"Amanda!" teriak Adrian lalu secepat kilat, meloncati kursi yang menghalangi, menghampiri tubuh Amanda yang tergolek lemas di lantai.
Semua panitia di ruangan langsung berseru heboh. Tak menyangka bunyi bruk keras yang mereka dengar adalah suara Amanda yang jatuh pingsan.
"Amanda," panggil Adrian lagi. Memangku Amanda dan menepuk pipinya. Amanda tak kunjung bangun. Ini membuat Adrian panik.
"Jane, tolong bawa tas Amanda. Kita bawa dia ke rumah sakit," Tanpa kesulitan, Adrian langsung mengangkat Amanda yang pingsan ke pelukannya. Jane gelagapan sesaat tapi langsung meraih tas tangan Amanda dan mengikuti Adrian ke luar.
"Kita evaluasi nanti aja. Tolong siapapun beresin ya. Gue ke rumah sakit dulu," teriak Jane sebelum benar-benar keluar.
Adrian langsung menghampiri mobil, membukanya dan mendudukkan Amanda di jok belakang. Jane dengan sigap duduk ke sebelah Amanda dan menidurkan sahabatnya di pangkuan. Adrian menyalakan mobil dan menjalankannya ke rumah sakit terdekat. Wajahnya pucat dan dia menyetir seperti kesetanan. Setiap mobil yang sebenarnya tidak bersalah, dia tanggapi dengan klakson. Setiap celah dia masuki demi mencapai tujuan lebih cepat. Sementara itu Jane sibuk mengoleskan kayu putih di kening dan tangan Amanda. Namun Amanda tak bangun juga.
Mobil berhenti di IGD dan Amanda langsung dibawa masuk. Adrian dan jane mengikuti dengan panik. Dokter menangani dan meyakinkan mereka bahwa Amanda baik-baik saja.
"Maag akut. Kalau Cuma gak makan sehari aja masih bisa ditoleransi. Tapi kayaknya beberapa hari gak makan jadi maag akutnya kambuh. Istirahat di rumah sakit aja ya biar makanannya bisa dikontrol. Bisa dibantu infus juga. Untuk beberapa hari Cuma bisa makan yang cair aja. Air mineral juga bisa aja langsung dikeluarkan." Begitu pesan dokter. Membuat Adrian dan Jane tercengang. Amanda punya maag? Dan dia tidak makan berhari-hari?
"Sebentar lagi juga siuman. Kita pindahkan ke ruang rawat ya,"
Amanda dibawa ke ruang rawat Kelas 1. Seharusnya ia berbagi ruangan dengan 1 orang lain namun saat ini tempat tidur itu kosong.
"Gue di luar," bisik Adrian. Setelah Amanda dengan selamat sampai di ruang rawat. Ia nampak sedang terlelap.
"Lo gak mau nungguin dia di dalem aja? Biar kalau dia bangun, lo yang pertama dia liat," cegah Jane.
"Gue malah gak yakin dia mau ketemu gue," timpal Adrian lalu berbalik dan duduk di luar ruang rawat. Stres. Memijat keningnya berkali-kali. Amanda terlihat sangat lemah dan itu mungkin karena dirinya.
"Adrian?"
Adrian mendongak. Melihat Ibunya Amanda sudah tiba. Tadi Jane yang menelepon.
"Tante,"
"Kamu gak masuk?"
"Saya..." Adrian menelan ludah. "Saya pamit, Tante."
Berbaliklah Adrian dan pergi meninggalkan rumah sakit.
Hampir setiap hari Amanda dirawat, Adria datang menengok. Tapi dia hanya berani sampai di luar kamar. Sehingga Amanda tak tahu bahwa Adrian menengoknya.
"Adrian, ngapain?"
"Eh, Arnanda,"
"Gak masuk lo?" tanya Arnanda saat dia baru tiba untuk ganti menjaga adiknya.
Adrian menggeleng.
"Amandanya lagi ganti baju?"
"Nggak,"
"Terus?"
"Gue di luar aja,"
"Gue bilangin Amanda bahwa lo disini ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cure of Our Secrets - END (GOOGLE PLAY)
RomansMencintai seorang Adrian bukanlah perkara mudah. Selangkah mendekat, sepuluh langkah dia menjauh. Tapi tak ada kata menyerah dalam kamus Amanda. Apalagi saat ia tahu bahwa Adrian punya rahasia. Rahasia yang membuatnya seperti Pangeran Es. *** Cerit...