+ 5 +

11.5K 1K 15
                                    

Sekarang aku duluan yang akan memasang tampang galak setiap berpapasan dengan Adrian. Biasanya aku lempeng saja atau bahkan sedikit tersenyum (tanpa berani memandang dia langsung, nanti aku disangka ke-GR-an). Tak ada lagi aku mencuri-curi pandang melihat wajahnya saat bekerja. Aku keki teman! Semudah itu kah dia mencium seorang gadis hanya demi menjauhkan gadis tersebut dari dirinya? Hey kalau kamu ingin menjauhkan aku dari hidupmu, pecat saja aku dari perusahaan ini dan larang ibumu menghubungi aku. Ingin kukatakan itu kepada Adrian tapi, ya, aku tidak berani.

Oke, aku memang cemen. Lemah. Bisanya Cuma marah-marah di kepala.

Dia juga nampaknya tidak peduli dengan perubahan sikapku ini. Tapi memang biasanya dia selalu jutek kepadaku. Jadi ya sudah, tidak banyak perubahan kondisi diantara kami.Semacam perang dingin berkobar diantara kami. Kalau kamu bertemu denganku dan Adrian, sepertinya kamu bisa melihat getaran-getaran emosi diantara kami berdua. Ya begitulah adanya.

Jane kuceritakan kejadian di tepi kolam renang begitu aku memasuki kamar. Dia kaget dan langsung heboh.

"Apaaaa, Adrian cium lo? Kok bisa? Kok lo mau?!"

"Eh berisik ya tante," aku menutup dua telingaku dengan tangan. Ngeloyor ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Menghilangkan bekas ciuman Adrian kalau bisa.

"Anda mau kemana nona? Sini cerita dulu," Jane menarik tanganku sampai aku terjatuh ke tempat tidur. Dia duduk bersila, menanti cerita detil.

"Lo mau gue ceritain gimana dia mainin bibir gue juga?"

Jane langsung memasang tampang jijik. "Not that detail. Lo kan masuk terus Cuma bilang 'Adrian cium gue'. Nah mana cerita lengkapnya?"

"Ya gitu aja," belum apa-apa pipiku rasanya sudah memerah kembali. Ah sial kau Adrian. "Gue lagi duduk di pinggir kolam, tiba-tiba dia datang..."

"Lo udah mastiin dia bukan setan?"

"Udah. Kakinya napak. Lanjut, gue kaget terus gue berdiri. Kita ngobrol sedikit terus dia tiba-tiba meluk gue. Gue langsung kaku seketika! Gak bisa gerak,"

"Ah bilang aja lo pengen kan dipeluk dia,"

"Ya lo tau lah Jane. Terus dia pelan-pelan nyium gue. Awalnya bibirnya..."

"Ciuman emang ama bibir kali, Manda."

"Bisa gak, gak pake nyela, Tante?"

Jane nyengir lalu mengangguk dan pura-pura merisleting mulutnya.

"Bibirnya Cuma nyentuh bibir gue aja, tapi lama-lama dia mulai..." aku berhenti, perlukah kucceritakan sampai detail? Gak usah lah yau. "Dia mulai lebih jauh. Terus tiba-tiba aja dia mundur. Kami berhenti ciuman. Lalu dia bilang supaya gue gak deketin dia dan nyokapnya lagi."

"Heeh, jadi dia nyium lo sebagai ancaman supaya lo gak deket-deket dia? Gak ada ancaman yang lebih serius?"

Aku mengangkat bahu. Kali ini benar-benar berdiri dan bergerak ke kamar mandi.

"Kalau ancamannya kayak gitu sih mending lo PDKT terus kan biar diancam terus?" Jane tertawa terbahak-bahak.

"Lo emang mesum ya Jane. Tapi lo juga tahu gue banget," aku mengedipkan sebelah mata lalu masuk ke kamar mandi. Meninggalkan Jane yang puas tertawa.

Kembali ke kantor dan rutinitas pekerjaan yang menumpuk. Di mejaku sudah ada setumpuk laporan program untuk direview. Ini kan masih Senin pagi ya? Saat kutinggalkan kantor Jumat kemarin, ini semua tidak ada. Apakah pekerjaan-pekerjaan ini beranak pinak di akhir pekan?

"Pagi sis," sapa Jane.

"Pagi tante," sapaku acuh tak acuh.

Jane ikut melirik tumpukan di mejaku yang tingginya sekitar 15 senti.

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang