Chapter 7: Bathtub

1.2K 146 15
                                    

Mata sipit Jimin terbuka dua kali lipat lebih besar. Akhirnya ia mendapat petunjuk untuk menyelamatkan Hana. Tak sabar rasanya Jimin ingin segera berlari ke sana dan membawa Hana kembali ke orang tuanya. Pasti orang tuanya mencari-cari, mana mungkin tidak. Kaki Jimin mengambil langkah untuk berlari. Belum juga berlari, bel masuk merusaknya. Terpaksa Jimin harus melaksanakan program belajar dahulu. Sekuat mungkin ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke sana sekarang.

'Tunggu aku, Hana...'

Supaya tidak menjadi fitnah, Jimin membersihkan noda-noda di kulitnya. Seragamnya ia balut dengan jaket milik salah seorang teman, Zelo -di jalan mereka tak sengaja berpapasan. Sekiranya sudah tampak normal, Jimin kembali ke kandangnya alias kelasnya sendiri. Semua mata tertuju padanya karena keterlambatannya yang cukup hebat. Sang guru tak marah, ia memperbolehkan Jimin untuk duduk. Jimin hendak melangkahkan kaki, tapi aksi sang guru menghalanginya pergi.

"Kenapa kau memakai jaket di dalam kelas?" tanya sang guru seraya membuka kancing jaket yang Jimin kenakan.

Terlambat, Jimin tak sempat menutupinya. Seisi kelas terkejut menyaksikan noda-noda darah di seragam Jimin. Sang guru tak kalah kagetnya, kakinya mengambil langkah mundur sekali.

"Apa yang terjadi padamu?" bingung sang guru.

"Kau habis menganiaya orang, ya?" celetuk salah satu murid, Taeyong.

Para siswa pun saling berbisik satu sama lain. Dalam lautan suara itu ada yang setuju dengan perkataan Taeyong, ada juga yang tidak.

Belum sempat mengemukakan bantahan, seseorang mendahului Jimin, "Tidak! Itu mana mungkin!" itu Yuju.

Di dalam mata Yuju terlihat api yang berkobar-kobar begitu dahsyat. Ia kepalkan tangannya dengan seluruh kemurkaannya.

"Lalu noda merah itu apa?" Taeyong berniat membuat Jimin sekakmat.

Jimin diam tak bersuara, ia bingung, tak tahu harus beralasan apa.

"Mungkin itu hanya cat!" Yuju mencoba membela.

"Sudah! Sudah!" sang guru mulai naik darah dan tak tahan lagi dengan keributan antara Taeyong dan Yuju. "Benar kan itu hanya cat?" sang guru memastikan.

Kepala Jimin mengangguk sedikit ragu. Nasib baik berada di sisi Jimin, gurunya percaya dan mengizinkannya duduk. Dari jauh Taeyong menatap sinis pada Jimin. Berlainan dengan Taeyong, Yuju tersenyum bahagia melihat kebebasan Jimin dari jeratan fitnah.

Usai pelajaran yang satu ini selesai, anak-anak pergi keluar. Pelajaran selanjutnya yaitu olahraga. Di belakang Jimin terdapat Yuju yang diam-diam membuntuti. Senyum merekah di wajahnya yang semanis gula. Jimin menengok ke belakang, perasaannya mengatakan ada yang mengikuti di belakang. Benar, ada Yuju di sana. Secepat kilat Yuju mengubah ekspresinya yang semanis gula menjadi pahit.

"Apa kau lihat-lihat?" ketus Yuju kemudian membuang muka.

Jimin tak menaruh peduli, ia memutar kepalanya ke depan lagi tanpa membalas sepatah kata pun. Mimik Yuju berubah kembali, senyum lagi-lagi mengembang. Dalam hati Yuju bermekaran bunga-bunga indah setiap memandang Jimin walau hanya bagian belakangnya. Di balik ketusnya Yuju pada Jimin terpendam sesuatu.

Lorong di depan mereka terbagi menjadi empat. Jimin mengambil jalan sebelah kiri. Yuju yang mengekorinya pun hendak mengambil jalur yang sama. Sebelum benar-benar berbelok, Yuju mendapat seorang gadis menyapa Jimin dengan hangat. Dirinya langsung menyembunyikan diri di balik dinding. Sedikit-sedikit Yuju mengintip melihat apa yang mereka lakukan. Hanya perbincangan singkat, namun tiba-tiba hati Yuju retak dan terbakar.

Rasa cemburu bermekaran di hati Yuju, api serasa membakar jiwanya, emosinya hampir meledak layaknya bom. Dia mencoba memutus kabel bom emosi tersebut agar tidak meledak di waktu yang salah. Inilah yang menimbulkan semua rasa tersebut. Jimin memeluk gadis berkucir dua itu erat. Gadis berkucir dua itu dipeluk lebih lama dari ekspektasinya, menurutnya ini cukup tidak wajar. Setelah itu Jimin mengacak rambutnya sedikit lalu berpamitan. Yuju berhenti mengintip dan hanya diam di tempat. Tubuhnya begitu lesu, pundaknya layu, kepalanya menunduk, pandangannya nanar, hatinya diselimuti awan kelabu.

Rusty Knife (Sequel Of School's Bell)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang