Daniel
Dengan secepat mungkin kupacu kendaraanku, melawan dinginnya malam. Tak hanya 5 orang asing rupanya, ada kira-kira 3 orang tambahan berjaga di depan mobil mereka yang terparkir di depan rumah Samantha. Mereka semua laki-laki dengan tubuh proposional, dan membawa senjata.
Ku parkir motorku di bagian belakang rumah Samantha. Lalu kuputuskan untuk mengirimnya pesan berbunyi, "Hai Sam, aku sudah sampai, aku ada di belakang rumahmu, dan bisa kau buka jendelamu?".
10 detik kemudian Ia membalas, katanya, "Syukurlah, ya aku akan kesana". Lalu kulihat Samantha yang mengenakan celana merah maroon panjang, dan kaos hitam polos membuka pintu perlahan dan mulai berjalan ke balkon, dengan hp di tangannya. Kulemparkan tali dan berkata
"Ambil, dan talikan ini pada pagar balkonmu". Ia melakukan tepat seperti apa yang kukatan, hanya Ia harus hati-hati karna di balkonnya terdapat pot bunga kecil.
"Sekarang, turunlah perlahan, aku akan disini bila kau takut, dan hati-hati pot mu" ucapku
"Baiklah" begitu ucapnya sebelum pot itu jatuh. Suara yang ditimbulkan cukup keras, walau jatuh pada rerumputan yang hijau.
"Sam! Lompat!" teriakku. Ia melompat kedalam tanganku, lalu kuturunkan Ia dan kami berlari sebelum mereka mengejar kami. Ku ambil kunci dan bersiap menaiki motorku, namun mereka cukup pintar.
Tepat sebelum ku berhasil menaiki motor, salah seorang dari mereka menembak kedua ban motorku. Sungguh di sayangkan.
Kuraih pistol yang kuletakkan di belakang punggungku, dan mulai menembaki mereka dengan satu tangan, karna tangan kiriku memegang Samantha dengan erat. Bisa kukatakan bahwa Ia kebingungan dan takut, maka ku Tarik Ia dan kami terus lari, berusaha menjauh dari mereka. Namun sialannya adalah, satu peluru bersarang di lengan kananku. Sesakit apapun itu, kami harus terus berlari, dan aku tak bisa menampakkan bahwa aku sendiri kesakitan didepan Samantha yang panik.
Kami sudah berlari cukup jauh, dan tak ada seorangpun dari mereka mengejar kami. Maka kuputuskan untuk berhenti berlari dan mulai berjalan. Malam ini sangatlah tenang, jika bukan karna suara nafas dan langkah kaki kami, maka malam akan sangat sunyi. Jarum jam pada tanganku menunjukkan sekarang pukul 11 malam. Sebagian besar orang sudah terlelap dalam mimpinya.
"Hey, kau tak apa?" tanyaku pada Samantha.
"Ya, aku baik" ucapnya terengah-engah.
"Dan, lenganmu" sambungnya dan aku tersenyum
"Yah, mereka tak seburuk yang kukira ternyata" ucapku dan Ia tersenyum. Namun setelah itu, kesedihan muncul dimatanya.
"Hey" ucapku lembut seraya mengangkat dagunya perlahan dan menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya.
"Dan, maafkan aku, jika aku tak menghubungimu, maka kau tak akan memiliki luka tembak" ucapnya dengan tetesan air mata, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar.
"Shhh......" ucapku lalu mengusap pipinya yang basah
"Itu bukan salahmu Sam" ucapku
"Tapi tetap saja, jika aku tidak menelponmu, maka kau tidak akan terluka" balasnya
"Tapi kau menjadi milik mereka, sapa yang tahu apa yang akan mereka lakukan" ucapku
"Tapi itu lebih baik dari kau tertembak" ucapnya lagi, kudekap Ia, dan berbisik padanya
"Itu tidak penting sekarang, aku akan lebih panik jika mereka menangkapmu, itu akan jauh lebih sakit dari tembakan di lenganku". Kami berpelukan hingga Ia berhenti menangis.
"Setidaknya, biarkan aku mengobatimu, itu akan membuatku lebih baik" ucapnya seraya menghapus air matanya.
"Baiklah, tapi kau yakin kan, kau tahu apa yang kau lakukan" ucapku
"Tenang saja, aku pernah mengikuti Palang Merah remaja" ucapnya yang membuatku lega, dan Ia tertawa.
Malam itu kami berjalan kembali ke rumah Samantha. Namun kali ini perjalanan kami diiringi oleh candaan, bukan suara tembakan peluru. Kulihat mobil Agent Paulette sudah di depan rumah. Ku ingin berlari, namun sakitnya lenganku membuat ku berpikir 2 kali. Mustahil bagiku untuk berlari dengan lengan yang terluka. Sedangkan jika aku tinggal disini, itu akan menjadi canggung, tapi aku juga dapat menjeaskan apa yang terjadi.
"Bisa kalian jelaskan apa yang terjadi disini?" tanya Agent Paulette begitu kami memasuki rumah lewat pintu belakang.
"Maafkan aku bu, sekitar pukul 10.45 ada 5 orang asing dan 3 mobil van hitam di depan rumah, dan aku tidak bermaksud untuk membuatmu panik, maka aku menelpon Daniel" ucapnya tertunduk
"Jadi kau Daniel" tanya Agent Paulette
"Ya, aku Daniel Dayton" ucapku sembari menjulurkan tangan dan Ia menjabatnya dengan canggung.
"Maafkan aku harus bertemu dengan mu dalam keadaan terluka dan lelah, dan maaf membuat halaman belakang rumah anda menjadi berantakan. Aku akan menyingkirkan motor itu segera" ucapku seraya menunjuk motor milikku.
"Ya, itu ide yang bagus" balasnya
"Samantha, bisa kau obati temanmu lebih dulu, setelah itu tunjukkan kamar mana yang bisa Ia tempati, karna sudah terlalu larut bagi nya untuk pulang" ucap Agent Paulette
"Terimakasih Mrs.Paulette" ucapku dengan senyuman dan Ia pergi ke kamarnya.
Lalu Samantha menyuruhku untuk duduk, dan menunggunya kembali dengan sekotak P3K. 3 menit kemudian Ia kembali dan duduk di hadapanku, lalu meletakkan kotak itu di sebelahnya.
"Bisa kau buka jaketmu?" tanya nya, kubalas dengan anggukan. Perlahan ku lepas jaketku dan menggulung lengan kaosku hingga pundak. Kulihat Ia terpaku menatap luka yang kumiliki.
"Cukup parah kah?" tanyaku
"Sejujurnya, ini kali pertama aku melihat luka tembak" jawabnya
"Sebenarnya ini sama saja dengan luka yang lain, hanya langkah pertama untuk mengobatinya adalah dengan mengambil pelurunya lebih dulu" ucapku
"Ya, benar, aku pernah melihatnya di FF6" ucapnya
"Wow, tak kusangka gadis sepertimu menonton film Fast and Furious 6" balasku dan Ia tersenyum.
15 menit berlalu, Samantha belum juga selesai dengan luka ku. Setiap kulihat Ia memasukkan kapas berwarna merah kedalam plastik hitam di lantai, semakin lemah badanku. Kurasa kali ini darah yang keluar lebih banyak dari terakhir kali aku memiliki luka. 5 menit kemudian Ia selesai melilitkan perban pada lenganku yang semula berwarna merah.
"Dan, bisa kau bertahan sebentar selagi aku membuang ini, setelah itu akan kutunjukkan dimana kau bisa tidur" ucapnya dan kubalas dengan anggukan lemas.
"Pertahankan dirimu Daniel!, hanya menunggu sebentar lagi" pikirku.
Untuk menjaga kesadaranku, kupaksa otakku untuk menghitung detik. 2 menit berlalu, kudengar langkah kaki mendekat.
"Ayo Dan, biar kutunjukkan kamarmu" ucap Samantha yang berdiri di hadapanku.
Melihatku setengah sadar, Ia meletakkan tanganku di pundaknya, dan menuntunku ke kamar. Dengan perlahan Ia mendudukkan ku di Kasur, dan berkata,
"Tidurlah, esok, Ibu akan menghantarmu pulang, trims Daniel" lalu menyelimutiku dan menutup pintu. Tak lama kemudian aku sudah terlelap, senang rasanya bisa beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Infinity Necklace
Teen FictionDaniel Dayton adalah salah satu siswa baru di suatu sekolah menengah atas di kotanya. Pengelola sekolah mewajibkan seluaruh siswa baru mengikuti masa orientasi yang diselenggarakan selama 4 hari di sebuah lapangan di pinggir hutan. dalam masa orient...