2

34 8 0
                                    

Tahun ini mulai memasuki tahun kedua pernikahan Riana dan Handoko, ayahnya memang tampak bahagia bersama Riana dibanding sewaktu ayahnya ditinggal pergi oleh ibunya bertahun-tahun kemudian. Bagaimana pun Cindy harus rela demi ayahnya meski dia sendiripun tidak rela. Tentu dia memiliki alasan, jika tidak dia tidak akan sebegitu tidak rela nya akan pernikahan sang ayah. Karna, seolah pergantian hari mempengaruhi Riana dan sikapnya itu seakan berubah 180o dihadapan Cindy jika tidak ada ayahnya. Hal itu membuat Cindy bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada ibu tirinya itu? Terutama pada hari ini. teriakan demi teriakan terus menggema keluar dari ucapan ibu tirinya. Entah apa lagi yang akan diperintahkannya. Sejujurnya, Cindy lelah namun dia tidak bisa bertindak apa-apa, mengadu pada ayahnya pun percuma yang ada dia akan dimarahi ayahnya dan tentu saja ayahnya tidak akan mudah percaya. Cindy tersenyum getir, seolah akhir-akhir ini senyum itulah yang menghiasi wajahnya jika tengah sendiri. "Aku kangen bunda" gumamnya tanpa sadar.

***

Hari ini ayahnya pergi untuk mengawasi perusahaan mereka yang ada di Jepang selama seminggu, entah bisa dibilang beruntung atau tidak, Riana juga ikut ke Jepang bersama ayahnya. Yah meskipun sebelum pergi Riana memberinya banyak perintah wajib yang harus dikerjakannya sebelum dirinya pulang dan mengecek langsung apa yang dia perintahkan dan apa Cindy mengerjakan semuanya dengan benar. Tak cukup hanya membersihkan kamar nya, tapi seluruh kamar yang totalnya berjumlah 10 kamar itu beserta kamar mandi nya tentu saja dan walk in closet yang berada di 3 kamar, tak sampai disitu Cindy masih harus mengurus taman belakang, kolam renang dan outdoor Jacuzzi mereka, untungnya dia tidak bekerja sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana bila dia bekerja sendiri. Cindy bergidik dan cepat-cepat menggeleng menepis pemikirannya yang tiba-tiba lewat itu. Bisa mati aku, pikirnya.

***

Gemuruh mulai terdengar. Petir terlihat menyambar. Hujan deras datang mengguyur membuat siapapun betah bergelung seharian dikamar ditemani udara sejuk hujan malam-malam. Tidak dengan Cindy. Gadis itu takut akan hujan. Bukan, lebih dari takut. Gadis itu phobia hujan dan suara gemuruh petir. Seperti saat ini, dirinya tengah menyebunyikan diri didalam selimut dengan badan bergetar hebat, ditambah kenangan-kenangan buruk terus melintas tanpa henti dipikirannya. Tangisnya pecah setelah sekuat mungkin berusaha untuk tidak menangis hingga tergugu tak bisa berhenti. Biasanya pada saat seperti ini dia akan langsung berlari kekamar ayah nya dan tidur disana, namun ayahnya bahkan belum juga pulang dari Jepang. Jadwal kepulangannya baru lusa, sedangkan dia membutuhkan ayahnya sekarang juga! "hiks... hiks... ayah... bunda... hiks... Cindy takut... hiks" ucapnya terbata diselingi tangisan. Tidak ada yang tahu tentang phobia nya kecuali ayah dan bundanya, Cindy bahkan sangsi Riana akan peduli meski dia tahu. Gemuruh petir kembali menggelegar membuat Cindy semakin meringkuk dibalik selimut. Kenangannya terlempar kebeberapa tahun dimana dia mendapat phobia itu. Kenangan menyakitkan akan seseorang yang begitu berharga.

Ariel Deraya dan Cinderella Deraya adalah kakak adik yang tak terpisahkan. Ariel lahir lima tahun lebih awal daripada Cindy menjadikannya anak yang bertanggung jawab dan sangat menjaga adik nya. Mereka berusia 11 dan 6 tahun 'saat itu'. Ariel dan Cindy tengah bermain kejar-kejaran ditengah-tengah guyuran hujan deras. Sudah menjadi kebiasaan mereka setiap hujan datang untuk bermain ditengah hujan dan berteduh di pohon mangga di taman belakang mansion mereka, bunda dan ayah mereka pun telah lelah memperingati mereka, jadi mereka hanya mengawasi si kakak adik itu dari gazebo yang mengarah langsung ke taman belakang. Kilat menyambar disertai gemuruh petir menggelegar kencang membuat kedua nya terkesiap. Cindy segera berlari ke gazebo tempat orang tua nya, sedangkan Ariel berlari berlindung dibawah pohon mangga yang tidak jauh dari tempat mereka berlari-lari tadi. Cindy segera berlari cepat setelah mendengar bunyi gemuruh itu dan beberapa kali terpeleset hingga baju nya begitu kotor, namun langkahnya terhenti saat dia tidak menemukan Ariel disekitarnya. Sontak dia menoleh kearah pohon mangga tadi dan menemukan kakaknya yang tengah menatap tepat ke manik matanya. Cindy berjalan menghampiri Ariel, namun tiba-tiba kilat yang lebih besar menyambar kearah pohon mangga tempat berteduh Ariel disusul gemuruh kilat yang memekakan telinga. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Tubuhnya tak bisa digerakkan seolah ada yang menahannya dibawah guyuran hujan deras memandang kesatu arah yang sama sedari tadi, bahkan ketika kedua orang tua nya menghampiri tubuh kakak nya yang kaku dan menggendongnya kedalam rumah, atau bahkan tubuhnya yang digendong oleh sang bunda tetap tidak bergeming seolah roh nya melayang entah kemana.
Ariel sudah tidak bisa diselamatkan. Kenyataan itu menoreh luka lebih dalam pada Cindy tatkala dirinya melihat sang kakak tewas didepan mata nya sendiri. Tangis nya seolah tak terbendung manakala saat prosesi pemakaman Ariel yang ditemani hujan deras seolah langit ikut berduka akan kepergian Ariel. Tangis Cindy begitu memilukan siapa saja yang melihatnya, terutama pada saat petir ikut menyambar diselingi gemuruh hebat membuat tangan kecil Cindy berusaha menekannya pada telinga sambil menutup mata dengan erat berusaha membuang kenangan kematian kakaknya karena hujan dan petir, yang mana ketika kedua hal itu terus muncul, sampai kapanpun akan selalu menjadi mimpi buruknya karena kenangan buruk itu seolah terus berputar di pikirannya dan enggan untuk berhenti.
***

Another Cinderella StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang