3 Days After, evening time;

2.4K 261 12
                                    

[Cecile Douglas]

"Aku melihat Lara bersama dua orang muslim pagi ini, jadi aku membawanya ke rumah. Apa yang kaulakukan sampai bisa lalai menjaga anakmu sendiri? Bagaimana kalau dia tidak kembali seperti suamimu?"

Perkataan Richard membuat dadaku berdenyut. Pertemuanku dengan Jacelyn, editorku, pun menjadi tidak seusai rencana. Yang seharusnya selesai dalam waktu dua atau tiga jam, malah berlangsung hingga sore hari.

"Kaubutuh liburan," adalah saran yang diutarakan Jace di akhir pertemuan kami. Dia menawarkan diri untuk memesankan tiket liburan ke negara tropis--dia pikir aku terkena stress musim dingin. Akan tetapi, aku menolaknya. Jadi, Jace berkata akan meminta kepala editor untuk memperpanjang deadline untukku.

Setelah berpisah dari Jacelyn, aku menyetir secepat yang kubisa menuju ke rumah kakakku. Bahkan, tanpa mengetuk pintu atau membunyikan bel, aku menerobos masuk ke rumah bertingkat tiga tersebut. Kupanggil nama putriku berulang-ulang, tetapi tak ada respons darinya. Hanya Katelyn yang muncul dari lantai atas dengan tangan kanan memegang majalah.

"Cecile! Tak perlu berteriak," kata Kate ketika telah berada beberapa langkah dariku. "Lara ada di lantai basement."

Aku berlari menuju tempat yang dimaksud--pintu dekat dapur dengan tangga kayu yang menjorok ke dalam. Kakiku menuruninya dengan cepat, sangat cepat sampai-sampai aku merasa seperti melayang. Sewaktu tiba di dasar, aku mendengar cekikikan para remaja putri yang diiringi dengan musik pop lembut dibalik ruangan yang ditutupi oleh tirai biru tua.

"Kenapa kau tidak bersekolah, Lara? Memangnya homeschooling tidak membosankan?" Suara ini bukan suara Suzanne ataupun anggota keluarga dan tetangga yang mengenal Lara. Mengernyitkan dahi, aku pun mendekatkan telinga.

"Aku tak bisa berbohong soal itu." Lara terdengar menjawab.

Firasatku mengatakan, pembicaraan ini tidak boleh berlanjut.

Aku membuka tirai. Ruangan penuh alat musik menyambutku, ada drum, gitar listrik yang sedang dipeluk oleh gadis berwajah Asia, keyboard, serta dua stand up mike. Semua alat-alat itu terhubung pada pengeras suara berbentuk kubus setinggi setengah meter yang berada di sudut ruangan.

Empat orang remaja putri menatapku penuh kejut. Begitu pun aku yang sama terkejutnya sewaktu melihat Lara. Dia tak lagi menggunakan kain yang menutupi seluruh tubuhnya. Hanya saja, dalam ruangan sepengap ini, Lara mengenakan jaketnya.

Kakiku melangkah mendekati Lara seiring dengan delapan pasang mata yang mengamatiku. Jemariku menyentuh rambut pirang Lara yang mengintip dari tudung jaket, mengelusnya perlahan kemudian turun untuk menggenggam lengannya.

Tanpa menunggu komentar, aku berkata, "Kita pulang." Lalu, menuntun Lara ke lantai atas.

[Katelyn Millia]

Adikku beserta putrinya datang dari lantai basement dengan bergandeng tangan. Sebuah seringai tampak menghiasi bibir Cecile. Dia menghentikan langkah di depanku, mengamatiku sesaat sebelum meminta izin untuk pulang yang hanya kujawab dengan mengangguk.

Cecile pun membuka pintu, membuat udara jadi dingin seketika. Dia yang terlebih dahulu melangkah menjauh, meninggalkan aku dan Lara berdua di depan pintu rumah yang terbuka lebar. Mata kelabu gadis itu berkaca-kaca, seolah ingin menangis, tetapi ditahannya.

"Aku akan menjaganya, Lara. Percayalah," ucapku, menepuk bahu Lara perlahan.

Dia mengangguk, lalu memelukku. "Terima kasih, Bibi."

"Apapun pilihanmu, aku akan selalu berdoa agar Tuhan memberkatimu, sayang."

Kami pun melepas pelukan. Aku mengikuti ke teras, melambaikan tangan pada keduanya yang dalam waktu kurang dari semenit menghilang dari pandangan. Salju putih yang menutupi halaman, jalanan dan perumahan membuat dadaku terasa berat. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Namun, jantungku hampir jatuh ke perut sewaktu Suzanne terdengar memanggilku di belakang.

Tatapan putriku penuh curiga. Aku meneguk liur karenanya. Akan tetapi, dia langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, menyisir keadaan sebelum berkata, "Aku tak melihat Ayah sejak siang tadi."

Aku baru menjawab setelah terdiam beberapa detik. "Dia pergi ke tempat kerjanya."

Suzzy terdiam yang diikuti padamnya lampu rumah.

Aku masuk kembali ke rumah. "Sepertinya masalah di tempat kerjanya bukan hal sepele," kataku sambil menutup pintu.

Lampu kembali menyala.

"Dalam 30 menit, Cortney akan datang bersama kakaknya. Kami akan mengangkut alat-alat band-ku ke rumah Corteny. Dia mengadakan pesta dan meminta band-ku tampil karena aku bilang tak akan ke pesta kembang api bersama kalian," kata Suzanne tanpa menatapku. "Lalu, ibu ...." Kalimat Suzanne menggantung, air mukanya menyatakan dia tengah menimbang-nimbang sesuatu. Menghela napas panjang, Suzanne pun berkata, "Tidak jadi."

"Katakan saja, sayang."

Untuk kedua kalinya, listrik padam. Kami terdiam beberapa saat, menunggu, tetapi tak ada tanda-tanda lampu menyala lagi.

"Aku harap Courtney punya generator," kata Suzanne.

Lampu koridor berkedip sekali.

[Cecile Douglas]

Lambat aku menyetir. Telingaku menikmati suara desir ban di jalan. Radio sengaja kuputar dengan volume kecil, sehingga hanya terdengar samar-samar. Suasana dalam mobil sangat tenang. Entah karena tak ada satu pun dari aku maupun Lara yang berbicara atau karena perasaanku yang ringan sebab Lara sudah berpenampilan seperti biasanya.

"Lara," panggilku lembut, "apa yang kauinginkan untuk makan malam?"

Dia tidak menjawab.

"Bagaimana dengan piza? Malam ini tahun baru, jadi kurasa kita bisa merayakannya dengan begadang semalaman bersama. Aku yakin kita bisa melihat kembang api dari halaman."

Tak ada respons.

Aku meneguk liur. Satu-satunya alasan kenapa Lara tidak mengeluarkan komentar sedikit pun adalah perasaannya sedang buruk. Entah sejak kapan putriku menjadi pendiam seperti ini. Aku tidak ingat, walau aku senantiasa di sampingnya. Akhirnya, aku memilih untuk menambah volume radio.

"Pemadaman listrik massal di seluruh kota menyebabkan masyarakat bertanya-tanya. Isu pesta kembang api dibatalkan karena tidak tersedia cadangan energi akibat kejadian ini mulai beredar di media sosial. Belum ada konfirmasi dari pihak terkait mengenai peristiwa ini."

"Richard pasti sibuk sekali." Aku berkomentar. "Walau begitu, dia masih sempat mengantarmu ke rumahnya sebelum pergi kerja. Sayang sekali karena dia terpaksa lembur di malam tahun baru."

Lara masih diam.

Aku menghela napas. "Lara sayang, kalau kaupunya masalah, tolong katakan padaku."

Mata kelabunya mengerling padaku. "Semua baik-baik saja, Bu," jawabnya, lalu mengambil ponsel dan earset dari saku jaketnya. Sembari mendengarkan suara dari pemutar musik ponselnya, Lara mulai menutup mata. "Kalau sudah sampai, tolong bangunkan aku." []

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang