8. The Agony (1)
Ah, rasanya lama sekali Megan tak melihat air sebanyak ini di depan matanya. Terakhir kali ia ke danau ini saat umurnya tujuh atau delapan tahun.
Setiap kali mereka datang, Luwina dan Robert akan menggelar tikar di bawah pohon. Luwina akan mempersiapkan bekal dari rumah dan Robert akan mengajak Megan memancing di dermaga.
Semuanya begitu sempurna. Dulu. Satu kata yang menunjukkan masa lalu.
Sekarang pandangan di depannya hanya air yang begitu banyak, berwarna jingga karena pantulan senja. Jika dilihat lebih dekat warna danau itu sebenarnya sedikit menghitam. Tempat yang tepat untuk mengakhiri semua.
Megan berjalan dengan pikiran kosong, selangkah demi selangkah mendekati ujung dermaga.
Megan berkedip sekali, wajah Owen muncul. Kata-kata Owen dulu yang mengatakan mereka sahabat selamanya hilang setelah kedipan berikutnya.
Kedipan kedua, wajah Luwina muncul. Janji terakhir yang menyuruhnya untuk kuat terngiang kembali. Ia menghentikan langkahnya.
Kedipan ketiga, wajah Robert yang mabuk dan tak peduli muncul. Dengan ragu ia mulai melangkah kembali, mengikis jarak yang tersisa.
Kedipan keempat, wajah Claire muncul. Entah kenapa ia meringis mengingat kekuatan yang Claire berikan. Ia mulai berhenti kembali.
Kedipan kelima, wajah siswi yang mengejeknya dan gerombolan siswa yang mengerjainya tadi muncul. Terlebih suara tawa mereka yang menggema di gedung olahraga mendenging di telinganya. Megan meringis dan kembali melangkah.
Dan kali ini, ia tidak berhenti lagi hingga tiba di ujung dermaga.
Megan lelah. Benar-benar lelah dengan hidupnya.
Danau di bawah kakinya sungguh tenang dan menakutkan. Air tenang itu memantulkan sisi dirinya di sana. Wajah bulat dan berantakan, rambut yang kaku dan memutih karena tepung. Megan tersenyum sinis, ia tidak suka melihatnya.
"HEEII..."
Megan berhenti saat akan melompat, dengan cepat ia berbalik ke arah suara teriakan tadi.
"Don't do that. Tetap di situ, aku akan kesana. Diam... cu-cukup diam da-dan aku akan meraihmu," kata sosok tersebut.
"JANGAN MENDEKAT!" teriak Megan.
Megan gelagapan. Ia mengintip ke dalam danau itu lagi, tidak ada apa-apa selain kegelapan.
"Kau tahu, kalau kau melakukan itu paru-parumu akan kehabisan udara? Kita butuh oksigen dan melompat bawah sana tidak akan membuatmu jadi seekor ikan," tangkasnya.
"BERHENTI KATAKU!" teriak Megan.
"Are you kidding me? Kau harus tahu karena kerja paru-paru itulah ia menghentikan sistemnya ketika kemasukan air. Mereka akan melindungi diri dengan menutup saluran napasmu. Kau akan mati kehabisan oksigen di otak. Jadi, tolong jangan bergerak. Tunggu aku, disana oke?"
Megan mulai terdiam. Siapapun yang berbicara sekarang dengannya berhasil membuatnya ragu akan niatnya.
"Kau ingin menyia-nyiakan hidupmu yang berharga?" tanya pria itu, sedikit demi sedikit mendekati Megan.
"MUNDUR. KUBILANG JANGAN MENDEKAT!" Megan menunjuk pria itu.
Megan melirik danau lalu ke arah belakang di antara bahunya. Pria yang berdiri cukup jauh itu sepertinya seumur dengannya. Matanya memelas pada Megan. Mata itu, pandangan mata seperti itu yang ia benci.
Dan ia tak butuh dikasihani.
Dengan satu ayunan tubuh, Megan memaksakan tubuhnya melompat ke bawah. Terdengar bunyi yang keras saat ia menyentuh air. Tangan Megan refleks bergerak tak karuan, rambutnya yang kaku melayang-layang menghalangi pandangan. Kakinya menendang-nendang tak beraturan. Megan memang tak pintar berenang.
Entah mengapa ia mulai panik saat air danau itu masuk ke dalam hidungnya. Untuk sepersekian detik, dengan usaha sebaik mungkin Megan melihat ke atas. Ia ingin meraih ujung dermaga itu dengan tangannya, tapi bahkan ujung jarinya tak menyentuh permukaan air.
'Ibuu.. Ibuu. Tolong aku.'
03032017
Sekali lagi, perilaku Megan jangan diikuti.
Mohon disikapi dengan sebaik-baiknya.Dear You, With Love
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)
Kısa Hikaye#TrueShortStory Some feelings are left unsaid. Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama. Tapi sayang sekali, sahab...