"Paling-paling masalahnya mengenai Aaron." kata Jamie tepat seperti yang di perkirakannya.
Aku membuang napasku dengan gusar. "Memangnya siapa lagi selain dia?"
"Jadi ada masalah apa?" sebelum Aku menjawab, Jamie bertanya kembali. "Hal buruk atau hal baik?"
"Dua-duanya!" jawabku sewot yang hanya di balas dengan anggukan kepala olehnya. "Hal baiknya aku hamil! Sementara hal buruknya ialah kekasihku terdengar seperti tak senang akan hal ini."
"Ohh..."
"Kok cuman 'oh' doang sih? Bukannya menghibur, kasih solusi, atau merasa senang karena sahabatnya sebentar lagi ingin mempunyai seorang anak. Ini malahan flat seperti itu."
Jamie hanya memandangku dengan wajah datarnya. Ia hanya mendecih sebelum akhirnya bersuara kembali. "Aku tentu saja senang karena kau hamil, bodoh! Aku tidak mau membebanimu akan pertanyaan ini. Namun, bagaimana dengan kuliahmu nanti? Apakah kau akan menundanya lagi?"
Tiba-tiba aku seperti tersentak akan apa yang Jamie katakan. Benar juga. Pasalnya aku baru saja berkuliah kembali. Masa sudah mau ambil cuti panjang? Jika tidak cuti, perut yang membesar ini sudah pasti akan ketahuan oleh teman di kampusku.
"Astaga kenapa aku tak memikirkan hal ini ya?!" aku memegang keningku karena tiba-tiba saja aku pusing. "Bagaimana ini?"
"Satu-satunya cara kau harus menunda kuliah."
"Tapi aku tidak bisa menunda kembali..."
"Jangan bodoh!" seru Jamie sambil memegang salah satu pundakku. "Kuliah bisa kapan saja. Tapi anakmu? Kau harus menyelamatkannya."
"Aku tak mungkin menunda lagi, Jam! Aku tak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Mau sampai kapan aku hanya lulusan SMA saja?!"
140
Jamie melepaskan tangannya yang semula berada di pundakku. "Tolol! Jika memang kau keras kepala ingin tetap kuliah, bagaimana kedepannya jika kau ketahuan disana? Kau akan di bully habis-habisan. Dan tentu kau akan di D.O lalu di black list dari kampus. Kau mau, hahh? Jangan egois!"
"Aku tak mau mendengar apapun darimu lagi. Lebih baik sekarang kau pergi!" kataku dengan membuang muka agar tak melihat wajahnya.
"Seharusnya dari awal kau tak kembali kuliah jika tau kelak kau akan hamil. Sekarang, siapa yang jadi pusing sendiri?" kata Jamie dengan nada suara yang pelan. "Lagipula kenapa sih walau hanya lulusan SMA saja? Aku saja yang lulusan SMP tak ambil pusing. Yang terpenting, kita sudah punya pekerjaan."
Aku menoleh ke-arahnya kembali dengan tersenyum kecut. "Aku tidak sama sepertimu, Jam. Bagiku hanya lulusan SMA adalah hal yang memalukan. Dan apa katamu? Yang penting sudah mempunyai pekerjaan?" aku mendecih serta menggelengkan kepalaku tak percaya.
"Kau pikir dengan bekerja sebagai jalang adalah hal yang membanggakan bagimu? Jamie, tolong jangan bodoh! Pekerjaan yang kita lakukan ini sangatlah buruk."
Jamie pun hanya terdiam. Kemudian ia tersenyum yang entah kenapa bagiku ia terlihat seperti kecewa mendengar apa yang aku katakan. Aku sendiri tak tau mengapa aku mengatakan hal ini pada Jamie. Sungguh, emosiku sedang tidak stabil saat ini. Oleh sebab itu aku yang menyadari kesalahanku cepat-cepat menjelaskan padanya.
Tapi Jamie mengangkat telapak tangannya dan tak membiarkan aku bersuara.
"Benar apa katamu," katanya dengan nada yang bergetar. Ia seperti terlihat menangis namun mencoba untuk menahannya. "Aku memang bukan sepertimu yang begitu mencintai dunia pendidikan. Dan mengenai pekerjaan yang kita lakukan saat ini, aku tau ini adalah pekerjaan yang buruk dan kotor. Apa aku bangga atas apa yang telah ku lakukan? Tentu saja tidak! Remember this Lox; Anybody can do bad work, but not everybody does good work. Besides all this there is a reason why we do a bad work."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Work Good Love
ФанфикKalian bs follow aku lebih dulu agar bisa membacanya. Rated: (17+) ******* [Fanfict about Magcon] "Anybody can do bad work, but not everybody does good work." -Paul Simo...