4. PENCURIAN PUSAKA

40 2 0
                                    

Bagi seorang anak di desa terpencil, dihadapkan dengan sebuah perkenalan adalah hal yang tak lumrah. Bayangkan sehari-hari terbiasa hidup di lingkungan yang sama, dengan rutinitas yang sama dan kawan-kawan yang sama. Dulu mengenal teman sebaya di sekolah tak pernah lewat perkenalan, tidak ada saat-saat bertukar nama atau saling menunduk dengan telapak tangan di dada. Kerja kita hanya bermain, lalu entah kapan kita tahu nama masing-masing, atau entah kapan kita saling mengunjungi rumah sepulang sekolah. Meski setelah aku dekat dengan Marco, tak ada lagi hal-hal semacam itu. Tak ada kemewahan pertemanan semacam itu.

Maka perkenalan tempo hari seperti menemukan intan di tambang batu bara. Sangat memberi kesan. Bagiku atau bagi anak-anak Kastinope, desa terpencil di antara sabana dan hutan-hutan seperti ini, berkenalan dengan kawan baru bisa jadi pengalaman yang istimewa. Jadi, ketika suatu kali Manard mengajakku kembali ke perkemahan itu tentu ada hasrat yang mencuat. Walau kita tahu pengalaman tidur di luar rumah sangat keparat menyengsarakan. Lolongan serigala di kejauhan, decit hewan kecil di semak-semak, bahkan bayang dan suara ranting pohon Ryel dibelai angin pun bikin merana dan tak pulas tidur. Belum bantal buku yang tidak ada empuk-empuknya, dan dingin angin yang makin pagi makin membekukan. Namun, luar biasa benar Manard bermain kata, termakan juga aku bujuk rayunya.

Pagi itu di hari libur. Sarapan tandas disantap orang-orang sekeluarga lengkap, ditambah Marco yang semula menginap untuk baca buku. Setelah Ibu selesai mengangkati piring dan mangkuk-mangkuk kotor, di meja makan itu Manard membisikan kemauannya kembali ke perkemahan. Aku tahu betapa ia sudah tak tahan ingin berjumpa Mei Lan. Terlalu sering ia tengah malam tak bisa tidur dan menghujani pintu kamarku dengan ribuan ketuk. Lalu memaksaku ikut terjaga hanya untuk mendengar celoteh panjangnya tentang gadis Xirxis itu. Kubilang aku tak mau ikut dia lagi kalau akhirnya nanti diacuhkan, pulang malam dan harus kembali mendapat panas tangan Ayah di pipi, lalu tidur beratap langit. Siapa yang mau sengsara gara-gara ambisi sial seorang kakak seperti dia.

"Kua pergi saja sendiri!" Keluhku.

"Tidak bisa, Nir. Aku membutuhkanmu. Ayolah demi kakakmu ini."

"Sudah kubilang aku tak mau lagi. Untuk apa aku disana?"

"Tak usah kau takut jadi seperti kemarin. Kali ini akan berbeda. Kau tak lihat ini masih pagi, kalau kita ke sana sekarang pulangnya dijamin tak akan kemalaman. Bagaimana? Kau cuma takut tidur di luar lagi kan? Dan, dan kau juga punya teman baru bukan? Euhh, Nur, bocah Ahr itu. Dan Erich, kau tak ingin menontonnya lagi?" Bujuknya.

"Binur seorang Ahr?"

"Ya, kau tak lihat baju dan wajah konyolnya?"

"Wajahnya biasa saja!" Gerutuku sambil mendempetkan alis. "Bagaimana dengan Marco? Kita harus mengajaknya juga. Dia menginap agar bisa bermain bersamaku pagi ini." Tambahku penuh perhitungan. Kemudian sejenak Manard menghisap udara dari mulutnya yang terbuka, giginya rapat dan mendesis.

"Tapi Nir, ini, ini adalah rahasia antara kita berdua. Marco tak boleh sampai tahu!" Jelasnya dengan kedua tangan terbuka, seperti ingin menangkap bola. Gurat serius muncul di wajahnya. "Tapi..." Kubilang setelah rasa iba dan rasa bersalah serta merta berdatangan.

"Hey, Marco senang membaca buku. Kau tinggal minta dia baca buku di rumah saja. Semua akan beres. Dia tak akan keberatan dan kita bisa berangkat ke perkemahan." Walau sempat ada rasa enggan dan tak sampai hati meninggalkan akhirnya aku lakukan juga. Dengan mulut yang terbata-bata, kubilang apa yang disuruh Manard bilang. Marco sempat tertunduk lesu. Tapi pada akhirnya semua berjalan sesuai rencana.

Marco tipikal orang yang sering dikecewakan. Terlampau sering dikucilkan dari pergaulan rekan-rekan sejawat. Perlakuan semacam itu aku kira lambat laun mengikis relung hatinya, memahat sukmanya persis seperti pualam, dan ada tatah-tatah yang terus menerus memahatnya di tempat yang sama. Hingga tak ada lagi pualam yang tertatah, sebab tempat itu sudah hilang. Sehingga apa-apa yang bisa membuatnya hancur hanya lewat begitu saja. Tak menghantam tubuhnya, tak lagi menghancurkannya. Tidak ada lagi yang membuatnya tersinggung sebab segala hal yang jadi ganjalan di hatinya telah lama luruh. Tapi justru ini yang membikin sedih. Bagaimana seorang anak 10 tahun, sebaya denganku, dalam hidupnya sudah mengalami hal semacam itu. Maka perlakuanku padanya hari ini pun tak sanggup membuat wajahnya tampak sembilu. Melegakan tapi tidak 'baik-baik saja'. Kata itu tidak bisa disangkut pautkan pada reaksi orang seperti Marco. Sebab hati Marco telah menjadi kebal dan tak berfungsi menghadapi rasa sakit. Itulah yang sering membuatku berat hati tak berada di sampingnya. Di sisi lain, diriku sebagai manusia sering kali mempertanyakan tujuan persahabatan kami. Belakangan hidupku isinya tentang Marco melulu. Menemani Marco pergi sekolah, menemani Marco di sekolah, membela Marco, Bermain dengan Marco. Segalanya tentang Marco dan itu kulakukan karena memang kita teman dekat, juga karena memang aku mengibainya. Sekali-kali aku ingin juga terbebas, lepas dari bayang-bayang Marco dan ikatan ini. Hidup untuk diriku sendiri. Bukan untuk Marco.

OrzulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang