Enam Belas ; Yang Tidak Terlihat Lagi

14.2K 2.2K 253
                                    

Begitu sampai di depan gerbang istana, Akari memacu kudanya lebih cepat. Bibirnya tidak berhenti mengukir senyuman. Orang pertama yang ingin dia temui setelah beberapa bulan meninggalkan Negara ini bukanlah kedua orangtuanya, atau adik gadis Akari yang menangis meraung saat tahu Kakaknya harus pergi menemani pengasingan sang Perdana Menteri.

Fuyumi.

Apa kabarnya dia saat ini?

Kerinduan itu membuncah. Dia melompat turun tepat di depan kediaman satu-satunya Eiji wanita. Berlari, ukiran bibir itu kian melebar saat melihat siluet seseorang yang dia cari. Fuyumi keluar kamar, ditemani beberapa pelayan, matanya membulat saat melihat Akari kian mendekat.

"Akari-Sensei!"

"Hime-sama!"

Mereka saling berhadapan. Akari menatap Fuyu dari ujung kaki sampai kepala. Kali ini, tubuh sintal itu dibalut pakaian sutera berwarna biru muda. Rambut kelam Fuyu digerai mencapai punggung. Wajah yang biasa polosan itu dipoles make up tipis, membuat Fuyu terlihat semakin cantik saja.

Benar-benar cantik.

Bagi Akari, memang Fuyumi yang terbaik.

"Nii-sama!" Fuyu mencengkeram lengan pakaian Akari. Matanya melebar, berkilau dengan air yang nyaris tumpah ruah. Melihat kondisi Akari yang terluka, Fuyu semakin yakin ada sesuatu yang terjadi pada si sulung Eiji, "bagaimana Nii-sama? Aku mendapat mimpi buruk. Nii-sama pamit pergi padaku. Aku ketakutan setengah mati. Bagaimana keadaannya? Apa yang terjadi padanya?!"

"Hime-sama, tenanglah." Akari berusaha menenangkan, "Kakka baik-baik saja. Saat Ryuu datang dan kami sementara waktu bertukar peran, beliau masih belum sadar. Tapi Tsukumi-san bilang, beliau hanya butuh istirahat panjang."

"Kalau dia tidak sadar, mana mungkin dalam keadaan baik?!!"

"Percayalah pada Kakak anda sendiri, Hime-sama." Sudah lama sekali. Akari selama beberapa tahun ini selalu memanggil 'Fuyu-Shogun'. Tapi saat ini, Fuyu sudah kembali menjadi Puteri, dia bukan lagi Jenderal di Kerajaan ini. Tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan keselamatannya lagi. "Takahiro-Kakka, beliau baik-baik saja."

"Semuanya salah Kou." Fuyu menangis terisak. Dadanya terasa luar biasa sesak. Dia merasa sendiri, tanpa Takahiro, tidak ada yang memedulikannya lagi, "Nii-sama sudah memberikan tahtanya agar Kou tidak dihukum mati. Nii-sama melakukan semua yang Kou butuhkan walau itu menyakiti dirinya sendiri. Tapi ini perlakuan Kou pada kami. Bukan hanya mengabaikan cinta yang kami berikan untuknya, Kou menjualku pada Rui hanya demi menambah tentara, Kou juga sampai hati mengusir Nii-sama dari istana."

Fuyu menyeka wajahnya yang basah. Percuma. Air itu terus mengalir seperti sungai, membuat wajahnya kian sembab. Akari membatu. Apa yang harus dia lakukan untuk menghibur hati sang pujaan hati? Mengikuti naluri, ingin sekali dia mendekap Fuyumi. Terkekang status, lancang melakukannya, Akari pantas mendapat hukuman mati.

"Di perang Kaguya pun kalau Nii-sama serius, Kou yang akan mati. Tapi Nii-sama mengalah begitu saja. Tahu dengannya Kou tidak bahagia, Nii-sama berani merobek perutnya sendiri. Kenapa Kou harus sekejam ini? Kalau saja Nii-sama tidak diberi tugas yang berbahaya, kakakku tidak akan terluka. Kou benar-benar jahat."

"Yang jahat itu justru kau, Fuyumi," terdengar helaan napas, "kenapa kau tega menangis seperti itu di depan Akari?"

Fuyu menyusut airmata dengan lengan pakaian. Menoleh, melihat Kou yang diikuti beberapa pelayan juga tentara. Mendekap Fukuo erat-erat. Bayi itu menarik-narik rambut ayahnya yang menjuntai. Fukuo tertawa, menatap Fuyu kemudian mengulurkan kedua tangan.

Yami No TenshiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang