Hari ini adalah hari pertama dan terakhir dari sebuah kisah cinta, tentang luka dan tawa. Lamunanku melayang pada pagi yang cerah, bertambah cerah ketika kamu mengetuk pintu rumahku. Seulas senyum hangat menyapaku saat pintu terbuka, bersambung dengan setangkai bunga matahari yang kamu berikan padaku. Hangat.
Aku dan kamu tau, saat kata aku dan kamu menjadi kita adalah kesalahan terbesar. Namun sungguh, bukan maksudku membangkang. Hanya berharap satu hari ini menjadi hari yang indah, sebagai awal juga akhir saat aku dan kamu menjadi kita. Hanya satu hari.
Setelah pagi yang hangat itu, kita-sekali ini saja dalam kisah ini- tertenggam dalam satu ikatan, tanpa kata dan tanpa makna. Kita saling tidak memberi janji, kita tahu esok bukanlah milik kita.
Menghabiskan waktu seperti hari ini tidaklah melelahkan, sungguh. Sedari mencoba berbagai wahana di tempat hiburan hingga matahari mulai terik dan berakhir pada taman teduh ini. Tertawa dan tersenyum selalu kita umbar. Mungkin orang yang melihat akan jenuh, apa peduliku, apa kamu peduli?
"hei" tepukanmu menyadarkanku
"kenapa?" tanyaku
"kenapa melamun?" bukan jawaban yang aku dapat, malah tanya yang kamu beri
"hanya melamunkan kita" kataku tersenyum. Kamu hanya mengacak rambutku gemas.
"kamu tau makna bunga matahari yang aku kasih?" tanyamu lagi setelah beberapa saat hening,
"entah, kalau mawar aku tahu"
"bunga matahari melambangkan keabadian.."
"itukan edelweis.." potongku
"ya, itukan pemikiran orang-orang, bagiku bunga matahari lah yang menjadi bunga keabadian. Dia akan terus menatap matahari meskipun dia tahu, dia dan sang matahari tidak akan pernah bersatu. Dia itu hangat, sama seperti namanya, matahari" matamu menatapku, aku tau ada sorot kesedihan dan luka. Sesak.
"sama seperti bunga itu, aku akan tetap menatap mentariku meski itu adalah hal yang sia-sia... dan kamu, adalah matahariku. Matahari yang sangat jauh dan sulit untuk aku gapai... aku tidak memintamu mengingatku, mengingat kita dengan segala apa yang terjadi. Lemparlah aku jauh dari hatimu. Lenyapkan dan kubur dalam-dalam. Kamu harus bisa, harus. Berusahalah, aku akan melakukan hal yang sama.." dalam hati aku berharap kamu tidak mengatakan hal ini, setidaknya jangan saat ini
"aku tahu ini sulit, sakit dan sesak..." suaramu mulai parau.
Entah sejak kapan aku terisak di bahumu. Menumpahkan segala emosi. Tanganmu mengusap kepalaku, mencoba menenangkan namun nyatanya aku tak berhenti menangis. Aku tidak peduli dengan mata-mata yang menatap kita. Menyesap samar bau tubuhmu yang tak mungkin ku hirup lagi. Ku benamkan kepalaku.
"maaf..." bisikmu disela helaan nafa yang sekian kalinya
"maaf.." berulang kali
Inilah akhir dari kisah ini. Waktu kita habis. Ku renggangkan pelukan, sama halnya denganmu. Jari panjangmu mengusap lembut bulir yang tersisa di wajahku dan terhenti untuk menangup wajahku. Aku coba untuk tersenyum, dan kau pun melakukan hal yang sama. Hening. Kau kecup dahiku lama, sekuat hatiku menghalau selaksa bening yang mulai mengembun lagi.
"waktunya sudah habis, kita harus pulang. Berjanjilah untuk hidup bahagia" ucapmu
Aku hanya mengangguk, menutup mata untuk tidak menangis. Kurasakan sesuatu yang lembut, dingin dan sesak untuk beberapa saat. Kau mengecupku sekilas. Aku hanya tersenyum getir.
"ayo" ajakmu yang kemudian beranjak, tanganmu telurur.
Pada akhirnya, kita menjadi aku dan kamu lagi. Untuk seterusnya dan seterusnya tidak ada lagi kita. Tidak ada lagi ketukan pintu di pagi, bunga matahari dan senyummu.
Meski kamu memaksaku untuk melupakanmu, aku tetap menyebut namamu dalam doa ku pada Tuhan Yesus. Semoga kamu dalam bahagia. Dan aku juga tau, ada namaku dalam doa mu pada Allah mu. Kita tidak menjadi kita. Seterusnya dan seterusnya. Berbahagialah bunga matahariku.
fin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Satu Hari
Short Storysebuah short story dengan kejutan. ketika hati harus kembali menunduk pada pilihan sulit yang keduanya harus benar-benar di pilih salah satunya. perbedaan yang terpampang jelas menjulang menjadi bukti dari ketidak berdayaan hati, berat dan sakit, pi...