Omelas?

     Mereka bukanlah orang-orang yang sederhana. Kau tahu, meskipun mereka bahagia. Tapi kita tidak lagi banyak mengucapkan kata keceriaan. Semua senyuman telah menjadi sejarah. Dalam mendeskripsikan mengenai hal ini, seseorang cenderung membuat suatu asumsi. Mencari-cari pewaris kerajaan selanjutnya yang menunggangi seekor kuda jantan yang cantik dan dikelilingi oleh para kesatrianya yang terhormat, atau mungkin di dalam tandu keemasan yang dipikul oleh budak-budak berotot. Tapi tidak ada raja.
    Mereka tidak menggunakan pedang, tidak juga memelihara budak. Mereka bukan kaum barbar. Aku tidak tahu apa peraturan dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat mereka, tapi aku curiga peraturan dan hukum itu dalam dihitung jari. Seperti yang mereka lakukan tanpa kemonarkian dan perbudakan, mereka juga hidup tanpa bursa efek, iklan, intel, dan bom.
    Kuulangi sekali lagi, mereka ini bukanlah masyarakat yang sederhana, bukan juga gembala yang lembut, bangsawan yang biadab, utopis yang hambar. Mereka sama rumitnya dengan kita. Masalahnya adalah kita memiliki kebiasaan buruk, didorong oleh orang-orang yang menjunjung tinggi keilmuan dan para aristokrat, yang menganggap kebahagiaan merupakan hal yang bodoh.
    Hanya rasa sakit yang merupakan kecerdasan, hanya hal buruk yang menarik. Ini adalah pengkhianatan yang dilakukan seorang seniman: penolakan untuk mengakui kedangkalan mengenai keburukan dan kejenuhan buruk dari rasa sakit. Jika kau tidak bisa mengatasinya, bergabunglah dengan mereka. Jika itu sakit, ulangi hal tersebut. Tapi untuk memuja keterpurukan itu adalah untuk menyangkal kepuasan, memeluk kekerasan adalah untuk kehilangan kekuasaan atas segala lainnya. Kita nyaris kehilangan pegangan; kita tak lagi dapat mendeskripsikan seseorang yang bahagia, tidak juga dapat membuat perayaan kesenangan.

Bagaimana caranya supaya aku bisa menceritakan padamu mengenai orang-orang dari Omelas?

    Mereka bukanlah orang-orang yang naif dan bahagia. Meskipun anak-anak mereka, pada kenyataannya merasa bahagia.
     Orang-orang Omelas itu adalah seseorang yang dewasa, cerdas, penuh semangat yang kehidupannya belum dihancurkan.

Oh keajaiban! Tapi kuharap aku dapat mendeskripsikannya lebih baik. Kuharap aku dapat membujukmu.

Omelas dalam perkataanku terdengar seperti sebuah kota dalam cerita dongeng, sangat lampau dan jauh di sana, pada suatu waktu. Mungkin akan lebih baik jika kau membayangkannya sesuai gambaran kesenanganmu sendiri, menganggap hal tersebut sewaktu-waktu dapat terwujud, dengan pasti aku tidak bisa menanggapi kalian semua. Tiba-tiba saja aku terpikir, bagaimana dengan teknologi? Kurasa baik mobil maupun helikopter pun tidak akan ada di jalan maupun udara. Ini mengikuti fakta bahwa masyarakat Omelas adalah orang-orang yang bahagia.
      Kebahagiaan itu didasari oleh hanya pada diskriminasi mengenai apa yang penting, apa yang tidak terlalu penting atau menghancurkan, dan apa yang menghancurkan. Di tengah kategori, bagaimanapun juga – bahwa hal yang tidak terlalu penting namun tidak menghancurkan, bahwa hal yang membuat nyaman, mewah, penuh kegembiraan, dll – mereka dengan sangat baik, dapat memiliki pemanas sentral, kereta bawah tanah, mesin cuci, dan semua hal luar biasa yang belum ditemukan di sini, sumber penerangan mengambang, sumber daya yang bukan berasal dari minyak, sebuah obat untuk flu biasa. Atau mereka juga bisa jadi tidak memiliki satu pun dari hal-hal itu: tidak masalah. Sesukamu saja.
     Aku cenderung untuk berpikir bahwa orang-orang yang datang dari kota dan dari pesisir pantai telah mendatangi Omelas pada hari terakhir sebelum Festival dengan menggunakan kereta kecil super cepat dan kereta trem dua tingkat, dan bahwa stasiun kereta Omelas itu adalah bangunan terkeren di kota, meskipun terlihat lebih polos daripada Farmers’ Market yang luar biasa.
      Namun meskipun memiliki kereta, aku khawatir bahwa bagi beberapa orang sejauh ini Omelas meninggalkan kesan sok baik-baik. Senyuman, lonceng-lonceng, parade-parade, kuda-kuda. Jika kau berpikir seperti itu, silakan tambahkan sebuah pesta seks.
      Jika sebuah pesta seks bisa membuat persepsimu lebih baik, jangan ragu untuk lakukan itu. Bagaimanapun, mari kita untuk tidak memasukkan kuil-kuil yang dipenuhi oleh pendeta dan pendeta wanita cantik tanpa busana yang sudah setengah mabuk dan siap untuk bersanggama dengan pria dan wanita mana pun, kekasih atau orang asing yang menginginkan penyatuan dengan Ketuhanan dalam darah, meskipun itu adalah ide awalku. Tapi sungguh, akan jadi lebih baik jika tidak ada kuil apa pun di Omelas.
     Setidaknya, tidak untuk kuil yang dihuni oleh manusia. Agama ya, pendeta tidak. Tentu saja para sosok indah tanpa busana itu bisa berkeliaran menawarkan diri layaknya kue dadar agung kepada para orang yang membutuhkan dan pengangkatan daging. Biarkan mereka bergabung dalam arak-arakan. Biarkan tamborin ditabuh di atas persanggamaan mereka, dan keagungan dari hasrat dideklarasikan menggunakan gong, dan (bukan sebuah poin yang penting) biarkan turunan dari ritual-ritual menyenangkan ini dicintai dan dinantikan oleh semuanya.
     Satu hal yang kuketahui, tidak ada satu pun di Omelas yang merasa bersalah.

Tapi apa lagi yang seharusnya ada di sana?

Awalnya kupikir tidak ada obat-obatan terlarang, tapi itu munafik. Untuk mereka yang menyukainya, rasa manis samar drooz,  yang begitu pekat menguar ke seluruh penjuru kota. Drooz yang mana awalnya memberikan pencerahan yang luar biasa, kecemerlangan untuk pikiran dan tubuh, dan kemudian setelah beberapa jam sebuah ketenangan yang hebat, dan penglihatan yang luat biasa pada rahasia Alam yang paling rahasia dan dalam, juga sama menyenangkannya seperti kepuasan seks di atas semua kepercayaan; dan ini bukan pembentukan kebiasaan. Untuk rasa yang lebih ringan, kurasa itu adalah bir. Apa lagi...?
    Hal lain apa lagi yang dimiliki kota menyenangkan tersebut? Rasa kemenangan, tentu saja, perayaan keberanian. Tapi selagi kita melakukannya tanpa pendeta, biarkan kita melakukannya tanpa tentara pula. Kesenangan yang terbentuk dari pembantaian yang sukses bukanlah kesenangan yang tepat, itu bukan, itu menakutkan dan tidak penting. Kepuasan yang banyak dan tak berbatas, sebuah kemenangan besar tidak dirasakan untuk melawan musuh dari luar namun di dalam komunitas dengan orang-orang yang memiliki jiwa terbaik dan teradil dan keindahan musim panas, ini adalah apa yang membuncah hati para masyarakat Omelas, dan kemenangan yang mereka rayakan adalah untuk kehidupan.
      Aku sungguh tidak merasa banyak dari mereka perlu untuk mengonsumsi drooz .
      Sebagian besar dari arak-arakan telah mencapai Green Fields sekarang.

(Karena terlalu panjang aku jadiin 2 bagian ya smua... smgo kalian tetep suka... please VoMentnya...)

"The Ones Who Walk Away From Omelas" By: Ursula K.Le Guin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang