+ 7 +

10.7K 1.1K 8
                                    

Begitu aku pulang dari Singapura, Adrian sudah menungguku di terminal penjemputan sambil melipat tangan di dada. Wajahnya seperti biasa, cemberut. Aku tergoda untuk menghampiri dan merasakan ciumannya lagi. Tapi tidak, anggaplah saat ini aku kembali melakukan gencatan senjata dengannya. Selain itu, berhubung aku tidak merasa memintanya menjemputku jadi aku melewatinya begitu saja. Mengabaikan dia, seakan-akan dia tak tampak. Tepat saat melewati dia saat itu juga HP-ku berdering karena telepon dari mama Adrian.

"Sudah landing, Amanda?" Aku memang menyebutkan waktu keberangkatanku dari Singapura. Jadi sepertinya mama Adrian menanti waktu yang tepat ketika aku landing.

"Ya ma. Baru saja," jawabku berusaha ceria. Langkahku terhenti sejenak karena ingin lebih focus mengobrol.

"Sudah ada Adrian jemput kamu?"

Aku memutar badan 180 derajat dan kulihat Adrian tepat di belakangku. Sepertinya begitu aku meninggalkan dia, dia langsung mengejar.

"Iya, ini ada di depan Amanda."

"Syukurlah. Hati-hati di jalan ya. Besok kita makan malam ya Amanda, dengan ibumu juga,"

"Iya Ma,"

Sambungan telepon ditutup, kupandangi wajah penjemputku yang tidak ada ramahnya sama sekali. Dia juga terlihat jengkel tapi kurasa dia tidak sampai hati menolak permintaan mamanya. Padahal dia juga sudah berusaha keras menjauhkanku dari hidupnya dengan terpaksa menciumku. Nyatanya kami masih sering berinteraksi begini. Aku jadi geli sendiri dan refleks tersenyum. Adrian mengangkat sebelah alisnya lalu menggeleng. Ia menarik tasku dan langsung berjalan mendahului. Aku mengikuti di belakangnya.

"Kenapa lo mau jauh-jauh jemput gue ke bandara kalau lo sama sekali gak mau liat wajah gue?" tanyaku saat kami sudah duduk anteng di dalam mobil.

"Gue disuruh," jawabnya cuek.

"Kalau gak mau kan bisa lo tolak,"

"Gue gak mau nolak permintaan nyokap,"

"Lo udah gede. Lo bisa bilang lo gak mau ngelakuin sesuatu kalau itu bertentangan dengan prinsip lo sendiri,"

Dia mendadak memukul setir. "Lo gak usah ngatur hidup gue,"

"Gue Cuma gak suka ada orang deket-deket gue bawaannya manyun terus, jutek terus. Gak ada baik-baiknya sama sekali. Meski dia ngelakuin hal-hal yang baik buat gue, tapi kalau dia gak ikhlas, lebih baik nggak usah!" aku balas berteriak kepada Adrian. Sifatnya yang cenderung memenuhi permintaan orang lain sepertinya mampu menjerumuskan dia dalam masalah. Sama seperti 6 tahun lalu dia memenuhi ajakan untuk datang ke ulang tahun Susan meski sebenarnya dia tidak mau.

"Oke, gue akan berhenti antar jemput lo meskipun nyokap gue minta!"

"Nyokap lo gak akan minta! Gue telepon sekarang supaya mama berhenti meminta lo berhubungan dengan gue,"

Aku langsung mencari nomor kontak mama Adrian dan meneleponnya. Mengeset bunyinya menjadi loud speaker agar dia bisa mendengar juga. Adrian terperangah, tidak menyangka aku benar-benar menelepon ibunya.

"Halo Ma,"

"Ya Amanda,"

"Maaf mengganggu tapi Amanda Cuma mau bilang bahwa Amanda minta Adrian gak jemput atau antar Amanda lagi,"

"Lho kenapa?" mama Adrian terdengar sangat kaget. Adrian mendengus dan memandang ke luar.

"Adrian punya kesibukan lain yang jauh lebih penting dari sekedar antar-jemput Amanda, Ma," jawabku ketus. Lebih ketus dari yang aku maksudkan.

"Adrian bisa-bisa aja, katanya gak sibuk, waktu minta jemput kamu,"

"Hehe. Iya ma, tapi untuk ke depannya gak usah kok. Amanda bisa sendirian,"

The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang