Jemari Arya menari di atas keyboard laptop. Melompat dari satu tuts ke tuts yang lain dengan cepat. Dengan serius dia mengamati deretan tulisan putih dengan background hitam yang bergerak dengan cepat di layar. Beberapa kali kacamata tebalnya yang memantulkan cahaya dari layar hampir melorot dari hidungnya, tapi dengan cepat pemuda itu membetulkannya kemudian kembali mengetikkan sesuatu pada keyboard yang mengubah tampilan tulisan pada layar.
Setelah lama mencoba menerobos masuk ke dalam sistem keamanan jaringan targetnya, akhirnya dia berhasil menyusup masuk ke dalam pusat data rumah sakit Dr. Anwar. Berdasarkan catatan yang dia dapatkan, data yang dia cari adalah data pasien yang diperbolehkan pulang dua hari yang lalu. Tak membuang waktu, jari-jarinya kembali mengetikkan perintah untuk menemukan data yang dia cari. Dalam waktu sebentar saja, layar kaca laptopnya menampilkan file yang dia butuhkan. Setelah men-copy file tersebut, pemuda itu bergegas keluar dari dalam sistem. Tak lupa dia menghilangkan seluruh jejak peretasannya serta meletakkan backdoor jika nanti dia harus kembali lagi.
Tapi tugas pemuda itu masih belum selesai. Sebuah program khusus dia gunakan membuka file tersebut. Seketika ratusan nama terpampang pada layar. Data mana yang dia butuhkan? Pemuda itu kembali melirik lembar kertas catatan. Tertulis data pasien yang dia cari berumur antara 4 sampai 5 tahun dan juga penyakit Demam Berdarah. Setelah mengetikkan kembali perintah pada keyboardnya, dalam hitungan detik deretan ratusan nama itu kini hanya tinggal delapan saja, lengkap dengan alamat juga.
Senyum puas tersungging di wajah Arya setelah dia berhasil mendapat data dia cari.
"Sudah dapat datanya?" tanya Bharata yang sedari tadi menanti di atas kursi rodanya.
"Sudah pak. Ini tinggal kirim aja."
"Terima kasih banyak ya." ucap pria berambut putih itu pada Arya.
Pemuda berkacamata itu mengeryitkan dahi. "Terima kasih buat apa pak?"
"Sejak kamu bergabung setahun yang lalu, tingkat kesuksesan kita memburu Diyu juga meningkat sejak kedatanganmu. banyak perubahan di kantor ini. Sebelumnya kita harus kesana-kemari mencari informasi yang mungkin bisa membantu. Kadang kita juga dicurigai karena terlalu banyak tanya ini-itu ke orang-orang. Itu yang membuat proses mencari Diyu jadi memakan waktu lama. Tapi setelah kamu bergabung, kita nggak perlu repot-repot lagi karena kemampuanmu mencari informasi dengan menggunakan laptopmu. Informasi juga bisa didapat dengan cepat dan tanpa diketahui orang-orang yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaan kita di luar sana."
Arya sedikit malu mendengar pujian Bharata. Dia tak tahu harus berkata apa, tapi paling tidak dia bisa mengucapkan dua kata yang dia tahu. "Terima kasih pak..."
"Oke lah kalau begitu. Sekarang kamu cepat kirim data orang-orang yang harus diperiksa ke Rani, Sena, dan Angkasa."
"Iya pak." balas pemuda yang kemudian dengan segera mengirimkan hasil pencariannya ke telepon genggam Rani.
***
Raut wajah Sena bersungut. Langit sudah gelap, tapi masih ada empat alamat lagi yang harus diperiksa. Alamat-alamat sebelumnya tak membuahkan apa-apa. Sedari pagi mereka terus saja kesana-kemari, mencari sesuatu yang masih belum pasti. Pemuda itu sudah tak bisa sabar lagi.
"Ran, udah malem nih. Balik aja yuk!"
Rani yang duduk di balik kemudi tak menanggapi.
"Jam-jam segini kan Diyu kan makin kuat. Sedangkan kita yang udah seharian di jalan pasti pada capek semua."
Gadis berambut pendek coklat itu tetap diam tak menjawab, menatap jalanan yang membentang di depan dengan penuh konsentrasi. Sena melirik ke kursi belakang melalui spion tengah. Di sana tampak pemuda bertubuh kecil yang duduk tanpa bersuara.
"Hei, Angkasa. Kamu capek nggak?" tanya pemuda berotot itu pada rekan barunya.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Merasa tak dihiraukan, pemuda itu mulai merasa kesal dan mencari-cari alasan agar mereka dapat segera pulang.
"Tuh, Angkasa aja sampe nggak bisa ngomong gara-gara kecapekan. Mending pulang aja lah. Toh belum tentu juga ini semua perbuatan Diyu."
Mendengar namanya disebut-sebut, Angkasa ingin ikut angkat bicara. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata, Rani sudah menanggapi terlebih dahulu.
"Jangan bawa-bawa nama orang lain untuk kepentinganmu..." tegas gadis itu.
"Kita udah berapa jam cari Diyu tapi gak nemu-nemu. Lagian belum tentu kalau kasus di rumah sakit itu hasil perbuatan Diyu."
"Kamu yakin 100%?"
"Hah? Maksudnya?" Pemuda yang tak mengerti maksud pertanyaan Rani itu balik bertanya.
"Kamu berani jamin kalau kita pulang sekarang, nggak bakal ada satu pun korban? Bagaimana kalau ternyata nanti jatuh korban lagi? Kamu mau tanggung jawab? Soalnya dari tadi cuma kamu yang ngotot ngajakin balik. Terus kamu mau cari alasan apa lagi untuk Mas Bharata?" tanya Rani secara beruntun tanpa mengalihkan pandangannya.
"Kamu kejauhan mikirnya Ran..."
"Justru kamu yang mikirnya kependekan. Mana pernah kamu mikir hal-hal kaya gitu. Jujur, aku juga nggak yakin kasus ini perbuatan Diyu atau bukan, tapi aku nggak mau ambil resiko seperti kamu. Dan kamu yang juga pernah jadi salah satu korban mereka seharusnya lebih punya alasan untuk memburu makhluk-makhluk itu daripada aku."
Mendengar masa lalunya diungkit kembali, Sena merasa jengkel dan berkata, "Duh, harus ya ngomongin hal itu lagi?"
"Iya, supaya kamu tau untuk apa kita memburu Diyu..."
"Bukannya kamu sendiri juga sebenernya nggak perduli sama orang-orang yang memanggil Diyu itu?" Sena balas memancing emosi Rani.
Rani melirik pemuda yang duduk di sebelahnya dengan pandangan menusuk. Baru kali ini gadis itu mengalihkan matanya dari jalanan di depan. "Iya. Aku sama sekali nggak perduli para pemanggil Diyu itu mau hidup atau mati. Karena orang-orang itu, sudah banyak korban yang berjatuhan. Dan tanggung jawab kita di Dunyapala adalah mencegah Diyu memakan lebih banyak korban." tegas gadis itu.
"Ck! Tukang ceramah..."
Sena beralih pada Angkasa yang sedari tadi hanya bisa duduk diam sambil mendengarkan perdebatan di antara kedua rekannya.
"Kalau kamu, apa alasanmu memburu Diyu?"
Sejenak Angkasa terdiam, tak tahu harus berbicara apa. Di kepalanya hanya ada satu kata yang muncul dan akhirnya keluar dari mulutnya. "...keluarga." jawab Angkasa lirih.
"Cuma itu?" tanya Sena lagi.
Dari balik jaket Angkasa terdengar suara parau yang ikut menanggapi. "Bagi keluarga Dewaputra, menjadi bagian dari Dunyapala dan memburu Diyu adalah sebuah kehormatan. Dan itu sudah cukup untuk menjadi alasan."
"Berarti selain keluarga, kamu nggak punya alasan lainnya?"
Angkasa hanya diam sambil menundukkan kepala. Tak tahu harus menjawab apa lagi. Rani yang melihat itu semua dari kaca spion, langsung berkata pada Sena.
"Kamu ini katanya capek, tapi dari tadi berisik aja. Ganggu terus! Daripada terus-terusan ngomong yang nggak ada gunanya, mending kamu tidur sana!"
Mendengar kata-kata Rani, Sena hanya bisa mendecakkan lidah. Kemudian bersandar pada jok kursi sambil memandangi langit gelap di luar kaca. Membiarkan suasana mobil jip itu dalam keheningan tak menyenangkan.
***
YOU ARE READING
DUNYAPALA : GAGAK, HARIMAU, DAN NAGA
Fantasia"...Keburukan akan terus berusaha kembali ke muka bumi melalui cerminan diri. Menebus ribuan tahun yang telah hilang saat mereka sedang terbuang..." ...