Home

9K 444 55
                                    

Lumina POV

Awan gelap menghiasi langit, menurunkan hujan yang mengguyur membasahi seisi kota. Aku telah sampai di pekarangan rumah, namun belum kunjung keluar dari mobil. Tidak ada payung yang bisa kugunakan. Bukannya mencari cara agar bisa keluar, aku malah menyandarkan punggungku. Pikiranku melayang pada selembar kertas yang merupakan lembar rekam medis milik seseorang yang telah lama menghilang dari hidupku. Aku sempat meminjamnya sebelum kembali kerumah tadi.

Dia kembali rupanya.

Aku menggigit bibirku kencang. Tentu ini bukan kabar baik. Rasa khawatir itu semakin menjadi ketika kuingat kalau anak kami tumbuh sehat dan baik-baik saja. Apa yang akan ia lakukan bila ia tahu nanti?

TOK... TOK...

Kaca mobilku diketuk dua kali. Aku langsung tersadar dari lamunanku. Ibu telah berdiri di depan pintu mobil sambil membawa payung yang cukup besar untuk kami berdua. Di teras, aku bisa melihat Ava yang sedang memeluk bonekanya dan melambaikan tangan mungilnya itu ke arahku.

"Pasti kamu gak bawa payung ya? Kebiasaan deh, kenapa gak telepon ibu kalau sudah sampai? Untung ibu ngeliat dari jendela kalau kamu udah pulang." Kata ibu protektif, ketika aku menutup pintu mobil.

"Iya bu, tadi aku sambil ngeberesin berkas-berkas makanya aku enggak langsung telepon ibu." Jawabku. Aku menyanggah tubuhku di mobil. Mendesis pelan menahan sakit yang masih terasa bahkan semakin parah sepertinya.

"Kakimu kenapa?" Nada khawatir Ibu dapat aku rasakan dalam hatiku.

"Keseleo sedikit Bu, aku engga apa-apa." Kulangkahkan kaki dengan terseok-seok menuju ke teras rumah, dibantu Ibu yang masih setia menemaniku.

"Ck..." Ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Ada-ada aja kamu tuh, Na. Kalau di Indonesia ibu udah minta tolong bantuan Mbok Laras buat mijit kamu." Lanjutnya.

"Aku gak apa-apa Ibu. Nanti aku minta dokter Sarah buat kesini."

"Dokter Sarah spesialis tulang itu ya? Teman kuliahmu juga kan. Eh tapi beda angkatan kan, ya. " Aku mengangguk membenarkan ibu yang berceloteh sendiri.

Tangan mungil Ava menggenggam jemariku hangat. Anak itu menatap bingung wajah dan kakiku secara bergantian.

"Ada apa, Bun? Kok kaki Bunda jingjit sebelah, Bun. Terus kok muka Bunda begitu, Bun. Bunda sakit perut yaaa?"

Spontan aku tertawa lalu meringis linu akibat pergelangan kakiku yang sedikit tertekan. Anak kecil, kamu benar-benar cerewet.

"Bundanya keseleo, tuh. Kasian Bunda kesakitan." Kata Ibu menjelaskan.

Nampak kedua matanya berubah sedih, lalu berbinar dalam sekejap.

"Tunggu Ava ya, Bundaaaa..." Ava berlari ke dalam rumah sambil berteriak. Entah apa yang Ia ingin lakukan.

Di dalam Ibu membantuku duduk di sofa. Berjalan dari halaman depan sampai ruang keluarga jadi terasa berat dan lama. Tangan kiriku memijat pelan dari betis hingga dengkul. Sementara tangan satunya menggenggam handphone, berusaha menghubungi dokter Sarah untuk meminta bantuan. Beruntungnya Ia langsung merespon dan menyanggupi permintaan tolongku. Sekitar pukul tujuh petang mungkin Ia akan sampai.

Aku mengalihkan pandanganku kesekeliling ruangan, mencari Ava. Entah kemana gadis kecil itu pergi. Lalu pandangaku berhenti pada satu objek yang cukup memikat perhatian. Dari dalam tas kerjaku ada sebuah kertas yang menyembul keluar. Aku jadi teringat kembali bahwa kertas tersebut adalah lembar kerja rekam medis manusia itu, yang sengaja kumasukan secara terburu ke dalam tas tadi siang. Well, seketika mood-ku jadi kacau lagi.

Hate To Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang