Selain menjadi peran sebagai agen pembasuh dosa di dalam banyak epik & puisi, hujan juga menjadi watak penting tiap kali temujanji kami. Kami sering merujuk hujan sebagai air suci yang turun dari syurga sambil berkisah tentang manusia & alam melalui bahasanya yang unik, lantas berkelakuan mirip kami. Melalui kejadian formasi hujan yang tanpa ulasan saintifik pun boleh diungkapkan melalui kelakuan "kita" (ya, kita), aku fikir hujan cocok benar menjadi tema perbincangan kami tiap kali ke kopitiam di sudut tua Kuala Lumpur. Bicara soal resureksi kalau tidak salah istilah, soal kami diangkat tuhan ke langit lalu tak lama harus turun, soal formasi, soal evaporasi, soal kami naik ke awan sebelum menangis jadi hujan, setelah hal-hal keras ini, kami pasti bicara soal setia, orde & tata dunia. Ya, setia. Pusing-pusing menunggu kehancuran, alias, abadi. Hari ini berpeluh-menangis, basah, esok kering berani. Macam politik. Macam politik? Tidak. Hujan macam kita.Selain membasuh kenangan lama kami yang menikam untuk memberi kesempatan & kemungkinan baru jalan yang lengang tanpa tol & trafik sesak, hujan juga bikin kota ini romantis. Romantis yang sukar diulas oleh filsuf Yunani sekalipun.
Hari sudah malam. Di malam kebiasaan, sekawan bluberi pasti tumbuh keluar, menyekat trafik & meminta i.c di jalan ini. Kami selalu jadikan itu alasan untuk pulang lewat. Alasan, klasik atau sofistikated sekalipun, akan dicari. Jadi seperti sebelumnya, kami memilih seolah-olah tiada pilihan lain melainkan memilih menghabiskan masa bermain perasaan masing-masing, hati aku, hati dia, pegang tangan, main jari, raba kuku, tarik-tali, exploitation de l'homme par l'homme, domino, main mata, divide et impera, divide ut regnes, tunggu subuh, dalam kereta, tengah hujan, kerusi direbahkan, sebelum pulang, kami bercumbu,
seperti malam-malam sebelum.
Senopati, Jakarta
1.20am
Jakarta 2017
YOU ARE READING
Dari Sonia Jakarta
Poesíamalam itu, dia membakar buku-buku sajak lalu menempah tiket pesawat pulang ke kota tanah tumpah duitnya, Kuala Lumpur.