Puzzle 1. Mendengar

42 2 5
                                    

Ia berlari. Berlari sejauh mungkin yang ia dapat, melupakan kelelahan pada persendian kakinya, nafasnya yang terengah, dan jantungnya yang berdenyut terlalu keras. Ia hanya perlu berlari.


**


"Jakop?"


Sepi. Tidak ada jawaban yang ia terima. Hanya rintik hujan yang mengisi relung dengarnya. Ah, mungkin hanya imajinasi yang ia ciptakan sendiri. Tadi ia mendengar langkah kaki mendekat. Namun ia belum tau pasti. Ia masih belajar untuk mengenali suara langkah kaki sekarang, dan sepertinya itu langkah Jacob, kakak sulungnya. Langkahnya pelan namun mantap. Tidak terlalu berat, namun ada sedikit beban. Entah karena ia terlalu subur sekarang, atau karena beban hidupnya yang terlalu berat.


Ia kembali kedalam ruang imajinasi yang ia rajut beberapa hari ini. Menggurat berbagai gambar yang sebelumnya telah tercetak dalam sel otaknya. Memastikan tidak ada yang salah dan tertukar. Jakop adalah lelaki tegap, tampan dan berwajah bijak. Ada tahi lalat di pipinya. Tidak terlalu besar namun terlihat jelas. Rambutnya lurus dan lebat, berwarna sedikit coklat, seperti rambut ayah mereka. Ya, sepertinya itu cukup untuk menggambarkan Jakop yang sangat baik padanya.


Lalu Mimi, kakak iparnya. Ah, ia tak suka memandang wajah perempuan itu. Tak pernah suka sejak awal mereka bertemu. Wajahnya meninggalkan kesan keculasan, sombong dan jahat. Meski memang ia tidak sejahat wajahnya, namun perempuan itu pernah menamparnya untuk suatu alasan yang tidak jelas. Namun Jakop telah memilih Mimi menjadi pendampingnya. Ia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Kakaknya terlalu mencintai Mimi.


"Jakop? Atau siapapun disana?" Kali ini ia mendengar langkah itu lebih jelas, dan terasa lebih dekat. Namun tak ada jawaban. Suara langkah itu pun terhenti. Tapi ia tak bisa lagi mengabaikannya. Ia yakin ada seseorang disekitarnya. Mungkin berjarak sepuluh langkah dari kursi tempatnya duduk.


"Jakop, kau kah disana? Ku pikir kau pulang lebih sore," ia berusaha menghilangkan prasangka buruk yang mulai muncul di kepalanya. Tidak mungkin itu Mimi. Pasti Jakop. Tapi kenapa ia tidak menjawab?


Ia mencoba berdiri dengan tangan yang melambai-lambai kesekitar. "Jakop? Apakah kau membawa pesananku? Jepit rambut berwarna putih yang aku lihat di toko?"


Ia terus melangkah selangkah demi selangkah dengan menajamkan pendengarannya. Hujan diluar sudah reda, ia kini dapat mendenar suara jam yang berdetak. Tetapi tidak ada jawaban Jacop seperti yang diharapkannya. Ia menabrak kursi, meja dan kursi lagi. Sedikit nyeri tapi ia sudah mulai terbiasa dengan hal itu.


"Leva, kau mau kemana?"


Itu suara Jakop dan ia segera melangkah kearahnya, namun dari jarak yang lebih jauh dari perkiraan Leva. Itu bukan sepuluh langkah.


**


Sebuah meja dan kursi kerja terletak disudut ruangan, menghadap ke jendela yang terbuka. Tirainya yang putih berayun terkena hembusan angin. Setangkai bunga mawar hijau mengisi sebuah vas putih jenjang berada di pinggir meja. Di samping vas, buku-buku tersusun rapi sesuai dengan ketinggian mereka. Seseorang duduk di kursi itu, menatap keluar jendela. Matanya menatap sesuatu, namun otaknya tak mengenai benda itu. Pikirannya tengah melayang jauh.


"Aku tau," ucapnya, beberapa saat lalu pada handponenya. Seseorang menghubunginya."Aku akan terus mengawasinya. Aku pastikan dia tidak akan melakukan apapun yang akan merugikanmu."


Seseorang diseberang sana mematikan sambungan dengan segera. Tidak ada percakapan lanjut. Tidak ada pula jawaban atas beribu pertanyaan di otaknya. Tidak pula jaminan akan kekawatiran-kekawatirannya. Namun ia harus menurut. Seseorang yang berada di seberang sana tidak mau diusik oleh pertanyaan-pertanyaan sepelenya.


Ia menghembuskan nafas. Bukan kali pertama dia melakukan pekerjaan ini. Namun baru pertama kali inilah hatinya gundah.


**


"Aku tidak buta Mimi,"


"Iya, tapi kau tidak bisa melihat, apa bedanya itu, buta dan tak bisa melihat?" Mimi mendengus sebal dan suaranya sampai ketelinga Leva yang sudah mulai peka.


"Tapi aku kan segera dapat melihat, Mimi. Hanya menunggu hari." Leva meletakan sendoknya. Ia merasa sudah cukup kenyang meski ia baru menelan sesendok sup. Namun kata-kata Mimi telah membuatnya tak ingin makan lagi.


"Kenapa? Tidak enak? Kau tau, aku bersusah payah membuatnya. Yah, aku tau, tak seenak buatan pembantu kita. Tapi mau apalagi, kita sudah tak mampu lagi membayarnya. Kau tau sendiri kan penyebabnya?"


"Bukan begitu," Leva mulai merasa bersalah. Tentu ia tau penyebabnya. Sejak penglihatannya memburuk ia sudah sangat merepotkan kakaknya. Apalagi untuk pengobatannya yang cukup mahal.


"Kalau begitu habiskanlah. Setelah itu kembalilah ke kamarmu. Aku memiliki banyak pekerjaan,"


"Bolehkah aku ke teras? Kau tidak akan membersihkannya kan?"


"Apa kakakmu membolehkanmu keluar? Aku pikir tidak. Sebaiknya kau kekamarmu saja. Jangan cari masalah," tolak Mimi.


"Tapi aku bosan."


"Kalau begitu tetaplah disini. Kau jarang ke ruang makan kan? Yah, sejak kau benar-benar buta." Mimi melangkah meninggalkan Leva. Nampaknya ia enggan meladeni Leva yang pasti keras kepala.


Kini Leva yang mendengus sebal. Mimi memang menjemukan. Apa yang bisa dilakukannya diruang makan? Akhirnya ia melanjutkan menelan bubur buatan Mimi. Benar, memang tidak enak, dan ia mendengar langkah itu lagi.


"Mimi?" Bukan. Langkah Mimi ringan dan sepatunya menimbulkan bunyi yang cukup keras. Lalu siapa? Jakop?


Tidak ada jawaban.


"Mimi, kau kah itu? Baiklah, aku akan kekamarku saja setelah menghabiskan bubur ini. Ya, aku akan menghabiskannya."


Tidak ada suara.


"Mi?" Leva berusaha kembali menajamkan pendengarannya. Namun hanya suara jam dinding di ruang sebelah. Ah, mungkin Jakop benar tentang kemarin. Ia hanya berimajinasi mendengar ada langkah kaki mendekatinya karena ia tengah berlatih. Jika sudah terbiasa pasti ia akan lebih canggih membedakan itu langkah kaki atau suara angin. Ia mengabaikannya, namun langkah itu kembali terdengar. Mendekat, dan Leva kini dapat dengan jelas merasakan ada seseorang tak jauh dari tempatnya duduk. Seseorang, bukan Jakop ataupun Mimi.


"Mimi! Aku lupa sesuatu!" Teriak Leva sengaja mengeraskan suaranya, berharap Mimi, yang entah berada dimana, segera menuju ruang makan, dan mungkin menjelaskan keberadaan seseorang yang tak ia ketahui itu. Namun ia tak jua mendengar suara sepatu Mimi.


"Kau disana, siapapun kau, apa maumu?" Leva menggenggam sendoknya erat. Mungkin saja itu bisa menjadi pertahanannya jika orang itu hendak melakukan sesuatu yang buruk. Tapi ia benar-benar takut sekarang.


Tidak ada jawaban, dan tidak ada apapun di ruang dengarnya. Hening.


"Jangan mengerjaiku, atau aku akan teriak!" Leva mulai merasakan ada sesuatu yang tidak dapat ia jelaskan. Antara ketakutan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu. Ia pun tak sengaja menjatuhkan mangkok buburnya dan terdengar suara kaca yang pecah dan berserakan.


"Apakah kau tidak bisa aku tinggal sebentar saja?" suara sepatu Mimi terdengar. Ia nampak tergesa-gesa.


"Apa kau melihat ada orang disini?"


"Ya, seorang buta yang tak mau dibilang buta, dan baru saja memecahkan mangkokku yang kesekian," kata Mimi nampak sangat kesal. Namun ia memunguti pecahan mangkok itu juga.


**


Invisible ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang