Bab. 17

46 2 0
                                    

Pukul 5 pagi, Hujan pulang dari rumah Senja tanpa berpamitan pada Senja. Namun, saat ia sudah masuk dalam mobil, ia melihat Niko keluar dan ia melambaikan tangan padanya. Hujan melajukan mobilnya di jalanan yang masih longgar, matanya terasa berat karena sejujurnya ia pun masih mengantuk. Ponselnya berdering, ia mengeluarkannya dari saku.
Mommy Ria is calling.
"Halo, Ma?" sahut Hujan pelan.
"Jan, dah bangun? Mama mau ngomong serius nih,"
"Apa, Ma?"
"Mommy has something news for you."
"Yeah, I heard you."
"Listen to me, I will take some tour package for 2 week again. And instead of that, Mama harap kamu---"
"Ma, belibet amat sih. Bilang aja Mama pulangnya mundur, susah amat, sih?"
"Ah, smart boy. I love you then."
Hujan mendecak. "Ma, I should go now."
"Kemana?"
"Go home."
"KAMU DARI MANA, PANJUL?!! HABIS NGEDUGEM, YA?!! ASTAGHFIRULLAH, HUJAN!!!"
Suara itu memekikkan telinganya, ia menjauhkan ponsel itu dari telinga dan memasang earphone kelanjutannya.
"Woah, woah, keep calm. Aku baru aja pulang dari rumahnya Senja." Hujan memutar bola matanya, setengah enggan untuk mengatakannya, tapi itulah kenyataannya. "Aku ketiduran disana, just for one night."
Riana di ujung sana terperangah, ia tertawa kecil lalu menghela napas.
"Kamu bermalam dengan Senja, Jan?"
"WHAT?? Itu nggak seperti yang mama pikirkan," Hujan mendelik dan meninggikan suaranya beberapa oktaf.
"Hey, boy. It's no matter for me. Mama seneng kamu sama Senja." Riana terkekeh lalu ia menutup telponnya.
Hujan dengan napas yang tidak keruan, berusaha tetap fokus ke jalanan. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan tidak beraturan hingga orang lain pun ia rasa dapat mendengarnya.
Mama seneng kamu sama Senja.
Beberapa detik kemudian, Hujan sadar jika ia mulai tersenyum kecil saat ia mengingat gadis itu.
"Be focus, Jan. Hati lo belom dikembaliin Kayla."
Hujan tersenyum sekilas lalu pikirannya kembali pada dirinya yang lalu. Mengingat memori kecil tentang dirinya dan potongan kecil masa lalunya.
"Sat, Satria. Sini dong," Kayla berlarian ke arah danau seraya tertawa kecil dan melompat.
"Sat, ayo sini! I have something, come on!" sambung Kayla lalu ia menarik lengan Hujan pelan.
"Ish, Sat. Cepetan dong, you're slowly on walking."
"But not slowly to respect you, Bunny."
"Ah, gombal! Basi tau," Kayla menjulurkan lidahnya lalu berlari lagi.
Kayla menghentikan langkahnya di depan sebuah pohon, matanya berkeliling lalu ia mengambil sebuah batu kecil.
"Batu? Kejutannya batu? Batu ajaib?" Hujan mengernyit heran. Ia mengambil batu itu dari tangan Kayla lalu memainkannya.
"Ish, bukan gitu. Caranya gini, sini!" Kayla merebut batu itu, ia menggoreskan batu itu di pohon dan terukirlah kata 'Bunny ❤ Knight'
"Bunny..."
"Yash, my knight?"
"You're hurt this tree."
"No, it's just art."
"Oh, yeah?"
"Just say you won't let go."
"What?"
"Just say you won't let go, Knight."
"Umhhh.."
"Hmm?"
"I won't let go."
"Promise me?"
"No, but I'll try."
Hujan mengecup kening Kayla. Hanya berlangsung beberapa detik, namun rasa hangat menjalar ke seluruh bagian tubuh keduanya. Kayla mendekap Hujan, ia menenggelamkan wajahnya di dada kokoh milik Hujan dan menghirup aroma Mint and Barley yang melekat pada tubuh Hujan.
"I'll be miss you, even sometime you wanna leave me."
"No, I don't wanna leave you. I'm here... For you"
Lalu, keduanya hanyut dalam perasaan masing-masing tanpa mengetahui takdir apa yang akan mereka jalani setelahnya.
******
"Weird banget nggak, sih?" Gue semalaman ngabisin waktu bareng Hujan."
"Menurut gue, you're enjoy your time with him."
"Ya kagak lah! Kenapa jadi gue?"
"Ya, karena keliatannya lo seneng." Ara membetulkan kacamata Senja yang mulai turun dari batang hidungnya.
"Ngapain lo pegang-pegang kacamata gue? Modus lo,"
"Jijik gue! Amit-amit! Gue benerin kacamata lo, turun nih loh."
"Ra?"
"Hmm?"
"Kok gue?"
"Jelas dianya juga kayaknya enjoy bareng lo, ya lo aja yang nggak nyadar."
"Ih, apa sih lo. Ngomongnya kok menjurus kesana. Lo tau kan, gue baru aja putus."
"Ya, terus?"
"Ya, gimana gitu."
"Apanya yang 'gimana'?"
"Dih? Lo kok lola?"
"Belom makan, kantin yuk?"
"Malah mikir makan, gue gimana?"
"Baper kadang bikin laper, hahaha."
"Hih, apa banget!" Senja melempar pensil ke arahnya, menertawakan kelakuan Ara yang mengerucutkan bibirnya sambil mengelus kepalanya yang terkena timpukan pensil.
"Ogah ah! Gue sebel sama lo, bye maksimal!" Ara berdiri dan menhentak-hentakkan kakinya.
"Apaan sih, Ra? Tiara Dhiandra?"
"Apa? Hah?"
"Muka lo kayak kue cubit."
"Elah, gue tau kalo gue imut."
"Najis! Ge-ernya ke langit dewa." Senja berdiri dari bangkunya, melewati Ara lalu berjalan ke arah luar. "Ngantin, nggak?"
"Ayo! Elah, nggak dari tadi."
"Baper emang bikin laper, come on!" kata Senja, ia berusaha menjajari langkah Ara yang dikenal akan langkah 'Big Foot' nya.
"Gue bingung, deh."
Senja menoleh. "Kenapa?"
"Kadang kita bisa jatuh dan bangkit lagi dalam satu waktu yang bersamaan, dan yang gue tau, itu karena posisi penting dalam hidup lo itu sudah digantikan oleh orang lain. I meant, yang lebih pantas buat lo."
"Oh, ya?" Senja mendekatkan wajahnya sekian senti ke depan Ara, menatap Ara sambil menerawang. "Gue nggak tau pasti, ya kita tunggu tanggal mainnya aja."
"Nja---"
"Gue sama Angga emang udah putus, tapi hati gue belom dibalikin sama dia."
******
Di lain sisi, Hujan sedang asyik mendrible bola oranye kesayangannya dengan Arga.
"Ga, gue ngerasa ada something change dalam diri gue, tapi gue nggak tau pasti apa itu."
"Tapi, Jan, gue nggak liat apapun yang berubah dari lo, lo tetap aja menyebalkan kayak dulu. Sukanya nyetak gol pake cara ngibul."
Hujan melirik Arga yang terengah-engah berlari di belakangnya, Arga sekencangnya mengejar Hujan dan memgang pundaknya. "Btw, kenapa sih?" lanjut Arga. "Lo mulai move on dari Kayla?"
"Ga!"
"Eh, kenapa? Gue salah, ya?" Arga tiba-tiba terdiam dan menatap Hujan, ia melihat ekspresi Hujan yang tak bisa didefinisikan, menunggu tanggapan yang akan dikeluarkan sahabatnya itu.
"Ga, lo kalo ngomong.." Hujan menatap sinis Arga. Lalu ia terdiam dan menggiring bola masuk ke dalam ring
"Suka bener" gumam Hujan pelan.
"Elah, berudu! Gue kira lo ngambek sama gue."
"Gue nggak se-baper itu, gue waras."
"Bohong!" Arga berlagak memanyunkan bibirnya lalu memukul lengan Hujan manja.
"Well, wonderwoman mana yang berhasil naklukin hati abang Hujan ini? Oh, pasti bidadari dari tujuh turunan langit, ya?"
"Nggak lucu!"
"Siapa yang ngelawak?"
"Siapa?"
"Lah, lo malah tanya balik."
"Siapa?"
"Gue bila---"
"Yang peduli." potong Hujan malas. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lorong kelas XI dan disana, ia melihat sosok gadis berambut sebahu dan berkacamata sedang berjalan bersama -mungkin- salah seorang temannya.
******
Saat bel pulang sudah berdering, Senja buru-buru pergi ke ruang musik untuk menemui Bu Dina, guru musiknya. Seminggu yang lalu, ia berhasil membuat geger sekelas karena teriakan histerisnya yang membuat bising kelas saat istirahat. Semua berawal dari ulangan ritme dan tangga nada menggunakan gitar yang menurutnya sulit, berujung dengan hasil ulangannya yang tertera nilai 65.
"Njir, Njir, Anjir. Nasib gue buntung kali ini," Senja sedari tadi mencibir dan berceloteh tak keruan.
Ia sampai disana dengan keterlambatan 30 menit, padahal toleransi waktu yang diberikan Bu Dina hanya 15 menit. Ia benar-benar akan habis dan nangis kejer di halaman sekolah, jingkrak-jingkrak, dan guling domba jika ia disuruh mengulang ujiannya lagi.
Ia segera masuk, mengetuk pintu dan menjabat tangan gurunya itu.
"Sorry worry, Bu Din. Senja tadi ada pelajaran tambahan, terus telat deh." Senja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Grogi.
"Saya memberi kamu kelonggaran waktu, tapi kamu terlambat lagi?"
"Maaf, bu, saya---"
Beberapa detik kemudian, Hujan datang dengan setumpuk kertas dikedua belah tangannya.
"Bu, ini kertas jawaban ulangan musik kelas saya." terangnya sambil menatap Senja sekilas.
"Ah, iya. Terimakasih, Hujan." Bu Dina meletakkan kertas itu di tasnya lalu kembali menatap tajam Senja.
"Tunggu dulu, Hujan." sambung Bu Dina.
"Ada apa, Bu?"
"Saya ingin kamu mengajari Senja bermain gitar, untuk seminggu ini saja." jelas Bu Dina tanpa melepaskan tatapannya dari Senja.
"Tapi, saya bisa main piano, Bu." Senja mengerucutkan bibirnya lalu ia melipat tangannya
"Umhh, tapi, Bu, saya---"
"Nggak ada 'tapi-tapian', saya minta kalian berdua menerima perintah saya, kalau tidak kalian terima konsekuensi." Bu Dina bagai malaikat pencabut nyawa saat itu juga. Ia lebih menakutkan daripada Macan ngamuk ditengah kampung.
Senja melongos dan ia menelungkupkan tubuhnya di lantai. Hujan mendengus, tak terima dengan ketidakadilan itu. Bu Dina meninggalkan ruangan itu dan membiarkan sela diantara keduanya.
"Gara-gara lo, gue jadi begini." Hujan terduduk seraya meraih sebuah gitar.
"Gue?"
"Iya, lo. Siapa lagi yang ada di ruangan ini selain lo?"
"Ada lo, kok. Nggak nyadar?"
"Heh, lo kira gue ngomong sama setan? Gue ngomong sama lo, bego."
"Gue iblis, bukan setan."
"Alhamdulillah, ngaca."
"Serah lo! Don't care."
Senja berdiri, berjalan ke arah piano yang ada di sudut ruangan lalu memainkan tuts-tutsnya lembut. Hujan hanya menoleh, lalu ia fokus pada gitar yang dipegangnya.
Pedihnya tanya yang tak terjawab
Mampu menjatuhkanku
Yang dikira tegar
Kau tepikan aku
Kau renggut mimpi
Senja bernyanyi sembari memainkan jari-jari lentiknya diantara tuts hitam putih yang mengalun indah.
Yang dulu kita ukir bersama
Seolah aku tak pernah jadi bagian besar
Dalam hari-harimu
Lebih baik kita usai disini
Sebelum cerita indah
Tergantikan pahitnya sakit hati
Sontak Hujan terdiam. Ia mengamati Senja yang terbuai dalam permainannya sendiri. Ia tak mengira bahwa Senja memiliki bakat bernyanyi, karena menurutnya, suara Senja lumayan bagus dan... Indah didengar. Sekilas, ia melihat gurat kesedihan dan putus asa dalam nada maupun raut wajahnya.
Bukannya aku mudah menyerah
Tapi bijaksana
Mengerti kapan harus berhenti
Ku kan menunggu
Tapi tak selamanya..
Senja terhenti. Air matanya berderai keluar. Lalu ia berlari keluar meninggalkan Hujan dengan tanda tanya besar dalam benaknya. Heran, ada ya orang yang nggak tegar tapi ngakunya tegar.
Senja berlarian tanpa arah dan menubruki beberapa murid yang melintas. Ia bahkan tak sempat sekiranya meminta maaf ataupun tersenyum, ia tenggelam dalam haru dan tak peduli apa kata orang diluar sana. Yang Senja pikirkan hanyalah, bagaimana caranya ia melupakan semua memori kecilnya tentang Angga? Bagaimana?
Akhirnya, Senja menghentikan langkah kakinya di sebuah taman kecil di dekat kompleks sekolah, hanya sekitar 25m dari sekolahnya. Ia duduk disalah satu bangku yang ada disana, lalu ia menangis sejadi-jadinya. Ia meraung, berteriak dan memukuli dirinya sendiri tanpa ampun. Ia merasa terbebani oleh kisah akhir hubungannya bersama Angga. Ia menangis bukan karena berakhirnya hubungan mereka, melainkan ia menangis karena ia merasa menyesal karena kebodohannya yang selalu membawanya pada tingkatan dimana ia hanya termakan hati dan terlalu percaya pada lelaki itu. Senja terlalu baperan. Ia mulai menyesali sikap baperannya selama ini.
"Gue nggak tau kenapa lo nangis, tapi masalah lo nggak akan selesai kalo lo cuma nangis dan nyakitin diri lo sendiri." sesosok laki-laki memegang bahunya lalu menyodorkan sebuah saputangan kepadanya.
Senja masih saja tersedu-sedu, namun ia menerima uluran saputangan itu untuk mengelap air matanya yang banjir bandang kemana-mana.
"Makas---" Senja menoleh kebelakang, namun tak seorangpun ada disana. Ia celingukan ke segala penjuru arah, namun tak menemukan sosok lelaki yang menyodorkan saputangan itu.
"Huh? Nggak ada orang?" gumam Senja.
"Terus, yang ngasih ini siapa dong?" lanjutnya sambil bergeridik.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, ia merogoh sakunya lalu mengecek pesan masuk didalamnya.
Hujan Satria: Nja, lo dimana? Ayo pulang!
Hujan Satria: Gue tunggu diparkiran biasa.

Media: Usai Disini- Raisa

HUJAN DAN SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang