Duhai sang jubah api
Pencair kebekuan hati.
Jangan terus meratapi
Sambut tawamu lagi.
Dalam diam kini,
Di sini,
Ku nanti kembali
Tawamu yang ditawan elegi.-i-
Kalau dihitung sudah tiga kali Bumi mendapatkan surat berisi puisi, entah siapa yang menulisnya. Tapi yang jelas, mereka orang yang berbeda. Puisi ini berinisial I, dan dua puisi kemarin berinisial U, T dan P.
Bumi melipatnya lalu mendorongnya masuk kedalam laci meja. Dia bukanlah lelaki puitis yang begitu menyukai aksara. Disuruh membaca satu paragraf saja ia sudah menguap terlebih dahulu. Tapi entah mengapa membaca puisi itu membuat sedikit semangat mengalir lagi.
Ini adalah hari pertamanya sekolah setelah 3 hari izin tidak masuk. Suasana hatinya belum terlalu baik—walau sudah lebih baik berkat puisi tadi—dan sebentar lagi disuguhkan pelajaran fisika yang menguras otak sepertinya tidak terlalu baik malah akan memperparah mood-nya. Maka dari itu ia memutuskan bangkit dari duduk.
"Eh, mau kemana lo?" tanya Bara, salah satu teman kelas Bumi yang cukup dekat dengannya.
"Atas."
Bumi melangkah lagi setelah menjawab, ia tahu bahwa Bara mengikutinya. Terbukti tak berselang lama ada sebuah suara di ikuti sebuah langkah yang sejajar dengannya. "Lo nggak mau bunuh diri 'kan?"
Bumi hanya menoleh menatapnya malas, jiwa humornya belum kembali jadi dia malas membalas celetukan Bara dan memilih mempercepat langkahnya menuju atas. Atas adalah sebutan bagi Bumi untuk Lab. Komputer di sekolahnya, karena lab tersebut terletak di lantai dua di bangunan gedung sekolah yang paling belakang. Cocok untuk membolos atau sekedar mencari kesunyian.
Saat di tengah jalan seseorang menyapanya, "Hai Bum, gue turut berduka cita ya."
-Sang Jubah Api-"Tha, Ada apa nemuin gue."
Panggilan itu mengalihkan fokusku yang tadinya menatap ke belakang punggung Kak Intan—Kakak kelas yang berada di depanku— menjadi menatap kak Intan. "Oh anu kak, itu," ucapku bingung karena otakku yang seperti ditarik paksa keluar dari fokus utamanya sejak tadi secara tiba-tiba.
"Anu, itu apa sih, Tha?" tanya kak Intan yang bisa ku ketahui sedikit gemas kepadaku.
Aduh, alasan apa ini ya.
"Itu loh kak, masalah naskah teater buat lomba bulan depan." Aku menjawab asal karena sebenarnya bukan untuk itu tujuanku datang jauh-jauh ke kelas XI A 5. Ini hanya alibiku saja supaya tidak dikira kuker karena pagi begini sudah di kelas orang lain Cuma buat 'ngeliat seseorang.'
"Oh, udah lo buat 'kan naskahnya?"
"Udah." Aku berbicara dengan kak Intan tapi tetap saja aku berusaha mencuri pandang ke belakang dan YES! Suratku sudah di baca. Tanpa sadar bibirku tertarik melengkung.
Huhh, leganya.
Sekarang aku bisa fokus menatap kak Intan.
"Nah, terus?" tanyanya bingung. Nah kan, dia bingung. Nanya lagi. Lalu aku harus berbohong lagi gitu? Memang benar ya, kebohongan satu akan menyebabkan kebohongan yang lain.