Entah mengapa Daniella tiba-tiba berdiri disamping ranjang Emmanuel ketika Paris muncul diambang pintu dan memandangi keduanya. Daniella menelan ludah saat menyadari sorot berbeda dimata Paris saat menatapnya.
Paris menegok sebentar ke arah ranjang Emmanuel, dimana orangnya sementara terpejam. "Kenapa dia?"
"Hmm, Manuel terluka. Dia... ditusuk dan kondisinya sekarang begini."
Paris menghela napas. "Berantem lagi kan?"
Daniella menggigit bibirnya sebelum mengangguk. Paris mengajaknya keluar sebentar untuk mengobrol diluar ruang perawatan namun Daniella menolak.
"Sebaiknya, aku tidak meninggalkan Manuel sendirian."
Paris menahan napas. Dia tidak tahu kalau Daniella akan menjadi segitu mengkhawatirkan anak itu. Kali ini, Paris merasa kalah. Benar-benar kalah telak. Awalnya mendengar pertengkaran yang melibatkan Daniella dengan anak-anak perempuan cukup menyentaknya. Sekarang tidak ingin meninggalkan bocah itu sedikit pun. Paris tidak paham, sama sekali. Padahal dia cukup yakin Daniella akan melepas bocah itu, sayangnya dia salah.
"Baiklah. Aku percayakan anak itu padamu. Kalau ada apa-apa hubungi aku saja. Aku akan mengurus administrasinya." Jelas Paris sebelum meninggalkan ruangan itu.
Daniella menghela napas ketika punggung Paris menjauh. Bukan apa-apa dia hanya takut kalau-kalau Paris tahu apa yang sebenarnya terjadi dan malah memarahi Emmanuel. Disatu sisi, dia juga tidak sadar kalau dia sama sekali tidak tahan melihat wajah terluka Emmanuel ketika diobati oleh petugas kesehatan tadi.
Daniella merasa bersalah karena dia tidak tahu kalau cowok itu menyimpan lukanya sendiri. Apalagi ketika dia tanpa sengaja melihat petugas kesehatan membuka pakaian Emmanuel dan dibagian belakang punggungnya ada tanda goresan kecil yang sudah lama mengering. Padahal dulu ketika sempat berada di apartemen cowok itu, Daniella ingat cowok itu juga bertelanjang dada, sayangnya karena ketakutan fakta kecil itu luput dari ingatannya.
Kalau sudah begini, bagaimana dia bisa mengingkari perasaannya pada cowok yang terbaring disebelahnya ini.
"Dia sudah pergi?"
Daniella menoleh, baru sadar kalau Emmanuel tidak terpejam lagi. "Lo nggak papa? Ada yang sakit ngga?"
Emmanuel berusaha menggerakan badannya untuk menjawab pertanyaan Daniella. Dan ajaibnya tubuhnya tidak terlalu merasa sakit karena luka diperutnya sudah berhasil ditutup dengan rapi. "Udah nggak papa kok."
"Ya udah, nggak usah gerak. Diem aja pokoknya."
Emmanuel tahu-tahu meraih tangan Daniella untuk menggenggamnya. Kali ini Daniella tidak protes sama sekali. "Kenapa lo nggak ngikutin Paris aja?"
"Dan gue ninggalin lo sendirian?"
Sudut bibir Emmanuel terangkat. Matanya terpejam sesaat sebelum mengecup kembali punggung tangan Daniella. "Kalo tahu lo bakalan nurutin gue kayak gini, udah dari dulu gue babak belur aja kali?"
"Itu nggak lucu, Manuel." desis Daniella sambil meremas tangan Emmanuel yang menggenggam tangannya.
"Thanks." Daniella menggangguk pelan.
"Itu artinya gue bisa ngelepas lo sekarang."
Dahi Daniella berkerut. "Lo ngomong apa sih?"
Emmanuel tidak lagi tersenyum saat melepas tangan Daniella. "Lo nggak sadar juga yah, Ella. Gue sengaja ngelakuin ini semua biar lo nggak kepikiran Paris lagi. Dan itu artinya lo nggak akan berhubungan ama dia lagi, lo pilih gue itu jelas. Tapi gue nggak pernah pilih lo."

KAMU SEDANG MEMBACA
Better Enemy
De TodoEmmanuel Juan adalah musuh abadi Paris. Dia akan melakukan apapun agar bisa melihat kembali luka dimata sang kakak atas kesalahan dimasa lalu keduanya. Termasuk menyeret Daniella mahasiswi idaman sang kakak ke dalam pusaran permainannya. Dia berhara...