Aurora Castleine pov . . .
Hhhh dengusku kesal masih dengan mata yang terpejam. Aku mengarahkan tangan kananku, meraba tiap-tiap benda yang ada di atas meja di samping kasurku. Aku membuka mataku perlahan sembari mengambil benda mungil berbentuk mickey mouse dari atas meja. Benda mungil yang sangat mengganggu dan sangat menyebalkan. Benda itu sering mengeluarkan bunyi nyaringnya disaat yang tidak tepat. Apalagi kalau bukan jam weker.
Mataku mengarah pada benda mungil itu dan langsung mematikannya. Pukul 06.00 Hhhh dengusku lebih kesal dari sebelumnya. “Jadi aku bermimpi tentang kejadian itu, lagi?” tanyaku pada diriku sendiri. Bukan, sebenarnya kejadian itu bukan sekedar mimpi. Kejadian itu memang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Aku akui aku memang tidak bisa melupakan kejadian itu. Tidak salah jika aku sering membawanya sampai kedalam mimpi. Anehnya, semua yang terjadi itu sama seperti mimpiku. Mulai saat Niall datang menepuk pundakku, membawa ice creamnya, saat dia berbicara padaku. Semua sama, huh.
Jika kau bertanya padaku, siapa Niall dan bagaimana dia, tentu aku akan menjawab perfect boy. Jujur saja, menurutku Niall adalah tipe laki-laki yang sangat setia. Dia tampan dan berbakat hampir di semua bidang. Bagaimana aku bisa tau? Aku mengenalnya sejak pertama kali aku duduk dibangku junior dan sampai aku di bangku senior ini, aku masih saja satu kelas dengannya. Tapi jika kau bertanya tentang perasaanku padanya, aku akan menjawab belum. Maksudku, belum saatnya.
-
“Kakak, mama menangis lagi,” teriak Prince-adik perempuanku dari ambang pintu yang membuyarkan lamunanku dan langsung membuat kakiku terasa sangat lemas. Bahkan aku saja belum sempat beranjak dari kasurku. Aku menatap wajahnya penuh cemas. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ini memang udah sangat biasa. Bahkan hanya karena teriakan Prince saja, aku sering membolos sekolah.
Tanpa berpikir panjang aku langsung beranjak dari kasurku. Melempar jam weker mickey mouseku tanpa melihat arah. Aku membiarkan kakiku berlari cepat entah kemana sampai akhirnya aku menghentikan langkahku tepat di ambang pintu yang tak jauh dari kamarku.
Mataku mengarah pada semua sudut di ruangan itu. Ruangan yang sangat besar dan terkesan mewah. Ruangan yang paling nyaman dibanding dengan ruangan lainnya. Tapi itu dulu. Kini ruangan itu tak lagi nyaman. Bahkan terasa sangat sesak.
Aku memutar bola mataku. Yang kutemukan hanyalah wanita cantik nan anggun yang sedang berada diatas lantai. Aku mendekat ke arahnya dan menatap ke-dua matanya. Dulu, mata itu selalu bercahaya. Tapi itu dulu. Saat aku belum beranjak dewasa. Kini cahayanya berubah menjadi tetes demi tetes air yang mengalir melalui pipi merahnya.
“Mama menangis lagi? Ada apa ma?” tanyaku sembari mengusap air matanya.
-------------------------------------------------------------
A/N : please leave ur votes if my story deserved it. thanks for reading ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Black Dress {pending}
Teen FictionJujur saja, percaya tak percaya, aku belum pernah sekalipun memakai dress. Bukan karena aku membencinya. Hanya saja menurutku skinny jeans itu lebih nyaman. Tapi aku berjanji akan memakai nya saat aku sudah menemukan apa arti cinta sesungguhnya. c...