1. Pulau Cendrawasih

129 20 4
                                    

"Aku suka sirkus," - Seorang gadis 13 tahun.

"Aku suka pembantaian," - Pemuda penggemar vidio game 19 tahun.

"Aku akan membantai dengan cara terhormat, jangan jadikan aku penjahat. Itu saja." - Gregorias Zitch, Akrobatik.

"Siapa yang tak menyukai sirkus malam ?" - Erwin Walker, Pria Transparan.

"Kau tak tahu mereka sungguh memukau." - Seorang wanita gemuk 46 tahun.

"Oh, aku suka trik sulap. Entah mengapa, melihat pertunjukkan sulap adalah kebohongan terindah." - Seorang istri pengusaha 32 tahun.

"Aku menantikan sulap baru." - Anak laki-laki kelas 3 SD.

"Sihir modern." - Juliet Alisdair, Kepala Lembaga Asprenderoux.

. . .

Kau termenung di depan rumahmu. Rumahmu kosong tanpa Ayah, Ibu, Saudara atau kerabat.

Disampingmu ada banyak tas, sudah kau isi penuh dengan barang-barang yang mungkin kau butuhkan nanti. Handuk, Sikat Gigi, Pasta Gigi, Sisir, Dompet penuh Uang, dan Ponsel menjadi prioritas utamamu setelah menghitung beberapa setelan pakaian untuk kau bawa tadi malam.

Gerimis membasahi pekarangan, tak ada orang yang terlihat sejauh mata memandang hingga kau menangkap bunyi roda kendaraan berputar di sepanjang aspal yang licin.

Bus berhenti di halte, kau segera duduk dengan tegak. Memastikan bahwa itu adalah Bus yang benar. Kau berdiri, merapikan pakaianmu, mengenakan topi dan dengan langkah mantap menyeret koper, menentang tas di bahu, di tangan, menyeberangi jalan hingga masuk ke dalam Bus.

Tiga puluh detik kemudian, Bus pun menghilang dari balik embun hujan yang lembab.

. . .

Seorang pemuda duduk di tepi jalan raya, membiarkan hujan membasahi rambut dan tubuhnya. Ia melambai pelan ke arah Bus dan anehnya, Bus berhenti untuk menampungnya. Rambutnya gelap dan pakaiannya terlalu tipis untuk cuaca ekstrim. Ia tidak membawa apapun sehingga sulit menerka apakah ia tak akan membayar biaya tumpangan atau memunculkan puluhan ribu Dollar dari balik baju kaosnya.

Pemuda itu tidak membutuhkan halte untuk menunggu Bus. Ia tiba-tiba muncul di radius pengelihatan sang supir dan dengan mudah masuk ke dalam bus.

Ia duduk disamping seorang pria, kursi yang kosong di deretan Kiri paling depan. Pria itu mungkin berusia 60-an dengan uban yang hampir menutupi rambut hitamnya. Ia mengangguk ramah dan menepuk-nepuk permukaan kursi disampingnya.

"Siapa namamu, nak ?"

"Namaku Ethan."

"Duduklah, kau seharusnya mengganti pakaianmu, kau akan sakit."

"Tidak, kurasa. Bila aku keringkan ini, maka tidak masalah bukan ?"

Tanpa menunggu jawaban, pemuda bernama Ethan itu menarik baju kaosnya ke depan dengan cepat. Lalu pakaiannya berubah menjadi kering seketika. Seisi Bus membelalakkan mata dan terpukau, kemudian bertepuk tangan dengan takjub.

Ethan mengeringkan bajunya dengan gestur kilat ala seorang pesulap.

"Bagaimana kau melakukannya, nak ?" Tanya pria itu lagi.

"Begitu saja." Jawabnya seraya tersenyum.

Ia pun duduk dan menikmati kehangatan dan keceriaan di dalam Bus yang mengangkutnya menembus hujan. Dan sebelum lupa, ia membayar biaya untuk perjalanannya dengan setumpukan uang yang dirasa lebih dari sekadar cukup.

Ia mengepal tangan kirinya lemah sehingga sikunya membentuk sudut 90°. Dengan punggung tangan menghadap atas, tangan kanannya mulai menyapu permukaan tangan kirinya pelan. Selembar uang jatuh. Ia menyapukan tangan kanannya lagi, dan selembar uang jatuh lagi.
Lalu, ada banyak uang yang terjatuh di lantai Bus sehingga orang-orang mulai tertawa melihat hiburan menyenangkan tersebut.

GLASS MEMORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang