Chapter 3.

925 125 53
                                    

Aurora Castleine pov . . .

Aku berjalan cepat mengikuti langkah laki-laki itu. Ia memasuki kamarnya dengan sangat malas. Itu sudah biasa, “Kau ingin menggangguku? Lebih baik kau keluar sekarang sebelum aku mengusirmu!” bentaknya saat aku sudah berada di ambang pintu.

Aku menghela nafas panjang. Berusaha mengontrol emosiku. Kalau saja aku bisa berteriak, aku akan berteriak saat ini juga. Aku hanya tak ingin mama terbangun karena mendengar teriakanku. “Tidak, aku hanya ingin bertanya. Kemana saja kau semalam? Mama mencarimu cemas tapi kau tak ada. Bahkan kau baru saja pulang pagi ini,” Balasku masih menahan sedikit emosi. Aku berjalan perlahan memasuki kamarnya.

“Bukan urusan mu. Jika hanya itu yang ingin kau tanyakan, kau bisa keluar dari kamarku sekarang,” Cetusnya. Tidak sekeras yang pertama. Namun tetap saja.

Aku hanya terdiam, berdiri sambil bersender di dinding kamarnya. Aku tau dia pasti akan marah. Tapi aku tidak peduli. Dia benar-benar keterlaluan. Aku melihat wajah nya berubah semakin masam. Sepertinya dia akan marah padaku.

“Kau masih sehat kan? Bisa mendengar ucapanku bukan? Kalau aku bilang keluar itu tandanya kau harus keluar sekarang! Apa aku perlu menyeretmu?” bentaknya lagi membuatku tersentak. Jujur aku sangat kaget. Tatapannya benar-benar tajam.

“Aku tidak akan keluar dari sini sampai kau bercerita padaku, apa saja yang kau lakukan semalam? Dengar Zayn! Kau ini anak pertama! Kau laki-laki bukan? Seharusnya kau bisa menjadi contoh bagiku. Bagi Prince. Sampai kapan kau akan seperti ini?” bentakku spontan. Itu benar-benar spontan. Sebenarnya aku tak ingin membentaknya seperti ini. Bukan karena dia kakakku, tapi karena mama.

Saat ini aku benar-benar bisa melihat amarahnya. Kemarahan yang begitu dalam. Aku tidak peduli jika dia akan membentakku lebih keras lagi atau bahkan benar-benar menyeretku keluar. “Kauu...” geramnya. Sepertinya benar dugaanku. Dia akan marah.

“Bisa tidak kau memanggilku dengan sebutan Kakak? Aku ini kakakmu” ucapnya pelan namun terdengar sangat tajam.

Aku menghela nafas sejenak, “Tunggu sampai kau mau berubah Zayn! Bahkan kau saja belum menjawab pertanyaanku bukan? lagi pula, memangnya kau masih menganggapku sebagai adikmu? Tuan Zayn yang terhormat?” bentakku dengan sedikit menekan pada pertanyaan akhir. Sungguh, aku tak ingin mencari masalah pagi ini hanya saja aku benar-benar terbawa emosi. Bagaimana bisa aku mempunyai kakak laki-laki semacam dia?

“Kau tidak bisa mengaturku seenaknya! Lebih baik kau cepat keluar sekarang sebelum aku benar-benar menamparmu!” bentaknya lebih keras. Bahkan sangat keras. Untung saja gendang telingaku tidak pecah hanya karena teriakannya. Bukannya aku berlebihan tapi teriakannya memang benar-benar sangat keras. Kuharap mama tidak mendengarnya.

“Aku memang ingin keluar,” balasku seadanya. Aku berbalik masih dengan nafas yang terenggah-enggah. Aku memang cukup lelah. Lelah karena terlalu banyak berteriak.

Belum sempat aku benar-benar keluar dari kamar Zayn, seseorang sudah berdiri tepat di ambang pintu. “Ada yang sedang menunggu Kakak di luar,” ucapnya pelan.

Prince menatapku begitu serius. Kuharap ia tak mendengar percakapanku dengan Zayn barusan. Aku menoleh ke belakang sejenak, menatap dingin mata Zayn dan langsung melangkahkan kakiku menuruni anak tangga.

-

Seseorang telah berdiri membelakangiku, “Niall, untuk apa kau datang ke rumahku?” tanyaku membuatnya menoleh. Ia terdiam menatapku. Memperhatikan penampilanku pagi ini yang masih mengenakan piama sedangkan ini sudah saatnya aku berangkat ke sekolah.

“Aku hanya ingin mengajakmu ke sekolah,” jawabnya begitu jelas.

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya. “Apa kau tidak lihat kalau aku masih mengenakan piama? Sepertinya kau ingin aku pergi ke sekolah dengan pakaian seperti ini,” balasku sedikit kesal membuatnya terbelalak. Tidak, aku tidak benar-benar kesal padanya, hanya saja aku terbawa emosi oleh ucapan Zayn tadi. Mungkin saja Niall sedang bingung mengapa pagi-pagi seperti ini aku sudah memarahinya, “Maaf Ni, aku tidak bermaksud. Tapi aku tidak bisa masuk hari ini,” lanjutku sebelum Niall berfikiran bahwa aku benar-benar marah padanya.

Niall menatapku heran. Aku yakin bahwa dia merasa aneh dengan diriku karena baru dua hari yang lalu aku tidak masuk sekolah dan hari ini, aku tidak masuk sekolah lagi? Oh Tuhan sampai kapan aku akan bolos sekolah?

Niall mengangkat tangan kanan nya dan menempelkannya pada keningku. Kuharap dia tak mengira bahwa aku sedang demam. “Kau sehat?” tanyanya. Tunggu, nada bicaranya sangat aneh. Niall seperti sedang meledekku. “Oh ayolah Aurora, tubuhmu tidak panas. Kau sudah bosan bersekolah?” 

Aku menghela nafas panjang. “Aku tidak bolos. Ada sesuatu yang harus kukerjakan,” balasku tanpa berpikir panjang. Andai saja Niall tau apa yang membuatku sering bolos ke sekolah. Sayangnya aku tak bisa bercerita pada siapapun. Mana mungkin aku menceritakan masalah keluargaku sendiri pada orang lain? Walaupun Niall adalah teman dekatku.

“Buktinya, hari ini kau tidak masuk sekolah lagi. Padahal kau tidak sakit. Kau tidak punya alasan untuk tidak masuk sekolah, Au,” balasnya yang cukup membuatku kesal. Jujur, aku tak tau lagi harus berkata apa padanya. Aku tak  punya banyak alasan.

“Jika aku tidak sakit bukan berarti aku tidak boleh bolos sekolah Niall. Semua yang aku lakukan itu pasti beralasan. Sudahlah, lebih baik kau cepat berangkat sebelum kau dihukum karena terlambat dan jangan sampai aku yang disalahkan,” balasku membuatnya terdiam. Aku melangkahkan sedikit kakiku ke belakang.

“Kakak siapa yang akan mengantarku ke sekolah? Kata mama, Paman Sam tidak masuk hari ini,” ucapan Prince yang tiba-tiba itu membuatku kaget. Aku menoleh kebelakang dan menunduk.  Paman Sam adalah pria berkeluarga yang bekerja untuk mamaku. Paman Sam mengantar-jemputku dan Prince ke sekolah setiap hari terkecuali hari Minggu. Dan hari ini, Paman Sam tak masuk kerja. Oh Tuhan.

Aku benar-benar bingung. Siapa lagi yang akan mengantar Prince ke sekolahnya kalau bukan Paman Sam? Zayn? Oh tidak. Meminta bantuan padanya sama saja meminta bantuan pada seorang manula. Sama sekali tak ada respondnya. Papa? Bahkan aku sama sekali tak tau dimana papa sekarang.

Aku meletakkan ke-dua tanganku tepat di bahu Prince, “Tapi kakak tidak bisa mengantarmu, kau tau sendiri kalau mama sedang sakit bukan?” balasku yang cukup bingung. Aku menggigit bibir bagian bawahku.

“Hey aku bisa mengantarmu anak manis,” ucap Niall tiba-tiba membuatku tersentak. Ia tersenyum manis ke arah Prince. Aku terdiam, hanya bisa menuggu reaksi dan jawaban Prince.

“Aku pasti akan sangat senang,” jawab Prince dengan senyum lebarnya. Kurasa ia benar-benar senang. Aku tak bisa berbuat banyak. Jujur saja aku sangat ingin menolaknya, tapi apa boleh buat? Keadaan yang memaksaku untuk tidak menolaknya.

“Baiklah Princess kecil, kita bisa berangkat sekarang,” ucap Niall sembari mengulurkan tangan kanannya kearah Prince.

“Hey, namaku Princess Genovia. Bukan Princess kecil,” balas Prince membuatku terkekeh. Kuharap dia akan terus seperti ini tanpa tumbuh menjadi dewasa. Tapi, mana mungkin?

Prince berlari ke arah Lamborghini Reventon milik Niall yang berada di depan rumahku. Sebenarnya aku tak habis fikir, untuk apa Niall membeli mobil sport seperti itu? bahkan kecepatan tingginya saja hampir sama dengan pesawat. “Maaf aku sudah membuatmu kesal tadi. Aku akan menitipkan presensi untukmu,” ucap Niall padaku sembari berjalan ke arah mobilnya.

“Setidaknya kau berguna pagi ini. Oke terimakasih,” balasku dengan nada sedikit meledek. Setidaknya aku tidak harus memikirkan siapa yang akan mengantar Prince pagi ini. Niall, aku bersyukur dia selalu ada saat aku membutuhkan pertolongan.

-------------------------------------------------------------

A/N : so sorry for the weird story. buat yang bingung sama ceritanya, kritik aja wkwk. di ff ini, zayn nya masih 19 tahun yaa. leave ur comments after reading and please leave ur votes if my story deserved it. tbh menulis tidak semudah membaca wkwk thanks for reading<3

Little Black Dress {pending}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang