Langkah Elena melebar. Gerakan kakinya sangat cepat mengitari sekolah demi menemukan sosok Louis. Ia baru saja dari rumah kaca. Laki-laki itu tak bermain disana seperti biasa. Tiga sejolipun tak juga berjumpa. Akhirnya, Elena memilih naik ke atap. Dan ya. Louis disana. Berdiri membelakangi dirinya dan menatap ke atas. Langit biru yang tenang.
"Apa kau kesini untuk membunuhku?"tanya Louis, seakan tahu Elena berdiri tak jauh dibelakangnya.
"Kalau kau benci, bencilah padaku. Jangan melibatkan orang lain." Elena marah. Ia berjelan mendekati Louis dan hendak mencengkram kerah baju Louis. Namun tangannya tak kuasa. Tangan yang telah terangkat hanya berhenti di udara. Nafasnya tercekat. Setiap berurusan dengan Louis. Entah itu marah. Entah itu benci. Air matanya tetap meleleh. Sebagian hatinya terasa perih. "Ku mohon. Cukup aku saja Louis. Jangan melibatkan orang yang tak bersalah, lagi."
Louis memutar tubuhnya. Ia diam memandang wajah sembab Elena. "Aku...aku minta maaf. Maaf telah meninggalkanmu. Maaf!" tangis elena semakin keras. Ia menunduk dengan kedua tangan bergetar.
"Kau tak berhak meminta maaf padaku Elena." Suara Louis begitu dingin.
"Lalu...lalu...apa yang harus kulakukan? Apa aku harus membunuh diriku?"tanya Elena terisak.
"Kau tahu. Master menginginkan kalian semua. Sudah cukup lama. Dan tentu saja, aku pengecualian."balas Louis.
"Jangan! Jangan lakukan apapun terhadap mereka Louis. Jangan Louis. Ku mohon. Aku saja. Jangan mereka. Ku mohon padamu. Jangan..."
"HENTIKAN!" Suara Louis menggelegar. Keras hingga mampu membungkam mulut Elena. Kemudian tangan hangat laki-laki itu merengkuh tubuh yang terisak itu. Mendekap Elena. "Seharusnya kamu takut padaku Elena."
"Aku..."
"Aku membencimu. Sangat membencimu." Setelah mengucapkan itu Louis melepaskan pelukan dan berjalan menuju pintu. Ia menuruni anak tangga satu persatu. Sungguh berat langkah yang ia ambil.
Tubuh gadis itu melorot. Tidak bertenaga sehingga hanya jatuh pada bumi. Tubuhnya terlalu terpuruk. Ia berusaha tetap tegar dengan duduk dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya. Tangisan. Atap itu hanya terdengar suara tangisan. Dan bersamaan dengan itu. Langitpun ikut menangis. "Aku tahu..."
&&&
Di sebuah toko, William dan Sara sedang berbicara. Sara yang datang dari sejaman yang lalu telah menceritakan semuanya pada William. Tiba-tiba pintu terbuka. Menampakkan seorang gadis cantik berambut panjang yang diikuti oleh seorang gadis yang tak kalah manisnya.
"Kak Will!" panggil Elena keras. Ia terhenti begitu melihat William dengan Sara yang juga terkejut. "Amethyst?" Elena mengenali Sara sebagai salah satu rekan yang melarikan diri bersamanya.
"Ya, aku Amethyst." Balas Sara seraya berdiri diikuti William.
Elena memandang penuh selidik. Sedikit licik juga. Ia menepis semua pikirannya tentang Sara. Atensinya beralih pada sosok William. "Kak Will. Aku ingin Carol tinggal disini untuk sementara waktu. Sampai waktu yang tidak ditentukan." Lanjut Elena.
"Baiklah. Tapi ada apa?"tanya William yang mencium sesuatu yang tidak baik.
"Sedikit masalah dengan kafe tempat kami bekerja. Oh ya, jangan risaukan biayanya. Aku sudah memasukkan cukup uang untuk Caroline." Setelah mengucapkan hal itu, Elena pergi.
Caroline hanya memandang sedih dengan kepergian kakaknya. Baru kali ini ia berpisah dengan Elena sejak melarikan diri dari markas. Ia dan Elena sudah seperti saudara. Mereka berjuang hidup dan mati di dunia yang kejam sedari hampir sepuluh tahun. Rasa sayang dan saling melindungi bukan setipis kertas. Tak bisa didefinisikan.
"Caroline, sebenarnya apa yang terjadi?"tanya William memecah lamunan Caroline.
"Kafe tempat kami bekerja diperiksa pihak kepolisian. Memang tempat itu sering menjadi tempat transaksi ilegal. Tapi sungguh, kalau bukan karena tuan Alex kami pasti sudah mati kelaparan di jalanan." Jelas Caroline.
"Begitukah?" tanggap Sara seolah berpikir.
&&&
"Tuan, ini laporannya." Seorang pelayan menyerahkan beberapa lembar kertas pada Louis. Laki-laki itu memperbaiki duduknya dan menerima laporan itu dengan cepat.
Louis membaca sebentar kemudian membalik-balikkan kertas itu. Ia tersenyum memandangi serentetan kalimat panjang yang menunjukkan alamat seseorang. "Baiklah, mari kita lihat orang itu sekarang!" Louis bangkit dan keluar dari rumahnya. Ia mengeluarkan mobil dan memacu kecepatan di jalanan. Menuju sebuah kafe tempat orang yang ingin dijumpainya hari itu.
Begitu sampai di tujuan, Louis turun dan segera menghampiri seorang laki-laki yang tengah membersihkan tamannya. "Tak kusangka, ada laki-laki serajin dirimu!" sapa Louis.
William menengadah, menatap Louis yang berdiri tinggi di sisi kanannya. Ia segera berdiri dan menatap heran pada Louis. "Maaf, kami masih belum buka!"ucap William. Heran.
"Wahh sayang sekali! Padahal aku sudah sejauh ini datang kemari."balas Louis enteng. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar rumah William. Kemudian ia tersenyum samar. "Setidaknya aku ingin minum secangkit teh."
"Baiklah!" William bangkit dan segera berjalan menuju pintu tokonya. Tanpa ragu, William masuk ke dapur dan meninggalkan Louis duduk sendirian di salah satu meja. Kebetulan saat itu Caroline tengah berbelanja. Sehingga hanya William yang berada di toko itu.
"Minumlah!" William menyodorkan secangkir teh yang masih panas. Kemudian ia juga duduk di depan Louis sambil menatap pada laki-laki itu.
"Tokomu lumayan!" komentar Louis sambil menyesap teh itu. Awalnya ia tak ingin mencoba namun karena tergiur harumnya teh itu akhirnya ia mencicipi juga. Wangi teh semakin kuat begitu Louis meneguk teh itu. Sekilas terlihat senyumnya mengembang kemudian kembali datar. "Baiklah! Aku pergi!" Louis bangkit dari tempatnya dan berjalan menuju pintu.
William juga ikut berdiri dan melangkah pelan menyusul Louis. Begitu Louis sampai di pintu William mengatakan sesuatu. "Datanglah lain waktu jika kamu mengalami kesusahan!" Suara William memelan. Beriringan dengan setetes bulir bening yang jatuh ke pipinya.
Louis menghentikan langkahnya. Ia memejamkan mata namun tidak berpaling ke belakang menatap seseorang yang berkata sesuatu padanya. Kau sudah mengetahuinya. Louis masih memejamkan mata. Ia mengingat siluet tentang laki-laki kecil yang selalu bersamanya sepuluh tahun yang lalu. "Akan aku pertimbangan." Setelah itu Louis berjalan pergi.
William masih mematung di pintu tokonya. Ia menatap keluar walaupun sosok Louis sudah menghilang sedari tadi. Ia masih betah menatap jalanan. Tiada yang tahu apa yang dipikirkan laki-laki itu.
"Kak Will? Ada apa?" Caroline terheran melihat William yang berdiri dengan pandangan yang menerawang. Ia juga ikut berdiri dan memperhatikan arah pandang William. "Kak Will?"panggilnya lagi.
"Aku hanya sedang memikirkan kesalahan terbesarku Carol. Dan kurasa sebentar lagi aku harus mempertanggung-jawabkannya." Jelas William.
"Kesalahan? Kesalahan apa kak?" Caroline semakin bingung dengan ucapan William.
"Kamu akan tahu pada waktunya Carol. Dan ku harap ketika semua itu tiba kamu semua selamat. Cukup aku saja yang menebus semuanya. Kalian tak perlu."
"Maksud Kak Will apa? Aku tidak begitu mengerti. Kesalahan apa sehingga kami tak perlu bertanggung-jawab kak?"
"Dia...sudah kembali..."
Caroline terdiam. Suara bergetar William menyadarkannyaakan sesuatu. Hal yang mungkin akan mengubah semuanya. Menelan dan meluluhlantahkan kedamaian yang mereka miliki. Merenggut kebebasan hidup mereka.Mengunci nyawa mereka dan dikendalikan sesuka hati. Master.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BLACK WINGS (END) - [REVISI]
Fantasy[ Fantasy - Romance ] Mode: Revisi Elena Dobrev--seorang gadis cantik dan pemberani, mengharuskan dirinya menjadi gadis polos berkacamata. Ia yang terdaftar di sebuah sekolah bangsawan dengan bantuan beasiswa berusaha menghindari segala kekacauan. I...