Waktu di mana pertama kali kau muncul dalam hidupku. Secara tiba-tiba, tanpa bisa aku prediksi dan kucegah dampaknya.
Melalui gerbang rumahku, kau datang dengan darah mengalir dari batang hidungmu yang mancung. Sambil tersenyum ke arahku yang sedang mengobati seorang anak kecil, kau mendekat.
"Aku juga ingin diobati," katamu.
"Kamu siapa?" tanyaku sembari menyelesaikan tugas terkahir.
Anak kecil yang ada di hadapanku menatapmu bingung. Pun aku. Pun hatiku.
Bukannya menjawab, kau malah duduk di lantai, di samping kursi rodaku.
"Sudah selesai," kataku kepada anak kecil ini.
"Terima kasih." Dia menampilkan senyum lebar dengan gigi ompong menghiasinya.
Aku mengangguk, tersenyum mengamatinya yang kini berlari kembali bermain.
"Aku juga ingin seperti anak kecil itu. Setelah kamu obati, aku bahagia lagi." Matamu segaris saat tertawa.
"Memangnya, siapa namamu?" tanyaku.
Aku mengeluarkan obat tetes luka dan plester. Darah di batang hidungmu mulai mengucur. Tidakkah kau sakit akan hal itu?
"Jadi, kamu ingin kita berkenalan?" godamu.
Aku segera mengelak, "Ah, ya sudah. Terserahlah."
Kuseka terlebih dulu darahmu yang mengalir. Hanya luka akibat goresan horizontal di batang hidungmu. Cukup dalam. Tapi tenang saja, sebentar lagi kau akan sembuh. Tidak perlu penanganan khusus. Keahlianku yang cetek ini juga bisa menyembuhkan luka itu. Setelah kutetesi obat dan kututup dengan plester, semua selesai.
Kau hanya diam menikmati tanganku yang mengobatimu. Tanpa memberitahu namamu, atau perbincangan apa pun yang sekiranya bisa memecah keheningan ini.
"Selesai," ucapku. Lantaran penasaran, kutanya, "Kenapa hidungmu terluka?"
Sambil menatap senja yang menguning di balik loteng rumah, kau menjawab, "Mau jawaban yang jujur, apa yang bohong?"
"Yang bohong."
"Kenapa? Bukannya manusia tidak suka dibohongi?"
"Ah, terlalu banyak kemunafikan di dunia ini. Kalau pun aku memintamu jujur, aku tidak mendapatkan apa pun selain keraguan. Memberitahukan identitasmu saja kau tak mau, apalagi memintamu jujur," jelasku.
"Baiklah. Kamu bisa memanggilku Andaru. Aku sedang menginap di rumah itu." Telunjukmu mengarah ke sebuah rumah yang tepat berhadapan dengan rumahku. Terpisah oleh jalanan beraspal selebar lima meter.
"Bukannya penghuninya sudah lama meninggal?" Sepengetahuanku, rumah itu penghuninya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Meskipun demikian, tampilannya selalu rapi dan terawat. Seakan berpenghuni.
"Iya, itu nenek dan kakekku, ,meninggal saat aku berumur tiga tahun. Tapi, bunda dan ayahku selalu merawat rumah itu. Terkadang mereka ke sini. " Kau tersenyum ke arahku.
Aku tidak menyangka, kita tetangga.
"Oh ya, siapa namamu?"
Kuberitahukan namaku padamu. Dan satu hal yang paling aku ingat, kau berkata, "Namamu bagus. Kupanggil Peri Senja, boleh?"
Jangan bercanda, Andaru(begitu 'kan namamu?). Peri adalah makhluk surgawi yang dilahirkan sempurna. Penebar kebaikan yang begitu apik rupawan. Sedang aku, hanya makhluk Tuhan yang tengah diberi cobaan. Untuk berdiri saja aku tidak bisa, apalagi untuk berjalan bahkan terbang. Parasku juga tak sejuwita gadis-gadis kebanyakan. Kulitku terlalu pucat, pipiku tirus, dan aku hanya si lemah yang menggantungkan hidup di atas kursi roda.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENJANDARU
Short StoryMelalui senja, kukirimkan perasaan yang terlambat disampaikan. Supaya tidak ada lagi 'aku' yang lain di dunia ini. Sebuah cerita pendek dari itsfiyawn. 2017 | Fiatuzzahro