Dengan malu-malu, sinar matahari itu menyelinap melalui celah-celah gorden kamarku. Menabrakan langsung cahayanya ke kedua mataku. Dan memaksanya untuk terbuka. Aku membukanya perlahan, mengedipkannya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan cahayanya. Dan akhirnya kesadaranku sudah kembali dari alam mimpi.
Bayangan Sean kembali muncul di pikiranku. Bayangan dia yang sedang membuka gorden, membawa segelas susu. Membangunkanku dengan caranya sendiri. Menggenggam kedua tanganku, lalu berbisik di telingaku, 'Letty, bangun sayang.' Tapi aku tetap melanjutkan tidurku. Tidak menghiraukan apa yang di lakukannya, apa yang di katakannya. Lalu dia kembali berbisik,
"Kau yakin kau tidak ingin bangun dari tidurmu?" Aku tidak memberikan jawaban apa pun. Tidak menggeleng apa lagi mengangguk. Diam. Tanpa reaksi, sampai beberapa menit kemudian, kedua tangannya mendarat di pinggangku. Menggelitikan pinggangku sampai aku tertawa. Dan lari ke kamar mandi untuk menyelamatkan diri.
"Letty? Tadi kau bilang kau tidak mau bangun, hm?" Teriaknya dari luar. Dengan tawanya yang bahkan masih terdengar di dalam sini.
"Apaa? Aku bahkan tidak memberi jawaban Sea. Aku tidak menjawab. Lalu kenapa kau tetap menggelitikiku?" Sahutku yang masih berusaha melindungi diri sendiri.
"Diam itu iya, kan?"
"Tidak Sea."
"Ya. Ya. Terserahmu. Keluar sekarang. Susunya mulai dingin." Jawabnya mengakhiri pertengkaran kecil ini. Ah. Aku tidak yakin.
"Berjanji dulu, kalau kau tidak akan menggelitiki aku lagi."
"Ya. Ya. Ya. Terserah. Cepat keluar."
Dengan perlahan tapi pasti, aku membuka pintu kamar mandi. Tidak. Aku mengintip, mengintip dengan perlahan, dan berjaga-jaga jika Sea akan menggelitiki aku lagi. Sean sudah tidak ada diluar. Maksudku, dia pasti ada disana. Tapi tidak di depan pintu kamar mandi ini.
Baik. Aku mulai membukanya perlahan. Sampai akhirnya aku benar-benar keluar dari kamar mandi ini. Dengan tiba-tiba, Sean datang. Dan menghadiakan aku sebuah kelitikan di pinggangku, lagi. Aku tidak bisa menahannya. Kekuatannya sangatlah besar. Dan aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak disini, di pelukannya sambil merasa kegelian.
"Oke Sean. Diam. Cukup. Aku sudah tidak kuat lagi."
"Hm? Baiklah." Kami berbaring di kasurku bersama. Menatap satu sama lain, lalu tertawa bersama.
Satu, dua, tiga, air mataku jatuh. Lagi. Bagaimana aku harus menghilangkan bayangannya di pikiranku? Bagaimana caranya agar aku lupa tentang dia? Tentang kita? Bagaimana caranya agar dia pergi? Aku sudah menghusirnya. Berkali-kali. Tapi dia tetap saja disana. Di dalam otakku. Dengan sejuta kenangan. Dengan sejuta harapan.
Aku mengacak-acak rambutku. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku tidak bisa terus-menerus seperti orang gila. Tapi bayangannya terus kembali. Lagi, lagi, dan lagi.
Layar handphoneku menyala dan berbunyi. Perhatianku langsung terpusat padanya. Tangan kananku terjulur untuk mengambil alat komunikasi itu di atas meja lampu dekat meja tidurku.
You have one message
From: Gerald
To: Lettisha
Message: dateng ke caffe biasa. Jam 10. Ga telat. Gue gamau denger lo ga dateng dengan beribu-ribu alesan.Aku menatapnya dengan kesal. Bisakah dia tidak memaksa? Bisakah dia biarkan aku tetap tinggal disini? Bisakah dia biarkan aku untuk tenang hari ini? Bisakah dia tidak menggangguku?
From: Gerald
To: Lettisha
Message: gak bisa. Gue harus ngomong sama lo. Dateng.Persetan dengan Gerald.
From: Lettisha
To: Gerald
Message: y. Read 9.45amAku menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Melirik sekilas ke arah gitar milik Sean. Tidak, Tidak, tidak sekarang. Gerald sedang menungguku. Tapi Sean.. Bukan. Itu bukan Sean.
"Letty." Baik. Imajinasiku muncul kembali. Suara Sean memanggilku. Tidak. Itu bukan Sean. Aku langsung melangkah dengan cepat menuju kamar mandi.
Pantulan diri yang sangat buruk. Rambut acak-acakan, dan mata sembab. Benar kata Gerald. Setidaknya aku memang harus keluar. Tidak bisa seperti ini terus-menerus.
Setelah membasahkan diriku dengan air dingin. Yang menurut penelitiannya, bisa membuat seseorang menjadi semangat kembali, dan kurasa itu memang berhasil. Aku memakai t-shirt serta celana jogger dan sneakers berwarna biru dongker. Ini memang masih jam sepuluh. Tapi, membuang waktu di luar mungkin dapat menenangkan pikiranku.
Dulu, waktu Sean masih ada, aku sangat takut untuk keluar dari kamar kostku. Trauma lebih tepatnya. Saat usiaku baru 19 tahun, aku mengalami kecelakaan yang cukup parah. Saat ingin menyebrang, ada dua sepeda motor yang melaju dengan kecepatan yang tinggi. Aku rasa, balap liar. Mereka menabrakan ban motornya di kaki kananku. Aku langsung jatuh, dan semuanya gelap.
Waktu itu, Sean berkata, 'jangan pergi. Aku sampai disana 15 menit lagi.' Tapi aku tetap pergi. Melanggar kata-katanya, dan menjadi orang pincang selama 3 bulan. Semenjak itu, jika ingin keluar rumah, Sean pasti akan menjeput. Atau saat aku berangkat kuliah, Sean akan mengantarkan aku. Jadi, aku mempunyai sedikit trauma dalam urusan sebrang-menyebrang.
Aku menghelakan nafasku, mencoba serileks mungkin dan mulai melangkah keluar. Baik. Positif thinking. Jangan berpikiran akan terjadi apa-apa. Letak kamar kostku tidak jauh dari jalan raya. Hanya membutuhkan waktu 4 menit jika di tempuh dengan berjalan kaki.
Caffe yang di beritahu Gerald tadi tidaklah jauh dari kostan ku. Jadi aku memutuskan untuk berjalan kaki saja.
Saat sudah dekat, kira-kira 3-5 ruko lagi yang aku lewati. Aku melihat caffe biasa aku dan Sean bersama. Di depan sana. Caffe dengan cat coklat dan furniture yang sangat memanjakan mata. Caffe itu menyediakan berbagai macam ice cream, dan coklat. Maka, aku dan Sean menobatkan bahwa itu adalah caffe kami.
Caffe yang di beritahu Gerald ada di sebrang sana. Itu artinya aku harus menyebrang. Menyebrang, baiklah, ini bukan sesuatu yang terlalu buruk. Aku bisa. Melakukan ini.
Kepalaku menengok ke kanan dan ke kiri, memperhatikan kendaraan yang akan melintas. Bagus. Sekarang sudah lumayan sepi. Dua mobil dari arah kanan masih jauh. Dan tiga mobil di bagian kiri pun masih jauh.
Aku melangkahkan kakiku, mulai menyebrang di hari pertama tanpa Sean. Aku bisa. Kedua mataku masih berjaga, barangkali mobil itu tiba-tiba menambah kecepatannya.
"Letty!!" Suara Sean. Tunggu, suara Sean? "Letty!" Ini suara Sean. Dari caffe kami. Kakiku tiba-tiba berhenti. Tidak melangkah apa lagi mundur. Aku berhenti disaat trotoar jalan itu sudah sangat dekat.
Kedua mataku, memandang ke arah caffe kami. Memastikan, apakah itu sean atau bukan? Aku diam. Mengedipkannya beberapa kali, mulai fokus ke caffe tadi. Iya. Itu Sean. Aku melihatnya. Dengan setelan kemeja coklat dan celana pendek serta sandal. Itu Sean! Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Sean hilang. Disana tidak ada Sean. Yang ada adalah, mobil sedan berwarna merah yang melaju dengan kecepatan yang sangat kencang. Aku masih diam. Bodoh. Ayo pergi. Mobil itu akan menabrakmu. Tapi aku diam. Sampai ada sebuah tangan yang menarikku, hingga ke tepi jalan.
"Tolol! Ngapain lo diem di tengah jalan kaya tadi? Lo cari mati? Udah ga sayang sama nyawa?!" Sergap lelaki dengan pakaian seperti preman ini. Laki-lali yang sudah menarikku ke pinggir jalan. Sedangkan aku hanya diam. Ingin menangis.
"Kenapa diem?! Baru sadar?! Jawab!" Suaranya sangat kencang. Sampai-sampai palaku pusing. Dia membentakku. Tidak ada yang pernah membentakku. Sean tidak pernah membentakku.
Kedua mulutku terbuka, ingin menjawab. Tapi kututup lagi, karena ada bayangan Sean disana. Aku tahu, bibirku sudah pucat karena kecelakaan yang tidak terjadi tadi. Di tambah munculnya bayangan Sean. Serta suara kencang milik lelaki ini.
"Tolong pergi." Kataku pelan pada bayangan Sean. Lalu semuanya gelap.
***
25 Maret 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
Teen Fiction"Gue cuma sayang sama lo sebelum Sean jadi pacar lo. Apa itu salah?" -Gerald. "Gua ga nuntut lu untuk balas semuanya, biar waktu yang menjawab. Kalo gua bener-bener sayang sama lu." -Oslo "Jangan biarkan mereka masuk dalam hidupmu, Letty." -Sean ***...