Kartu dansanya penuh. Sungguh sebuah keajaiban. Ia memiliki pasangan di setiap set dansa. Mata Eliza masih terpaku menatap kartu dansanya. Belum memercayai penglihatannya. Tetapi meskipun Eliza sudah membacanya tiga kali, kartu itu tidak berubah. Masih ada nama gentleman yang akan menjadi pasangan dansanya.
Entah Eliza harus bersyukur atau tidak. Karena biasanya, panitia pesta dansa diam-diam mengirimkan para gentleman untuk menjadi pasangan dansanya. Dan Eliza tentu saja selalu menolak dengan halus. Mencari setiap alasan masuk akal yang akan membuat para gentlemen mundur teratur.
Sekarang ia harus berdansa di setiap set. Ia dapat membayangkan akan terus berputar-putar dalam gerakan ritmis semalaman. Sangat melelahkan.
Eliza masih memandangi kartu dansanya saat sebuah pergerakan tertangkap matanya. Ia mendongak. Dan senyuman itu menyambutnya. Senyuman yang mampu membuatnya terpaku dan merasakan sesuatu yang bergetar dalam tubuhnya.
"Sebuah kehormatan jika kau mau berdansa denganku, My Lady." Suara itu menembus keterpakuan Eliza. Ia bisa melihat kerlingan di mata Jordan. Mungkin karena mengetahui alasan Eliza terpaku.
Eliza memutar bola mata dan mendengkus. Sama sekali bukan sifat seorang lady. Tetapi ia tetap menyambut uluran tangan Jordan. Mengabaikan kerlingannya yang berubah menjadi tatapan geli.
Mereka berputar dalam Grand March. Memberikan kesempatan untuk melihat pedansa lainnya.
Kembali pada pasangannya untuk melakukan waltz pertama. Eliza sengaja membuat jarak di antara keduanya. Ia mengantisipasi perasaan aneh yang terjadi padanya saat mereka berdekatan pada waltz terakhir pesta dansa Lady Avery.
Tetapi jarak yang sengaja diciptakan oleh Eliza hilang seketika saat Jordan menarik pinggangnya mendekat. Eliza menegang. Benar-benar merasakan kehangatan Jordan yang menguar keluar. Memeluknya dalam kenyamanan.
Dan saat nada pertama waltz dimainkan, Eliza kembali menegang. Sekali lagi Jordan menariknya mendekat. Mereka hanya dipisahkan oleh crinoline gaunnya. Ia menelan ludah dengan gugup.
Ini bukan sekedar dansa. Bukan sekedar tarian. Tapi pelukan intim sepasang kekasih. Eliza tidak bisa berpikir jernih. Dirinya menimbang apakah ia harus bersyukur dengan kerangka rok yang membatasi mereka. Atau mengumpatnya karena telah memberikan sedikit jarak diantara mereka.
"Relaks, Manis. Biarkan aku membawamu pada keintiman dansa waltz kedua kita," Eliza merasakan gelenyar aneh saat kata-kata Jordan membelai telinganya. Membuatnya menahan napas.
Pasangan lain menikmati dansa mereka. Memungkinkan adegan intim yang Jordan lakukan tidak diperhatikan.
Seorang perayu handal selalu bisa menemukan waktu yang pas untuk melancarkan rayuannya, sialan.
"Bagaimana acara belanjamu?" tanya Jordan berusaha memulai percakapan karena Eliza masih terpaku dengan kedekatan mereka.
Jordan terkekeh geli melihat pergerakan Eliza yang sangat kaku. Eliza tersentak ketika dengan tiba-tiba Jordan memutarnya satu putaran penuh. Dan kembali menegang ketika dengan lembut Jordan menarik kembali pinggangnya untuk mendekat.
"Hei, tersenyumlah, Sweetheart. Kita sedang berdansa. Bukan menghadiri pemakaman," ujar Jordan dengan nada geli.
Eliza mengerjapkan matanya. Mengusir ketololan yang baru saja menyergapnya. Oh tidak, aku tidak boleh terpesona. Atau aku akan jatuh seperti korbannya yang lain.
Jordan kembali memutar Eliza setengah putaran. Dan Eliza berusaha meraih kendali dirinya. Saat Jordan mendekap pinggangnya, ia lebih bisa menguasai dirinya. Mengabaikan sengatan listrik dan getar kenikmatan ketika dengan kurang ajar tangan Jordan mengelus pinggangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pleasures Of a Wicked Duke [Revisi]
Fiction Historique[18+] Rotherstone #1 Jordan Cavendish, Duke of Devonshire, bujangan paling diincar para ibu yang ingin menikahkan anaknya. Tampan, bergelar, kaya. Masa lalu membawanya menjadi Duke yang arogan. Dan ia tidak ingin menikah dalam waktu dekat. Lady Eliz...