Menangis atau melawannya

439 3 0
                                    

TANGISAN TAK USAI...
*Oleh: Vicky Aditya

“Dorrr... Dorrr!!!” suara ledakan bom kembali terdengar dari arah utara tepat di Wilayah Pintu Gerbang Maghrabi jalur menuju kuil gunung (tempat para tokoh Gaza menentang penggalian trowongan yang dilakukan oleh Zionis Israel). Berbagai macam suara baik itu anak kecil, dewasa pria maupun wanita terdengar berteriak ketakutan, orang-orang lari berhamburan sambil membawa sebagian hartanya menuju arah selatan, lokasi yang biasa dijadikan sebagai tempat pengungsian. Rasa takut yang mencekam para warga di kota Gaza khususnya Gaza utara yang setiap hari menjadi tempat parkirnya Bom tentara Israel. Gedung-gedung kini sudah tak berbentuk lagi rata dengan tanah, sekolah dan lembaga menjadi sasaran utama zionis Israel. Mayat berkelimpangan dimana-mana, pepohonan tumbang, tak ada lagi harapan untuk hidup bagi warga Gaza saat ini. Setiap hari kota mereka selalu di amuk bom, tak ada waktu tenang bagi warga Gaza, dan sekarang giliran Wilayah Gaza Utara yang dijadikan tempat parkirnya bom-bom yang sudah siap menghanguskan warga sekitar hingga tak ada lagi yang tersisa. Pemerintah sudah berupaya sekut tenaga untuk mencegah terjadinya penindasan yang dilakukan oleh tentara Israel, namun tak ada hasil yang positif. Yang ada malah tindakan tentara Israel semakin manjadi-jadi terhadap warga Gaza.
Terlihat rombongan berseragam lengkap dengan senjatanya. Tidak salah lagi mereka adalah para tentara israel yang bertugas untuk beroprasi di daerah perairan. Tak lama dari itu terdengar suara helikopter yang beroperasi di wilayah utara. Mereka adalah tentara angkatan udara yang sudah siap dengan senjatanya masing-masing.
“dorrr... dorrr... dorrr...” tiga buah peluru sukses bersarang di punggung lelaki yang dari tadi berteriak-teriak pada anggota keluarganya. Lelaki itu seketika tersungkur lemah, tak ada seorangpun ada yang berani menyelamatkan tubuh lelaki yang tengah terkapar lemah itu, para warga disibukkan dengan tujuannya masing-masing, yaitu mencari tempat pengungsian.
Lelaki itu masih terlihat bernafas, walaupun sudah tersenggal-senggal. Tidak tega melihat sosok tubuh yang terkapar lemah itu, seorang anak kecil memberanikan diri tuk mengahpiri dan merangkul tubuh yang sudah tidak berdaya itu.
“aya....h...!” teriak bocah kecil yang masih ingusan itu sambil menangis, matanya merah padam, tubuhnya gemetaran melihat sosok lelaki yang tak lain adalah ayahnya itu kini sudah bergelimangan darah tidak berdaya akibat tiga biji peluru yang bersarang di punggung ayahnya.
Pelukan bocah itu semakin erat ketika ayahnya melafadzkan dua kalimat syahadat, tentara semakin dekat. Semua mata tertuju pada anak kecil yang masih memeluk erat ayahnya. Terlihat beberapa orang cemas karena anak itu masih tetap bersimpuh sedangkan tentara israel sudah sangat dekat. Akhirnya beberapa orang menghapiri dan menarik bocah yang masih menangis, serta mengusung sosok tubuh yang sudah tak berdaya itu. mereka berhasil lolos dari kejaran tentara yang berseragam itu. langkah mereka terhenti ketika ada seorang kakek tua yang sudah renta menyetopnya dan menanyakan kondisi Pak Usman yang sudah tak berdaya itu, sosok Pak Usman sangat dikagumi dan di segani oleh warga sekitar karna aksinya yang sering menentang kekerasan yang dilakukan oleh Zionis Israel. Namun kali ini ia hanya bisa pasrah dengan keadaan. Kakek tua itu mengarahkan telunjuknya ke arah barat, tempat kakek itu berteduh. Dengan langkah tergesa-gesa mereka langsung menuruti petunjuk kakek tua itu.
Tepat di bawah pohon yang rindang mereka menghentikan lankahnya, mereka bingung karna kakek tua itu menyuruh mereka berhenti di tempat itu.
“kek kita harus buru-buru, sebelum semuanya terlambat. Kalau mau istirahat nanti saja” ujar lelaki yang sedang merangkul tubuh pak Usman itu.
kakek itu tidak menghiraukan kata-kata pemuda yang ada di sampingnya itu, dan langsung duduk di bawah pohon itu. Semua mata tertuju pada tingkah kakek tua yang tampaknya sedang kecapean itu dengan berbagai macam partanyaan. Kakek tua itu tetap bersemangat menggali tanah. Satu dua menit kemuadian semua mata terbelalak ketika melihat sebuah lubang didepannya. Ternyata kakek itu mempunyai tempat persembunyian yang sangat aman.
“ayo semuanya masuk, kita tidak punya waktu banyak” perintah kakek itu pada para warga yang sedang merangkul tubuh pak Usman, seraya mengatur para warga tuk masuk ke dalam lubang yang tidak terlalu lebar itu, lubangnya yang tidak terlalu lebar membuat para warga kesulitan tuk memasukkan Pak Usman.
Setelah pak Usman berhasil masuk, para warga masih merasakan kesulitan, karena mereka harus menuruni tangga yang berputar sekita 100 meter kebawah. Dengan rasa capek sekaligus lelah yang menyeruak pelan tapi pasti akhirnya mereka berhasil menuju ruang bawah tanah yang sesungguhnya. para warga semakin terkejut ketika sampai di ruang bawah tanah itu, tempatnya yang sangat megah layaknya rumah, dilengkapi dengan beberapa kamar dan ruang tamu serta dapur. Semuanya sudah tersedia dalam ruangan bawah tanah itu.
“wahhh!!!...” seru para warga saat melihat ruangan yang megah itu.
Semuanya terlihat senang dan gembira berada di ruangan bawah tanah itu. Namun semua itu tidak bagi Hamid, ia masih sedih lantaran ayahnya yang sangat ia sayangi kini sudah tak berdaya lagi. Air matanya tiada henti mengalir membasahi kedua pipinya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sosok ayah yang selama ini menjadi malaikat dalam sejarah hidupnya itu pergi meninggalkannya. Kakek tua itu tak melepaskan pandangannya pada Hamid yang sedari tadi tiada berhenti menangis.
“nak yang sabar ya cu’, semua ini pasti ada hikmah yang bisa kita ambil” ujar kakek tua itu seraya mengelus pundak hamid. Namun Hamid tak meresponnya, ia mengabaikan kata-kata kakek tua itu.
“nak, berhentilah menangis... ayah tidak mau kamu bersedih” kata pak Usman pada hamid yang sedang memelukanya.
“tu kan ayahnya juga bilang gitu, biarkan ayahmu istirahat. Jangan ganggu biar kesehatannya bisa membaik” ucap kakek tua itu menenagkan Hamid dan mengjak hamid keluar dari ruangan yang tak ubahnya dengan kamar di rumahnya dulu. Hamid pun tak membantah, ia menuruti kata-kata kakek itu. dan bergabung dengan para warga yang lain di ruang tamu.
Andai di ruang itu tidak tersedia jam dan kompas semua orang yang masuk ke tempat itu pasti tidak tau waktu dan arah, karena tak ada celah sedikitpun yang bisa di tembus oleh cahaya
***
Kondisi Pak Usman semakin parah setelah seharian mengurung dalam ruangan bawah tanah, tak ada obat-obatan yang bisa mengurangi atau mencegah terjadinya infeksi. Semua yang ada di ruangan itu hanya bisa pasrah akan keadaan. Karena diluar sana para tentara israel masih gencar-gencarnya beraksi. Pak Usman dikenal sebagai tokoh yang paling membela warga Palestina utamanya di wilayah Gaza. Dan kini beliau hanya bisa terbaring lemah, bahkan untuk sekedar makan dan minum saja kini sudah tidak bisa beliau laksanakan sendiri.
“na...k a..yah minta sama kamu, tolong kalau a...yah sudah tidak bernafas la...gi jangan tangisi kepergian aya...h. Dan bergabungla...h bersama M...bah Ma’su...m” asiatnya dengan nafas tersenggal-senggal disertai dengan anggukan tanda setuju dari Hamid.
“lafadzka...n d...ua kalimat sya...hadat di telinga ayah, nak...” pintanya pada Hamid yang sedang melinangkan air matanya. Ia segera melafadzkan dua kalimat syahadat di telinga ayahnya, seperti apa yang ayahnya inginkan.
“asyhadu allailaha illallah, waanna muhammad rosulullah” ketuk hamid diikuti oleh ayahnya. Namun tak lama kemudian Pak Usman sudah tidak bernafas detak nadinya sudah tak ada lagi. kini Hamid benar-benar kehilangan sosok yang sangat menyayanginya. Sosok yang selama ini sudah menjadi malaikat dalam sejarah hidupnya. Ia meratapi kepergian ayahnya, rasa pilu pastinya mencekam pada diri Hamid. Ia tak mampu lagi berkata, air mata yang sedari tadi ia bendung kini sudah tumpah dan membanjiri tubuhnya. Sepi senyap mencekam suasana pada hari itu. tak ada yang tak berduka, saat melihat sosok Pak Usman yang selama ini menjadi penyemangat para warga kini sudah tidak bisa melanjutkan misinya lagi.
***
Dua hari setelah kepergian ayahnya, Hamid masih tetap mengurung diri di kamar bawah tanah yang sengaja digali untuk tempat persembunyian para tokoh-tokoh penting Gaza. Tiba-tiba mbah ma’sum datang menghampiri Hamid dengan raut wajah yang sangat sedih melihat sosok anak kecil yang tak lain adalah anak sahabatnya, dirundung pilu. Mbah Ma’sum mengeluarkan secarik kertas yang sudah lusuh dari daku bajunya, kartas itu barwarna abu-abu, tampak kertas itu terlipat dengan sangat rapi. Mbah ma’sum masih tetap terdiam meratapi kepiluan anak yang sedang berada di sampingnya itu.
“cuk, ini ada titipan dari ayahmu, sebelum beliau menghembuskan nafas terakhirnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menuliskan beberapa bait untukmu” tuturnya lembut, seraya menyerahkan secarik kertas lusuh itu pada hamid.
Setelah menerima kertas abu-abu itu, Hamid memandangi lekat-lekat wajah Mbah Ma’sum, seraya berkata.
“kek, ini semua gara-gara tentara biadab itu. Hingga membuat nyawa ayah melayang. Hamid harus membalaskan semua ini. darah harus dibalas darah kek” ucap hamid Geram sambil mengepalkan tangannya. Emosinya meninggi, dia yakin kalau suatu saat dialah yang akan menjadi orang nomor satu menggantikan posisi ayahnya di mata warga Gaza.
Setelah beberapa lama bincang-bincang, kakek tua renta itu meninggalkan Hamid sendirian dalam ruangan itu. dengan rasa penasaran hamid membuka lipatan kertas yang sudah terisi oleh tinta hitam, dengan tulisan yang sangat ia kenal. Ya, tidak salah lagi tulisan itu adalah tulisan langsung dari tangan ayahnya. Perlahan ia mebaca kata demi kata yang tertera pada surat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Palestina menangisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang