Halo readers. Aku bawa cerita baru nih. Masih short story gitu sih ehehe. Semoga suka ya;)
---------
Tepat dihari kamis dan di ruang kelas IPA3, aku kembali melakukan rutinitas itu. Menatapnya dari luar kelas. Ia bukan laki-laki dengan postur tubuh yang tinggih, tegap, memiliki kulit putih atau terlahir sebagai laki-laki idaman kaum hawa.
Tidak. Ia tidak seperti itu. Ia laki-laki yang memiliki lesung pipit, tak tampan tapi memiliki senyum yang manis, kulitnya sawo matang, ia juga tak terlalu tinggi. Ia adalah ketua PMR di sekolah SMA Wijaya. Usianya satu tahun lebih tua dari ku. Dan nama laki-laki itu adalah Dimas.
Kak Dimas masih semangat memberikan penjelasan mengenai kegiatan donor darah untuk bulan depan. Aku menggelengkan kepala, apakah ia tidak tahu jika anggota PMR sudah mulai penat mendengarkan penjelasannya? Oh, sadarlah kak Dimas, ini sudah pukul empat sore. Mereka ingin pulang ke rumah dan merasakan betapa nyamannya berada dalam pelukan kasur.
Tatapan kami saling bertemu, hanya dalam hitungan detik namun terasa lama bagiku. Bukan pertama kalinya tatapan kami saling bertemu.
Setengah jam kemudian, kak Dimas menutup rapat PMR. Mempersilakan anggota PMR untuk beristirahat. Aku juga bisa melihat betapa bahagianya anggota PMR.
Kak Dimas keluar terlebih dahulu, tatapan kami kembali bertemu. Kali ini tatapan itu lebih singkat. Namun, tetap saja jantung ini berdetak lebih cepat.
Tak berapa lama, sahabatku keluar dengan raut wajah yang terlihat letih.
"Gila ya, Kak Dimas. Kalau rapat nggak pernah tahu waktu," protes Dea dengan kesal.
Aku memberikan air mineral untuknya. Membiarkan Dea menenangkan pikirannya. Percuma merespon Dea dalam keadaan seperti ini. Hanya membuat suasana menjadi lebih buruk saja.
"Mit, kapan mau ngajak Kak Dimas ngobrol?"
Aku menghela napas, sudah terlalu bosan mendengar pertanyaan itu. Otakku saja sampai hapal.
"Nanti aja deh. Belum waktunya."
Dea mendengus kesal. "Kalau diundur terus, lama-lama makin jauh. Apalagi Kak Dimas dekat sama Kak Tiara, kan?"
Aku mengangguk lemas. Faktanya, kak Dimas dan kak Tiara sudah bersahabat sejak kecil. Rumah mereka berdekatan. Aku mengetahui hal itu dari Dea.
Setelah sampai di rumah Dea, aku mengeluarkan buku PR fisika. Dea masih terlihat lelah.
"Mit, bukannya lo punya ID line Kak Dimas?" tanya Dea.
Aku mengangguk.
"Chat aja, Mit. Pura-pura salah kirim pesan atau nanya pelajaran matematika. Katanya sih dia pintar matematika."
"Nggak mau," tolak ku.
Dea mengambil ponsel milikku, ia tersenyum jail. Aku tahu rencananya, segera ku ambil paksa ponselku. Namun, genggamannya terlalu kuat. Ia berlari ke kamar mandi, mengunci pintu kamar mandi dan bisa ku dengar suara tawanya.
"Dea, buka pintunya. Nggak lucu, ah. Deaaaaa!!!!"
Aku terus berteriak memanggil namanya sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tak peduli jika aku adalah tamu di rumah Dea. Dia benar-benar sudah keterlaluan.
Dea keluar dari kamar mandi. Ia mengembalikan ponselku tanpa rasa bersalah. Aku segera membuka fitur line dan mengecek isi obrolan. Tidak ada pesan dari kak Dimas.