Cakka membuka matanya ketika jam menunjukkan pukul 2 siang. Ia berbalik menghadap ke sebelah kiri dan mendapati Shilla yang masih tertidur di sebelahnya. Tubuh gadis itu menghadap ke arahnya, memperlihatkan wajahnya yang begitu tenang ketika tertidur, dan terlihat tidak sepucat tadi. Satu tangan Shilla juga melingkar erat dipinggang Cakka.Mungkin jika yang dihadapannya sekarang adalah gadis lain, ia akan merasa canggung. Tapi ini Shilla, anak perempuan yang sudah sering tidur di atas kasur yang sama dengannya sejak mereka masih kecil. Hal itu sudah biasa, tidak ada lagi rasa canggung baginya maupun Shilla.
Tapi, mungkin ada satu hal yang terasa berbeda kali ini.
Cakka tak lagi memandang Shilla sebagai sahabatnya. Melainkan, lebih dari itu.
Semuanya dimulai tiga tahun yang lalu, saat usia mereka masih 14 tahun. Tepat sehari setelah Ayah Cakka di makamkan.
Shilla mendorong pintu putih itu perlahan, kemudian ia melangkah masuk menghampiri Cakka yang sedang duduk bersandar di kasurnya dengan pandangan kosong.
Shilla duduk di sebelahnya dan menyentuh pundak anak laki-laki itu pelan. "Bi, makan dulu yuk. Udah ditunggu Tante Andin di bawah."
Anak laki-laki itu hanya menoleh sekilas, kemudian ia menggeleng pelan.
"Ayo dong, Bi. Lo kan belum makan dari pagi. Gue bela-belain ke sini malem-malem cuma buat nemenin lo makan tau." Shilla menarik-narik lengan Cakka.
Tapi laki-laki itu justru melepaskan tangan Shilla, kemudian matanya menatap gadis itu. "Gue mau makan sama Ayah."
Shilla menghela napasnya, "Bi, Om Reza itu udah-"
"Dia masih ada, Ta. Semalem dia nemenin gue tidur di sini. Dia masih ada!" Suara Cakka meninggi. Detik berikutnya, air mata yang sudah tidak terlihat lagi sejak pemakaman Ayahnya usai itu akhirnya kembali menetes.
Cakka menangis.
"Dia masih ada. Dia nggak mungkin pergi. Dia nggak mungkin ninggalin gue."
Suara yang terdengar sedikit serak itu menelusup masuk ke telinga Shilla. Membuat hatinya ikut sakit atas kehilangan yang dirasakan Cakka. Kebersamaannya dengan Cakka selama bertahun-tahun membuat Ayah Cakka sudah Shilla anggap sebagai orangtuanya sendiri. Ia juga menyayanginya sama seperti Cakka, dan kesedihan sahabatnya itu ketika mendengar kabar kecelakaan yang menimpa Ayahnya hingga membuat pria itu kehilangan nyawa juga dirasakan oleh Shilla.
Shilla berusaha sekuat tenaga untuk tidak ikut menangis. Meski air matanya sudah sejak tadi tertahan di pelupuk mata. Tapi ia tidak boleh menangis, ia harus membuat sahabatnya itu tenang.
Shilla memeluk Cakka, membiarkan laki-laki itu menjatuhkan kepalanya di atas bahunya. "Lo nggak boleh kayak gini terus, Bi."
"Minggu depan gue tanding basket, dan Ayah janji mau nonton pertandingannya. Dia pasti dateng kan, Ta? Iya kan?" Cakka bertanya di sela isaknya.
"Please stop, Bi. Lo nggak boleh kayak gini, kasihan Tante Andin. Gue yakin Om Reza juga pasti sedih liat lo kayak gini." Tangan Shilla terangkat untuk mengusap lembut kepala Cakka.
Cakka terdiam di pelukan Shilla, perlahan ia mencoba meredakan tangisnya. Dan setelahnya, Cakka membalas pelukan sahabatnya itu dan memejamkan mata, merasakan kenyamanan yang diberikan Shilla.
"Gue tahu lo sedih. Kita semua juga ngerasa kehilangan, Bi. Tapi lo harus kuat demi nyokap lo. Sekarang cuma lo satu-satunya yang dia punya. Cuma lo jagoan yang bisa jaga dia." Shilla mengeratkan pelukannya, berharap pelukannya itu bisa menguatkan Cakka. "Kuat ya, Bi. Tante Andin butuh lo..." Gadis itu kemudian menarik napasnya sejenak, sebelum mengakhiri kalimatnya. "Gue juga butuh lo."
Cakka membuka matanya, kata-kata terakhir yang diucapkan Shilla itu membuat hatinya berdesir. Rasa sedihnya berkurang perlahan. Tergantikan oleh rasa nyaman yang ia dapat dari pelukan Shilla.
Pada malam itu, pertama kalinya, Cakka merasakan debarannya untuk Shilla.
Cakka merasakan sesuatu yang berbeda. Rasa nyaman yang ia rasakan bukan lagi rasa nyaman seperti biasanya. Rasa itu berubah, menjadi sesuatu yang terus berkembang hingga detik ini.
Sekarang, perasaan itu bertambah kuat. Cakka semakin tidak ingin Shilla jauh darinya. Ia ingin memiliki gadis itu. Ia ingin Shilla tahu bahwa Cakka menyayanginya, lebih dari apa pun.
Tapi, ia juga takut. Takut jika pengakuannya nanti justru akan membuatnya kehilangan semuanya. Ia takut persahabatannya dan Shilla justru akan hancur.
Cakka mengulurkan satu tangannya untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang sedikit menutupi dahi Shilla. Kemudian ia mengusap kepala gadis itu perlahan.
Ada di samping lo kayak gini rasanya udah cukup buat gue, Ta. Gue nggak mau berharap lebih.
• • •