BAB 1

11K 198 26
                                    

Sudah tiga minggu ini, tiga belas hingga delapan belas orang masuk ke dalam ruang Bakenas satu yang terletak diujung komplek P, paling pojok dekat dengan blok Darulfiqr, perharinya. Bukan main, Bakenas satu ialah tempat paling horor dimana disanalah takzir mugholadoh akan diproses dan menuju sidang akbar yang biasanya digelar satu bulan sekali. Jelas seperti namanya yang hukumnya setara menggendong babi, takzir mugholadoh mewajibkan pelakunya mengelilingi lapangan besar samping kanan asrama Assalam Annisa, persis di depan asrama Assalam Arrijal sambil mengenakan gamis hijau terang selepas sebelumnya diguyur air segar dari 'pemadam kebakaran' tujuh kali.

Sembari tergopoh-gopoh, ketum Bakenas, Nurjannah mempercepat laju jalannya menuju ruang rois aam sambil membawa setumpuk berkas takzir mugholadoh, siap menyetor laporan luar biasanya itu kepada sang rois, Dhiroya Wardah--yang tentu dalang dari semua keberhasilannya dalam menangkap pelaku kejahatan kelas berat kurang dari sebulan kepimpinannya.

"Sampai!" seru mbak Jannah menggapai daun pintu ruang agung itu. Tatapannya yang begitu sangat khas--dan ditakuti--berkeliling, "Dhiroya dimana?" tanyanya kemudian.

"Dia masih dijalan, dosen pembimbingnya mendadak menelponnya, mungkin lima belas menit lagi sampai. Memangnya ada apa?" jawab Ria penuh tanda tanya.

Mbak Jannah menghembuskan nafasnya ke udara, "Dhiroya sungguh keterlaluan. Bagaimana bisa, tindak mugholadoh diproses tanpa bukti otentik?"

"Maksud mbak?" Bila yang tidak mengerti ikut menimbrung.

"Lihat ini semua, bukti yang dicatat hanya bertuliskan 'kesaksian jesusah'." mbak Jannah begitu serius.

Ria kemudian memeriksa laporan yang dibawa seniornya itu. "Lah, bukannya memang jesusah itu bertugas sebagai mata-mata yang telah diambil sumpahnya untuk tidak membohongi Bakenas?"

"Iya mbak, in shaa allah jesusah semua amanah." kata Risma kemudian.

Ekspresi mbak Jannah masih serius, "Ini bukan perkara amanah atau bohong, tapi memang sudah jadi ketentuannya tindak mugholadoh wajib menyertakan bukti yang bukan hanya kesaksian semata."

Baik Risma, Ria dan Bila yang berada dalam ruangan itu saling menatap satu sama lain.

"Jadi sebenarnya, Bakenas sungguh tidak berhak memproses takziran mugholadoh ini, karena harus ada tebusan ke pihak ndalem. Kita tidak boleh sembarangan menghukum orang." jelasnya serius. Pantas saja ia mendapat cumlaude di strata satu ilmu Hukum, mbak Jannah luar biasa jeli.

Bukan tanpa alasan, mbak Jannah memang menyerahkan tugasnya kepada anggota Bakenas lain, dikarenakan ia sedang sibuk dengan tesis untuk masternya.

"Dhiroya masih lama?"

"Sedang dipanggil ndalem, ini barusan aku tanya mbak." jawab Bila setelah mengecek handphone-nya.

***

"Dhiroya.." sebut bu nyai Hasnah segera setelah mendapati sosok gadis berjilbab itu diruang depan.

"Njih. Assalamualaikum ibu." ucapnya kemudian, mencium punggung tangan ibu nyai yang begitu ia kagumi seluruhnya.

"Apa kabarmu, nak? Sejak jadi rois jarang sekali keliatan sekarang." sapanya memulai pembicaraan, yang hanya diiyakan Dhiroya.

Dhiro menundukkan pandangannya sejak tadi-karena ini adalah adab tak tertulis seorang murid kepada gurunya-ta'dzim. Baginya bu nyai adalah tiangnya pesantren, mana ada bangunan yang bisa berdiri tanpa kehadirannya?

"Nak.." ah ya, bu Hasnah takkan mungkin memanggilnya jika tidak ada suatu hal yang hendak dibicarakan. Ini pasti penting. Sama seperti sedari tadi handphone disampingnya yang terletak dalam tas jinjing tak mau diam. Pasti ada hal mendesak yang terjadi.

GUS HILALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang