1/1

12 0 0
                                    

Aku menundukan wajahku.

Menatap ke arah tanah yang sudah di penuhi oleh daun daun gugur musim semi.

Aku menghirup oksigen sebanyak mungkin, berusaha menetralkan fikiranku akan kemungkinan kemungkinan buruk.

Aku takut, gugup, dan khawatir.

Namun di lain sisi, aku merindukannya.

Aku sudah menunggu walau dia tidak pernah meminta. Aku menunggu dan menunggu hingga akhirnya hari ini tiba.

"Kaena ?"

Suara itu, suara yang selalu bisa menenangkan hatiku. Sambil berusaha mengumpulkan seluruh keberanianku, aku mendongak.

Hal yang pertama kali aku liat adalah mata hitamnya.

Mata hitam pekat itu bagai sebuah lukisan yang bisa membuat siapapun terpukau.

"Aku kira kamu gak akan datang."

Aku terdiam, bisa bisanya dia memperkirakan hal itu. Tidakkah ia mengerti bahwa aku selalu merindukannya setiap saat ? Dan rasa rindu itu seakan ikut menyakitiku.

"Apa kabar ?" Tanyanya.
Aku sangat ingin menjawab namun suaraku hilang entah kemana.
"Kae ?"
"Aku baik." Hanya dua kata, namun itu sungguh melegakan.
"Bagus deh."
"Kamu apa kabar ?" Tanyaku.
"Baik." Jawabnya sambil mengambil posisi duduk di sampingku.

Jarak kami cukup dekat dan itu membuat hatiku berdebar sangat cepat.

"Maaf selama ini aku gak pernah ngasi kabar ke kamu, kae."
"Aku ngerti. Gak usah di bahas."
Dia mendesahkan nafasnya sampai terasa hingga ke kulit wajahku.
"Sebelum ke sini, aku ragu. Aku ragu kamu bakalan dateng."
Aku menolehkan pandanganku ke arahnya.
"Kamu gak inget 10 tahun lalu aku pernah bilang kalo aku bakal nunggu kamu, James ?"
Dia mengangguk. Senyuman kecil muncul di wajahnya.
"Aku inget."
Aku tertawa hambar. "Aku gak nyangka kalo kita bakal ketemu lagi di tempat ini."

James mengambil sebuah kertas dari kantong celana Hitamnya.
Dia menyodorkan kertas itu ke arahku. Aku mengernyitkan kening sambil menatapnya bingung.

"Ini alamat rumah baruku, nanti malam papa ngundang keluargamu buat makan malam sekaligus ngerayain syukuran adikku yang baru."

Aku terdiam. Adikknya yang baru.

"Papa aku udah nikah lagi kae dan mamaku yang baru abis lahiran bulan kemarin."
"Are you happy with that things james ?" Tanyaku meskipun aku ragu ia akan menjawabnya dengan jujur.
"I'm more than happy, Kae." Jawabnya sambil tersenyum.

Senyumannya tulus.

Dan tanpa sadar, aku ikut tersenyum.

"Kamu masih simpan kalungnya ?"
Aku mengangguk lalu memperlihatkan sebuah kalung yang sedari dulu tidak pernah aku lepas. Selama 10 tahun aku mengenang James melalui kalung ini.
"You look nice with that neklace!"
"Lucu ya james, kamu sendiri yang ngasi kalung ini ke aku tapi kamu sendiri yang setelah 10 tahun lamanya baru bisa ngeliat kalung ini di pake aku sekarang."
James tertawa, tangannya bergerak dan mencubiti kedua pipiku. Menciptakan rona merah tertinggal di sana.

Sebenarnya itu bukan rona merah karena cubitannya, itu rona merah yang muncul karena hatiku berdebar begitu cepat.

"James kebiasaan!" Ucapku kesal.

Namun bukannya meminta maaf, james malah mengacak rambutku dan berlari menjauh saat aku ingin membalasnya.

Dalam hati aku merasa lega. Lega karena mengetahui bahwa sifat menyenangkannya masih ada.

Shining StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang