Bab 1. Sang Bintang yang Meredup

4 0 1
                                    

Langit sore hari ini tengah marah, ia menumpahkan kesedihannya dengan begitu dasyat ditambah angin dan kilat yang sesekali menyambar. Salah satu jalan kota Jakarta yang biasa tampak ramai kini nampak sepi, mereka lebih memilih berlindung ataupun tinggal di rumah  daripada harus melawan ganasnya alam. Bahkan kendaraan memilih menurunkan laju jalannya karena jarak pandang yang mulai menipis akibat tertutup kabut.

Sebuah mobil sedan berwarna silver masih melaju dengan perlahan. Sang pengemudi belum berniat untuk menepikan mobil dan berlindung, karena dirasa jarak untuk sampai ke rumah hampir dekat tidak sampai dua kilometer lagi.  Di sampingnya sang istri dari pengemudi itu tampak cemas.
“Yah, hati-hati pelan aja jangan ngebut!” perintahnya.

“Iya, Mah,” jawabnya mencoba menenangkan sang istri masih dengan pandangan fokus ke jalan raya.

Tak ingin mengganggu konsentrasi suaminya, wanita setengah baya yang masih tampak cantik itu memilih diam. Ditengoknya ke jok belakang, seorang gadis masih tampak asik tidur dengan boneka panda berwarna cokelat muda berukuran besar yang dipeluknya. Gadis itu tampak damai dalam tidurnya, membuat wanita itu sedikit lega dan tenang. Ia menyunggingkan senyum, membelai pelan rambut anaknya sebentar kemudian mengalihkan pandangan ke depan lagi.

Tiba-tiba sebuah kilat menyambar dari langit diiringi suara keras menggelegar. “Mamahhh ...,” jerit remaja dari jok belakang mobil terkejut dengan suara petir dari luar. Ia segera bangun dan merapatkan tubuhnya ke kursi depan masih dengan memeluk boneka kesayangannya.

“Mahh, Ega takut. Masih lama ya sampai rumahnya?” tanya gadis yang menyebut dirinya ‘Ega' dengan suara yang sedikit bergetar.

“Sebentar lagi kita sampai ko, kamu lanjut tidur lagi aja. Nanti Mama bangunkan.”

Hanya gelengan kepala pertanda ia menolak saran dari wanita yang telah melahirkannya. Wanita itu tersenyum lembut sambil mengelus kepala anak gadisnya. Kegiatan yang selalu disukai meski usia sudah mencapai 15 tahun. Biasanya sambil tiduran di atas pangkuan mama, namun karena posisi tidak memungkinkan dia bisa menerimanya.

Lelaki satu-satunya di mobil itu yang  masih mengemudi menoleh ke ke belakang  sembari berucap, “ sabar ya sayang.” Dibalas dengan sebuah anggukan kepala dan senyum tipis.

“Papah, awas!” teriak Ega mengejutkan papanya sebari menunjuk ke depan.

Tepat di perempatan jalan, sebuah truk besar bermuatan kayu melaju di depannya. Lelaki itu terkejut dia mencoba menghindar dari truk itu. Dibantingnya putaran kemudi  itu ke kanan. Di saat seperti itu adrenalinnya berpacu ketakutan terlihat jelas, sampai buku-buku jarinya memutih. Namun, karena terlalu kuat mobil itu malah menabrak pembatas jalan dan terbalik. “Arrghhh ....”

***

Seorang pemuda dengan jaket kulit hitamnya tengah berjalan di lorong hendak keluar dari rumah sakit. Perjalanannya terhenti sejenak saat dilihatnya tiga buah brankar yang didorong beberapa perawat dan dokter melewatinya. Mereka menuju ruang IGD untuk mendapat pertolongan pertama. Pandangannya tertuju pada brankar yang ketiga tepat di mana seorang gadis terbaring di sana dengan darah menutupi sebagian wajah mulusnya.

“Cantik,” gumam pemuda itu pada pandangan pertama.

Meski tak terlalu jelas dan hanya sekilas melihat wajahnya–karena tertutup helai rambut dan noda merah–namun itu tak dapat menutupi wajah putih tak berjerawat yang enak dipandang. Tak butuh waktu lama untuk ia tersadar, dipukullah kepala untuk menyadarkannya lagi. “Lo mikir pa sih Cand,” monolognya.

Pemuda dengan gelang di tangan kanan itu mengacak rambutnya sendiri, menyadari kebodohannya.

“Ahhh ... uduhlah katanya mau pula—“  ucapannya terhenti saat terdengar sayup-sayup dua orang perawat yang tengah bergosip di meja pendaftaran. “kasihan banget ya perempuan itu, katanya sebelum dibawa ke sini orang tuanya udah meninggal,” ujar perawat dengan hijab putihnya.

“Iya, pasti kalau dia sadar nanti bakal sedih banget deh,” timpal perawat dengan kacamata itu.

“Apalagi ngelihat wajah dia yang berdarah itu, ihh ngeri sendiri aku.”

“Kamu apa-apaan sih? Perawat ko takut darah sih?!” ledeknya.

“Kan, aku ....” Tak ingin mendengarkan lebih jauh gosip yang unfaedah pemuda itu memilih pergi.

“Akhirnya hujan berhenti juga,” ujarnya menatap awan yang sudah menghentikan tanggis. Sambil menuju parkiran motor, direkatkannya jaket yang membungkus tubuh tegapnya, karena pasti udara sehabis hujan sangatlah dingin. Setelah memakai helm dan menjalankan motor sport biru metaliknya, dia melaju menembus gelapnya malam.

***

Dua hari telah berlalu saat sepasang mata perlahan membuka kelopaknya. Dikejapnya beberapa kali untuk bisa menyesuaikan dengan cahaya di sekitarnya. Pandangannya terarah ke langit-langit ruangan serba putih, dengan bau obat yang samar-samar masih tercium meski menggunakan alat pernapasan yang menutupi hidung dan juga mulutnya. “Di mana aku?” tanyanya pada diri sendiri.

Perlahan kilas balik kejadian naas itu berputar di otak, membuat rasa nyeri di kepala. ”Arrgghhh ....” Denyutan itu teramat menyiksanya. Namun ia masih ingin terus mengingat apa yang telah terjadi, hingga dia sampai berada di sini dengan berbagai peralatan medis. Pijatan dari tangan kanan di pelipis yang terbalut perban tak banyak membantu.

Tak berselang lama, suara pintu dibuka terdengar. Seorang wanita yang berumur 40-an akhir ini masuk dengan menenteng kantong kresek berwarna putih yang berisi beberapa makanan dan sebotol minuman. “Ega?” ucapnya dengan nada bergetar dan terkejut.

“Kamu sudah sadar?"

Wanita itu melangkah mendekati brankar, kantong kresek ia letakan di meja terdekat. Mata bulat itu sampai berkaca-kaca melihat orang yang ada di brankar rumah sakit sedang duduk sembari menahan rasa sakit. Ega, gadis yang telah duduk itu menatap ke sumber suara.

“Tante Dea?” parau Ega akibat kurangnya cairan yang masuk ke tenggorokan.

“Iya Sayang. Ini Tante.” Membelai pelan rambut Ega.

“Arrggggghh ....”

Erangan  Ega membuat wanita yang dipanggil tante Dea itu panik.”Tante panggil dokter dulu ya, Sayang.”

“Tu–tunggu,” cegah Ega, sembari menahan tangan kiri tante Dea. Dahi tante Dea mengernyit.

“Mama sama papah mana, Tan?”

Bola mata tante Dea bergerak tak tentu arah, ia bingung harus menjawab apa. Melihat kondisi Ega yang belum seratus persen pulih.

“Tan?”

Tante Dea melepas tangan Egà, dan menggenggam erat mencoba menguatkan anak dari kakaknya itu.

“Kamu yang sabar ya, Ga.”
Tanpa mengatakan lebih panjang lagi, Ega tahu ada hal buruk terjadi pada kedua orang tuanya. Mata gadis manis itu mulai berkaca-kaca,  cairan bening itu tak dapat dibendung lagi. Tante Dea merangkul dan membawa Ega ke  dalam pelukannya.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lintang VeganiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang