Pagi ke Pagi

3.2K 93 4
                                    

Kring ............ Kring ................

"Pagi-pagi buta gini siapa sih yang nelpon?" dengan malasnya Irene meraba sekeliling kasur yang dipenuhi berserakan buku - yang padahal tidak dia baca - untuk mencari sumber deringan. Setelah ditemukan, ia langsung mendekatkan benda canggih tersebut ke kupingnya. Dan tak berselang, Irene dapat merespon penelepon. 

Bukannya ucapan selamat pagi yang ia terima, Irene justru berjingkat sebab Kayla yang berteriak marah-marah dari balik telepon, "Ren, lo dimana?"

Irene mengerang sembari meregangkan tubuhnya, "Apaan si haduh, masih subuh kali Kay."

"Subuh apaan bocah! Matahari udah di atas kepala juga. Buruan berangkat! Satu kelas nunggu jawaban fisika dari lo!"

Tuuuutttt ...

"Sial, gue lupa deadline tugas di jam pertama!"

Irene pun mengalihkan perhatiannya menuju jam beker. Seketika melempar ponselnya sembarangan ke meja, bahkan panggilan dari Kayla pun belum ia tutup.

"Sial, setengah tujuh kurang lima!" teriaknya, hingga terdengar sampai ke ruang makan.

Mengerti anak bungsunya sudah sadar, Ibu Irene menyahut, "Sayang, cepetan turun sarapan!"

"Mama kenapa nggak bangunin Irene? Udah setengah tujuh kurang lima!"

Mendengarnya, Lita keheranan, "Bukannya Kak Piya bangunin kamu?"

Sial. Dia tahu Piya tidak akan menyerah begitu saja untuk mendapatkan persediaan air hangat yang hanya ada di jam-jam pagi.

"Ah, kenapa harus Kakak bukannya Mama?"

"Mama kan masak buat sarapan! Lagipula, siapa suruh begadang sampai malam?"

Irene langsung kikuk. Ia tidak berani membantah. Bibirnya hanya membulat tak dapat menjawab.

"Betul kan begadang? Aigoo."

Ya, semalam ia tidur terlalu pulas karena pusing menghadapi tumpukan tugas yang berebut untuk diselesaikan. Dan imbasnya, ia lupa untuk menyetel ulang alarm, hingga bangun siang pun menjadi taruhannya.

Tanpa membalas, ia segera berlari ke kamar mandi. Setelah itu, segala buku, dasi, topi, dan semua perlengkapan ia bereskan. Dan kini, ia tengah kebingungan mencari handphonenya sendiri.

Selalu datang terlambat sudah menjadi tradisi baginya. Meski harus terkurung di luar pagar, ia selalu punya sejuta kata manis yang meluluhkan hati para guru, sehingga mereka tak mampu lagi untuk menghadapi Irene, dan akhirnya, memperbolehkannya masuk kelas.

Seperti kejadian hari ini, yang akan terus terulang di hari-hari esok.

Terlambat.

"Bu, niat saya ke sekolah itu baik, lho. Ibu mau tau? Saya ingin menuntut ilmu setinggi langit. Kalau anak lain cuma sampai negeri Cina, saya lebih jauh lagi Bu. Ibu tau kan, jauhan mana sama Cina?"

Tak hanya sekali, ia terus menggoda Bu Azizah dengan mulut besarnya. "Ibu tau nggak, saya juga punya cita-cita jadi penulis terkenal lho, Bu. Masa iya muridnya punya cita-cita mulia gini disia-siain. Saya udah capek Bu disia-siain."

Kalimat itu sukses menuai tawa bagi beberapa murid yang ikut mengantre di depan pagar. Menimbulkan keriuhan yang ditimbulkan oleh Irene.

"Heh, kamu kira saya guru BP apa jadi tempat curhat? Dengar ya, saya tidak pernah menyia-nyiakan satu pun murid di sekolah ini. Kalau tidak ingin dihukum, jangan datang terlambat!" semburan kritik pedas berhasil membuat Irene terdiam. Guru mata pelajaran sejarah peminatan ini selain sering mengomel, tapi dalam setiap ucapannya mengandung makna tersirat.

Bukan Irene namanya kalau tidak berusaha untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. "Lah, terus, saya harus gimana dong, Bu? Masa iya saya nunggu sampe siang? Keburu jadi karak Bu dijemur disini."

"Kamu ya, dikasih tau malah balik jawab. Saya panggilkan kepala sekolah baru tau rasa kamu!"

Melihat reaksi Bu Azizah yang semakin memanas, beberapa murid mulai berbisik membatin satu sama lain atas tindakan Irene.

"Udahlah Ren, nurut aja. Toh lo nggak sendirian."

"Iya Ren, bukan yang pertama kali juga, kan?"

Ih, mana ada gue mau dihukum sama anak-anak tukang rusuh, ck, batin Irene.

Ia terus mendumel. Sampai-sampai, satpam yang semula tertidur di pos dekat pagar ikut terganggu kerusuhan tersebut.

"Ren, pulang sana! Kamu itu, ganggu tidur saya aja!"

"Nggak mau, Pak!"

"Lagipula, kamu nggak akan disuruh masuk gitu aja karena kamu sudah bolak-balik telat! Paling-paling, kalau nggak disuruh pulang, ya orang tua kamu yang dipanggil ke wakasek."

Kedua bola mata Irene membulat. "Hah? Irene nggak mau sampai bawa-bawa orang tua ke sekolah! Pokoknya Irene tetap berdiri di sini, nunggu Bu Azizah keluar dari kantor, terus buka pagar!"

"Hadeh, bocah kupinge kandel tenan. Dikasih tau ngeyel ae!"

Saking geramnya, Pak Bibu bahkan sampai keluar dari pos satpam. Meski ia rasa rencananya berhasil, Irene tetap tak tinggal diam. Ia mengundang siswa lainnya untuk menyanyikan lagu-lagu chaint  supporter bola agar guru-guru merasa tersindir. Sebab, di sekolah ini, keberadaan supporter apapun itu jenisnya sering dilarang oleh sekolah.

Ya, hal itu tak sia-sia. Yang ditunggu pun akhirnya datang.

"Ingat ya, hari ini saya izinkan kalian untuk masuk kelas lebih cepat. Tapi, teguran ini tidak berlaku untuk besok-besok. Kalau sampai kalian terlambat lagi, Ibu laporkan kepada kepala sekolah, untuk memanggil orangtua kalian. Ngerti?" mendengar penuturan Ibu Azizah, Irene bahagia bukan mainnya.

Bukannya merasa terpukul, Irene justru bertingkah kebocahan sambil jingkrak-jingkrak. "Wah, makasih ya Bu ... Bu Jijah baik deh!" sambil mencium punggung tangan Ibu Azizah, diikuti murid lainnya.

"Irene, nama saya bukan Jijah!"

***

Sesampainya di kelas, Irene masih belum bisa bernapas lega. Baru saja sampai di ambang pintu, Kayla sudah mencegatnya. Bahkan beberapa yang lain sudah siaga di bangku mereka berdua untuk satu alasan.

"Lo udah ngerjain fisika, kan?"

Berlagak tak tahu, Irene bertingkah seolah pemain sinetron.

"Ha? Emang ngapain fisika?"

Melihat reaksi Irene, beberapa diantaranya langsung kembali ke bangku masing-masing sebab merasa salah sudah mengandalkan Irene. Namun, Kayla tidak semudah itu percaya padanya, yang notabene sudah ia kenal sebagai tukang bual.

"Heh, lo nggak tau ada menu baru di kantin?"

Seketika, senyum yang semula luruh di kedua sudut bibir Irene mengembang. 

"Traktir, ya?" Seakan paham dengan kesepakatan tersebut, Kayla langsung membuka resleting tas Irene dengan cekatan dan mencari satu barang yang menjadi tujuan pencariannya.

"Nah, ini dia!"

Suara Kayla yang begitu nyaring membuat seisi kelas menoleh, dan begitu didapati Kayla menemukan sumber jawaban, semua murid berduyun-duyun menghampiri dan siap menyalin.

"Ya Tuhan, kenapa pagi gue apes banget sih?"

***

author's note.

Ini cerita pertama di wattpad, sorry kalo ceritanya agak absurd atau banyak typo. Masih junior, hehe. Semoga kalian suka!

Go vomment guys

DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang