[2] Peri Tanpa Sayap

6.4K 752 85
                                    

Aku pernah mendengar kisah tentang seorang gadis yang suka mengobati anak kecil di komplek perumahan nenek. Gadis itu duduk di atas kursi rodanya lantaran ia mengidap penyakit. Kukira dia semacam dukun, tukang urut, atau hal-hal aneh lainnya yang berbau mistis. Aku pun memutuskan untuk menginap di rumah nenek waktu itu. 

Lucu 'kan? Aku mengira kamu menyeramkan. Punya ilmu hitam atau semacamnya. Sampai akhirnya, melalui teropong, aku melihatmu sedang mengobati anak kecil yang baru saja terjatuh. Ada kotak P3K yang berdiam di pangkuanmu. Dengan telaten, jemarimu mengobati anak itu. Ternyata, kamu hanya gadis biasa yang punya hobi aneh. Dan setiap sore ada saja anak yang terjatuh, kamu yang mengobatinya. 

Sudah lima hari aku mengamatimu dan semakin tidak mengerti kenapa aku mengamatimu? Kamu cantik. Bisakah aku mempergunakan alasan itu? 

Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Sampailah keberanianku mencari alibi untuk mendekatimu. Aku berjalan ke arah rumahmu yang terbuka setiap sore hari. Ada seorang anak kecil yang menjadi 'pasien'mu. Mataku mencari-cari sesuatu untuk membuatku terluka. Ada mawar yang tumbuh di depan rumahmu. Aku pun menggoreskan duri mawar itu ke hidungku. 

Sempurna.

Hidungku tergores dan mulai mengeluarkan darah. 

Hari itu, pertama kali aku menghampiri seorang gadis yang begitu rapuh. Matamu menatapku. Tepat di jantungku berdetak, kini sukses berhenti. 

Senja pertama yang aku habiskan bersamamu adalah hari bersejarah dalam hidupku. Maaf, aku salah sangka atas siapa dirimu. Nyatanya, kau adalah seorang peri yang diselundupkan Tuhan di tengah kacaunya duniaku. 

"Namaku Hana Mentari," katamu. 

Tapi aku lebih suka menyebutmu Peri Senja. Aku suka melihat helaian rambutmu yang bergoyang ditiup angin. Suaramu bagai nyiur hijau yang begitu indah. Aku suka berada di sampingmu dan kita memandang senja bersama. Aku suka caramu mengobati luka. Begitu lembut. 

Hingga hari-hari berikutnya aku harus membuat luka baru demi untuk bertemu dirimu. Bisa saja aku langsung menemuimu, kan? Tapi setelah itu aku pasti bingung harus berbicara apa lagi. Aku belum berani melakukan hal lain. Sebatas duduk di samping kursi rodamu sudah membuatku tahu apa makna hidup ini. 

"Aku suka melihat anak kecil bermain. Tawa mereka mengundang tawa ke orang-orang sekitar yang melihatnya," jelasmu di suatu senja. 

Aku ikut memerhatikan anak-anak yang bermain di depan rumahmu. 

"Mungkin suatu saat nanti, kita bisa mewujudkan impianmu," kataku. 

Kamu memandangku penuh tanda tanya. 

Aku melanjutkan, "Kita buat keluarga kecil." Ada tawa renyah dariku setelah kalimat itu terlontar. 

Aish! Bodohnya! Kita jadi sama-sama canggung, ya? Maaf ya. Tapi salahkah jika aku berdoa demikian? Hana, kalimat tadi tidak sepenuhnya bercanda. 

-----------000----------

Aku tidak akan mengingkari janjiku untuk menemuimu kala senja bersinar paling indah sebelum terbenam sepenuhnya. Sebelum waktu itu, aku hanya akan mengamatimu dari balik kamar melalui teropong. Menyenangkan hatiku sendiri karena memandangmu sungguh meneduhkan. 

Akan tetapi tahukah kau? Semakin aku memandangimu, hatiku ikut tersayat melihatmu mengeropos seiring pandangan matamu melayuh? Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di dalam rumah. Pernahkah kamu menangis atas kondisimu yang seperti ini? Serapuh apa dirimu? Bisakah aku menguatkanmu? 

Apa istilah jika aku ingin terus melindungimu? Aku ingin menjaga senyummu meskipun bagai menjaga nyala lilin di tengah badai. 

Sore itu, aku berani menemuimu tanpa membawa luka apa pun. Aku menemuimu dengan alasan aku benar-benar ingin bertemu denganmu. 

SENJANDARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang