St.00 Prolog.

147 18 36
                                    

Retakan dedaunan kering menemani langkah kaki. Hari yang cerah, tak hujan, gerimis, ataupun badai. Angin sepoi juga ikut berirama, menemaniku bersenandung ria.

Pagi ku, cerah ku
Matahari hari bersinar
Ku gendong tas merahku ....zz...

Tiba-tiba aku menghentikan langkahku, karena ada sesuatu yang menjanggal.

"Eh .... kok merah, sih? Tas aku kan warnanya hitam?"

Aku baru teringat dengan tas hitam bermerk polo yang sedang aku sandang di belakang punggung. Seirama dengan sepatuku yang berwarna sama, namun pinggiran di dekat pergelangan kaki, dan lidah sepatuku berwarna biru donker. Warna kesukaanku.
Yang juga senada dengan seragam sekolah yang aku kenakan, yah .... baju putih berlengan pendek berlambang SMP, dan rok biru panjang semata kaki. Serta kuncir biru berpadu putih garis-garis yang aku pakai mengikat rambut lurusku dengan style ekor kuda.

Disela perjalan menuju sekolah tercinta, aku sempatkan memuji rakhmat Tuhan yang luar biasa, yang masih bisa aku rasakan sampai saat ini.

"Ya Allah, aku bersyukur hari ini masih bisa mengenyam pendidikan dengan layak.
Walau bertubi-tubi masalah besar menghampiri, tapi aku tak takut akan hal itu, karena aku mempunyai Engkau yang lebih besar dari setiap yang Engkau ciptakan, aku juga bersyukur masih bisa menghirup udara bersih dan segar di pagi hari. Walau hanya di pagi hari, karena udara ketika beranjak siang sudah mulai gerah dan ternodai oleh polusi, tapi aku sangat bersyukur pada Mu, " pujiku dalam hati.

Aku sangat gembira hari ini.

Hanya saja ... waktu yang membuat sedikit kesal.

"Ya ampun,7 lewat 8," mataku terbelalak melihat jam hitam yang menempel di pergelangan tangan kiri ku.

Langkah kaki ku percepat, kemudian setengah berlari, dan pada akhirnya jurus 1000 langkah pun aku terapkan, alias lari.

Perasaanku mulai tak enak karena tak ada orang lagi yang melintasi jalan menuju sekolah, kecuali aku.

Dengan kecepatan maksimal, dan keadaan yang sepertinya kekurangan mineral, nafasku cukup terkontrol setelah selamat melewati gerbang utama yang bertuliskan "SMP ALPHA BETA" salah satu cyber high school di negeriku.

Aku bersyukur kembali, karena gerbang utama tidak ada yang menjaganya, itu memang sengaja diterapkan di sekolahku, dengan alasan agar siswa yang telat masih tetap masuk sekolah dan akan tampak dari jauh ketika mereka ingin memasuki gerbang selanjutnya.

Tak lama melewati gerbang utama, aku berada di pertigaan jalan. Jalan pertama menuju kelas para junior, jalan kedua akan mengantarkan ku ke ruang kelas, dan jalan terakhir menuju sarang hunian para senior yang sebentar lagi akan keluar dari sekolah ini "jika lulus".

Tanpa berpikir panjang, aku menuju gerbang yang ada di jalan kedua.
Dan ..... .

"Pak, izin nyelip ya? Kali ini aja, kan arloji bapak baru berganti angka dari 5 ke 6," pintaku dengan wajah sedikit memelas setelah sampai di depan gerbang jalan kedua, dan mengamati arloji yang ada di pergelangan tangan satpam sekolah. Tangan satpam itu bergerak sembari mengunci gerbang.

"Kali ini aja? Enggak, salah dengar bapak, ya? Hampir tiap hari kamu nyelip di pagar karena nyaris telat, ya bapak kasih. Tapi ini kan bukan nyaris lagi, tapi sudah telat satu menit. Lagian, baru aja liburan kenaikan kelas. Hari pertama pula, malah telat. Dasar kamu ini. Maaf ya, enggak bisa pokoknya!"

"Yah ... bapak."

"Salah siapa, coba? Makanya jangan telat," ucap Pak Muin sembari mengunci gerbang.

22 Februari (tiga permintaan, terkabulkan).Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang