kebingungan

15 7 4
                                    

Tangisan itu terdengar pelan.Angin berhembus perlahan. Rambut panjang itu bergerak perlahan mengikuti arah angin. Isakan tangis itu kembali terdengar. Samar-samar. Satu per satu air mata menetes membasahi seragam SMAnya. Mizu Hana memeluk lututnya erat. Membenamkan wajahnya dalam. Mencoba menyembunyikan air mata yang terus mengalir hangat." onee chan,aku sangat merindukan onee..." ucap Hana pelan hampir tak terdengar." pamaaaann..." kembali hana terisak.
"Teng! Teng! Teng!" bel sekolah berbunyi. Hana perlahan berdiri. Dengan cepat mengusap air matanya. Merapikan rambutnya. Dengan gontai berjalan turun dari atap sekolah. Tatapan mereka dingin. Mampu membekukan air dalam sekejam. Hana berjalan malas memasuki kelas dan duduk. Membenamkan wajah pada meja tak bersuara itu. "Lihatlah bocah tersuram itu ine, menyedihkan sekali menjadi pecundang seperti itu" gosip chui yang langsung di balas senyum mengejek ine. Berbisik agak pelan " hei chui jangan terlalu keras. Dia akan dengar apa yang kau bicarakan. Entah kenapa Tuhan tak menindas saja cungguk berbangkai ini. Gue harus bersuci 7 kali jika sampai menyentuhnya bahkan jika hanya seujung rambut pun" tawa pelan dan percakapan tak pantas itu sangat jelas di dengar hana yang ada di depan mereka.
Hana hanya bisa kembali meneteskan air matanya. Hati sensitifnya tak pernah bisa sembuh. Air matanya seakan tak bernilai untuk siapapun. Hana terbiasa dengan situasi ini. Tapi tetap saja tak bisa tegar dan menyembunyikan air matanya.
Tiba-tiba saja ine dan chui membelalakkan mata. Hati mereka terasa sangat sakit. Bersamaan mereka memegang jantung mereka di balik seragam. Wajah mereka pucat pasi. Menahan rasa sakit. Seakan jantung mereka di paksa keluar dari dalam tubuh. Hana menyeka air matanya. Melihat Ine dan Chui yang kesakitan. Panik. "K-kalian kenapa?" tanyanya gugup dan takut. Ine ingin mengatakan sesuatu. Tapi percuma saja mulutnya tak bersuara.
Ada sepasang mata yang mengawasi mereka. Di pandangan Hana,teman lain yang ia mintai tolong seakan tak melihat keanehan pada Ine dan Chui. Tampak normal. Itu saja. Dan dua orang yang menahan sakit itu semakin pucat. Darah merembes perlahan di dada kiri mereka. "Uhuk!" keduanya batuk darah. Hana gemetar. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Antara ingin maju menolong dan mundur melarikan diri. Hana hanya diam mematung. Kakinya bergetar hebat dan runtuh. Matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin melihat pemandangan ini. Ini terlalu kejam. Angin membisikkan sesuatu padanya.' Bukankah ini yang sebenarnya kau inginkan Hana? Tercegang. Ruang kelas ramai itu mulai menghilang. Hanya ada Hana, Ine dan Chui yang tergeletak di lantai. Keduanya hanya terus menahan sakit. Jantung mereka masih berdetak.
Tapi darah itu tetap terus keluar dari balik seragam mereka. "Tidak!" tegas namun lirih Hana menjawab. Suara itu datang lagi. 'Jangan munafik. Kau jelas tak menyukai mereka berdua. Mereka selalu menganggapmu tak lebih dari orang gila suram yang sedikit beruntung bisa hidup. Mereka selalu mengerjaimu. Menganti kotak bekalmu dengan ulat besar. Mengisi tasmu dengan air selokan. Bahkan menaruh darah di lemari sepatumu. Menuangkan semuanya pada sepatumu. Mereka pantas menerimanya. PANTAS. SANGAT PANTAS!'
"Tidak,itu tidak benar" Hana memegang kepalanya kuat-kuat. Matanya membesar. Mencengkram kepalanya dengan keras. Kulit rambut Hana sedikit terkelupas. Tubuh hana menegang. Sesaat mata Hana menjadi kosong. Ia kembali tenang. Menyeringai. Hana perlahan mendekati Ine dan Chui. Menendang mereka dengan kasar bergantian. Tatap tajam Hana pada Ine yang hanya pasrah dan putus asa di ambang kematian. Darah Ine mengalir dari hidung.
Ine merasakan jantungnya seakan tertembus pensil. Pensil butut yang terus berputar tiada henti. Nafasnya tersegal-segal. Tenggorokannya panas. Seperti ada api hidup yang ia telan. Chui berusaha lari. Tapi duduk saja ia tak bisa. Mencoba merangkak. Segera Hana menginjak tangan kiri Chui yang bergerak pelan. Jambak kasar rambut Chui. " Kau tak ku izinkan bergerak. Diam dan nikmati sensasi ini!" tajam mulut Hana. Melirik senang melihat Chui yang ingin menangis. "Harusnya,ini kulakukan dari dulu. Agar dunia ini tak menjadi busuk seperti kalian" tenang Hana memutari mereka.
"Lalu,aku harus memainkan apa hingga menunggu kalian bisa bergabung denganku?" Hana membuka tasnya dan mengambil gunting dan bulpen.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang